Penggusuran paksa di Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penggusuran paksa di Republik Rakyat Tiongkok merujuk kepada praktek pengambilan lahan tak sukarela dari warga, biasanay dalam rangka menyediakan ruang bagi proyek-proyek pembangunan. Dalam beberapa kasus, otoritas pemerintah bekerjasama dengan para pengembang lahan untuk merebut lahan dari warga desa, dengan ganti rugi di bawah harga pasar. Dalam kebanyak kasus, mereka juga menawarkan tempat tinggal alternatif alih-alih ganti rugi berupa uang. Penggusuran paksa biasanya umum di wilayah pedesaan, dan merupakan sebab utama dari ketegangan dan unjuk rsa masyarakat.[1] Menurut beberapa perkiraan, lebih dari 65 persen dari 180.000 konflik massa tahunan di Tiongkok timbul dari penggusuran paksa.[2][3] Beberapa warga yang memberontak atau memprotes penggusuran tersebut dikabarkan mengalami pengusikan, pemukulan, atau penahanan.[4]

Tingkat penggusuran paksa bertumbuh secara signifikan sejak 1990an, karena pemerintah tingkat kota dan kabupaten makin sering melakukan penjualan lahan sebagai sumber pendapatan penting. Pada 2011, Financial Times melaporkan bahwa 40 persen pendapatan pemerintah lokal berasal dari penjualan lahan.[5] Guan Qingyou, seorang profesor di Universitas Tsinghua, memperkirakan bahwa penjualan lahan meliputi 74 persen pendapatan pemerintah lokal pada 2010.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ The Economist, “Protest in China: The Cauldron Boils”, 29 September 2005.
  2. ^ "FINDINGS FROM LANDESA'S SURVEY OF RURAL CHINA PUBLISHED". Landesa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 June 2016. Diakses tanggal 15 October 2020. 
  3. ^ Elizabeth C. Economy, A Land Grab Epidemic: China’s Wonderful World of Wukans Diarsipkan 11 February 2017 di Wayback Machine., Council on Foreign Relations, 7 February 2012.
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama CECCproperty
  5. ^ Rahul Jacob, Drop in China's land sales poses threat to growth, Financial Times, 7 December 2011.
  6. ^ Simon Rabinovitch, Worries grow as China land sales slump, Financial Times, 5 January 2012.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]