Pembunuhan Julius Caesar
Pembunuhan Julius Caesar | |
---|---|
Bagian dari Krisis Republik Romawi | |
![]() | |
Lokasi | Curia Pompey di Teater Pompey, Roma |
Koordinat | 41°53′43″N 12°28′37″E / 41.89528°N 12.47694°E |
Tanggal | 15 Maret 44 SM |
Sasaran | Julius Caesar |
Jenis serangan | Pembunuhan oleh penikaman |
Pelaku | 60 atau lebih senator Romawi |
Ringleaders | Marcus Brutus Gaius Cassius Longinus Decimus Brutus Albinus Gaius Trebonius |
Julius Caesar, Diktator Romawi, dibunuh pada masa Idus Martiae (15 Maret) tahun 44 SM oleh sekelompok senator Romawi ketika sesi parlemen Senat berlangsung di Curia Pompey, yang terletak di dalam Teater Pompey di kota Roma. Para konspirator, berjumlah antara 60 - 70 individu dipimpin oleh Marcus Junius Brutus, Gaius Cassius Longinus dan Decimus Junius Brutus Albinus, menikam Caesar sebanyak kurang lebih 23 kali. Para konspirator menjustifikasikan pembunuhan tersebut sebagai langkah pertahanan untuk melindungi integritas Republik Romawi, menegaskan bahwa akumulasi kekuasaan Julius Caesar (seperti ditunjuknya Caesar sebagai dictator perpetuo, atau diktator sepanjang hayat, serta penganugerahan penghormatan dewata pada Caesar) telah mengancam tradisi dan integritas republik.
Peristiwa pembunuhan tersebut gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu untuk mengembalikan wibawa institusi republik. Sebaliknya, peristiwa tersebut mendorong deifikasi Caesar, kemudian memicu Perang Saudara Liberator (yang terjadi sekitar tahun 43-42 SM) antara pembela Caesar dan konspirator, yang pada akhirnya memicu kejatuhan Republik Romawi. Rentetan peristiwa ini berpuncak pada berdirinya Kekaisaran Romawi di bawah kepemimpinan Kaisar Augustus, mengawali era Principatus.
Pemicu
[sunting | sunting sumber]
Julius Caesar telah melewati rangkaian kemenangan, dimulai pada 8 tahun Perang Galia, secara paripurna menguasai wilayah Galia (saat ini termasuk wilayah Prancis). Saat Senat Romawi menuntut agar Caesar membubarkan legiun yang ia komandoi serta kembali ke Roma sebagai warga sipil biasa, ia menolak tuntutan tersebut, dan kemudian menyebrangi sungai Rubicon bersama legiun tentaranya dan memicu terjadinya Perang Sipil Caesar pada tahun 49 SM. Setelah mengalahkah oposisi, Caesar dilantik menjadi diktator sepanjang hayat (dictator perpetuo) di awal tahun 44 SM.[2] Sejarawan Romawi Titus Livius menggambarkan tiga insiden yang terjadi secara berurutan pada tahun 45 - 44 SM sebagai penyebab pembunuhan Caesar, yang oleh beberapa orang Romawi disebut sebagai "tiga jerami terakhir."[3]

Insiden pertama terjadi pada bulan Maret 45 SM atau awal tahun 44 SM.[3] Menurut sejarawan Romawi Cassius Dio, setelah Senat Romawi setuju untuk menganugerahkan sejumlah besar penghormatan kepada Caesar, mereka bersepakat untuk memberikannya secara formal dan berjalan berbaris sebagai delegasi senatorial menuju Kuil Venus Genetrix.[4] Saat mereka tiba, berdasarkan etiket Romawi, Caesar harus berdiri, namun, ia tidak melakukannya. Caesar juga membuat suatu candaan mengenai informasi yang mereka bawa, dan menyebut bahwa gelar yang ia dapat harusnya dikurangi dan bukan ditambah.[3] Sejarawan Suetonius menulis (150 tahun setelah kejadian itu) bahwa penyebab Caesar tidak berdiri menyambut delegasi senator adalah antara dirinya ditahan oleh konsul Lucius Cornelius Balbus atau Caesar memang mencemooh gagasan tersebut.[5] Terlepas dari alasan apapun, aksi Caesar menolak anugerah dari Senat Romawi dan kegagalan memenuhi etiket Romawi dalam menyambut delegasi senatorial memberikan kesan dan anggapan yang kuat bahwa Caesar tidak lagi memedulikan Senat.[3]
Insiden kedua terjadi pada tahun 44 SM. Pada bulan Januari, tribunus Epidius Marullus dan Lucius Caesetius Flavus menemukan sebuah diadem telah diletakkan di atas kepala patung Caesar di altar Rostra di tengah Forum Romawi.[3] Menurut Suetonius, para tribunus memerintahkan diadem tersebut dipindahkan karena diadem merupakan simbol ketuhanan Jupiter dan kebangsawanan. [5] Tidak diketahui siapa yang meletakkan diadem tersebut, namun Caesar mencurigai bahwa tribunus berperan dalam konspirasi tersebut, demi menjatuhkan nama Caesar dan menaikkan posisi tribunus.[3] Terjadi eskalasi tak lama setelah itu pada tanggal 26 Januari, ketika Caesar tengah mengendarai kuda melalui jalan Appia menuju kota Roma.[3] Beberapa pejalan kaki mengerumuni Caesar dan menyoraki Caesar sebagai rex ("raja"), yang ditanggapi Caesar, "Aku bukanlah Rex, tapi Caesar" (non sum Rex, sed Caesar).[5] Dalam bahasa Latin, hal ini termasuk permainan kata; Rex bisa dimaknai sebagai kata benda bermakna raja, maupun nama Latin. Marullus dan Flavus, dua tribunus yang telah disebutkan sebelumnya, tidak senang dengan insiden ini, dan memerintahkan untuk mencari dan menangkap orang yang pertama kali bersorak "rex". Dalam sesi pertemuan senat lain, Caesar membuat tuduhan bahwa para tribunus dengan sengaja berusaha membangun suatu oposisi terhadapnya, dan meminta kepada senat untuk menurunkan mereka dari jabatan mereka dan melepas keanggotaan mereka di Senat Romawi.[3] Dalam konteks kemasyarakatan Plebs Romawi, tribunus sangat dihormati sebagai perwakilan rakyat biasa. Aksi Caesar melawan tribunus menjatuhkan opini masyarakat Romawi terhadap Caesar.[3]
Insiden ketiga terjadi pada masa perayaan Lupercalia, pada tanggal 15 Februari 44 SM. Di puncak perayaan, Marcus Antonius, yang menjabat sebagai ko-konsul bersama Caesar, menaiki altar Rostra dan meletakkan diadem di atas kepala Caesar dan berkata, "Rakyat Romawi memberikan penghargaan ini melalui diriku." Sebagian hadirin perayaan bersorak dan sebagian besar lain diam. Caesar melepaskan diadem dari kepalanya; dan Antonius meletakkannya kembali di atas kepalanya, dan mendapat respon yang sama dari khalayak.[3] Akhirnya, Caesar melepaskan diadem tersebut dan menyatakan bahwa diadem tersebut digunakan sebagai persembahan kepada Jupiter Optimus Maximus.[5] Caesar menimpali, "Jupiter-lah satu-satunya raja bagi orang Romawi!" Yang mendapat sambutan meriah dari khalayak hadirin.[3] Namun, setelah kejadian tersebut, banyak rakyat Romawi yang memandang bahwa penolakan Caesar atas pemahkotaan diadem tersebut adalah caranya untuk melihat apakah ia memiliki dukungan yang cukup untuk menjadi seorang raja, dan karena hal ini, rakyat Romawi mencibirnya.[3]
Menurut Suetonius, pembunuhan Caesar terjadi karena kekhawatiran rakyat Romawi bahwa ia akan memahkotai dirinya sendiri sebagai raja.[5] Kekhawatiran ini didukung oleh ketiga insiden yang terjadi sebelumnya antara 45 sampai 44 SM. Dalam tempo singkat, Caesar telah mengabaikan Senat, menuntut penurunan tribunus dan bermain-main dengan simbol monarki. Pada bulan Februari, suatu konspirasi untuk membunuhnya muncul.[3]
Konspirasi
[sunting | sunting sumber]
Rencana pembunuhan Julius Caesar dimulai dengan pertemuan antara Cassius Longinus dan saudara iparnya, Marcus Brutus[3] pada sore hari tanggal 22 Februari 44 SM,[6] setelah menjalani diskusi, keduanya setuju bahwa suatu hal harus dilakukan untuk mencegah Caesar naik menjadi raja orang Romawi.[6]
Longinus dan Brutus kemudian mulai merekrut partisipan lain. Meskipun hanya butuh satu orang untuk membunuh Julius Caesar, Brutus percaya bahwa agar pembunuhan Caesar dipandang sebagai pencabutan kekuasaan dari seorang tiran, dan dilakukan untuk kepentingan negara, pembunuhan tersebut harus melibatkan sejumlah besar pemimpin orang Romawi.[6] Mereka berusaha membuat suatu keseimbangan: mereka bertujuan untuk merekrut sejumlah cukup orang untuk mengelilingi Caesar dan melawan pendukungnya, namun tidak terlalu banyak sehingga mudah dilacak atau diketahui. Mereka lebih memilih untuk merekrut teman dekat ketimbang kenalan dan tidak merekrut anak muda maupun yang terlalu tua. Pada akhirnya, para konspirator merekrut senator yang mendekati umur 40, seumuran dengan mereka. Longinus dan Brutus menyeleksi mereka dengan pertanyaan yang terdengar sederhana.[3] Sumber-sumber Romawi Kuno menuliskan bahwa pada akhirnya, mereka mampu mengumpulkan sekitar 60 sampai 80 orang, meskipun angka terakhir ini diduga berasal dari kesalahan penulisan di dokumen.[3]
Anggota konspirator yang cukup terkemuka di antaranya adalah Pacuvius Labeo, yang memberikan kepastian pada tanggal 2 Maret saat Brutus bertanya kepadanya apakah bijak bagi seseorang untuk meletakkan dirinya dalam marabahaya apabila dimaksudkan untuk mengatasi orang jahat atau orang bodoh;[6] Decimus Brutus, yang bergabung pada 7 Maret melalui pendekatan yang dilakukan oleh Labeo dan Cassius; Gaius Trebonius, Tillius Cimber, Minucius Basilus, dan dua bersaudara Casca (Publius Casca dan satu lagi yang tidak dikenal namanya), semua orang yang sepangkat dengan Caesar; dan Pontius Aquila, yang pernah dipermalukan oleh Caesar.[6] Menurut Nikolaos dari Damascus, para konspirator juga terdiri dari tentara bawahan Caesar, para letnan dan kenalan dari kalangan sipil. Sebagian besar bergabung karena kekhawatiran perihal otoritarianisme Caesar, sebagian lain bergabung karena motif-motif pribadi seperti iri hati, atau kekesalan karena merasa Caesar tidak memberikan balasan yang sepadan, atau rasa benci terhadap sikap Caesar yang justru memberikan dana lebih banyak kepada pendukung Pompey.[3] Para konspirator tidak bertemu secara terang-terangan namun secara klendestin di rumah-rumah satu sama lain dan dalam grup kecil untuk membahas rencana pembununah.
Pertama, para konspirator membahas penambahan dua orang sebagai anggota konspirasi. Cicero, yang dipercaya oleh Cassius dan Brutus, secara terbuka telah menyatakan perlawanan terhadap pemerintahan Caesar yang opresif. Ia juga memiliki popularitas yang besar di antara rakyat biasa dan memiliki jaringan pertemanan yang luas, yang dapat membantu orang lain bergabung dalam misi mereka.[6] Namun, para konspirator memandang Cicero terlalu waspada, dan karena saat itu Cicero sudah berumur 60 tahun, menganggap bahwa Cicero akan memprioritaskan keamanan ketimbang kecepatan dalam merancang rencana pembunuhan.[3] Para konspirator juga mempertimbangkan untuk mengajak Marcus Antonius, yang saat itu berumur 39 tahun dan merupakan salah satu jenderal terbaik Caesar, sampai muncul keberatan dari Gaius Trebonius. Gaius mengatakan bahwa dirinya sudah berusaha mendekati Marcus pada musim panas yang lalu dan mengajaknya untuk bergabung dalam siasat lain untuk mengakhiri hidup Caesar, dan Marcus menolaknya. Penolakan terhadap ajakan ini menyebabkan para konspirator menolak merekrut Marcus Antonius.[3]
Akan tetapi, dengan absennya Marcus Antonius dari rencana ini, muncul masalah besar. Marcus adalah pihak yang kuat karena ia familiar dengan para tentara Romawi, dan memiliki kuasa besar dalam posisinya sebagai konsul. Apabila Antonius tidak bergabung dengan para konspirator, maka mereka harus juga membunuhnya, karena dia dapat dipastikan akan mengintervensi rencana pembunuhan.[3] Hal ini menyebabkan para konspirator terbelah menjadi dua fraksi. Fraksi pertama, para optimates, para "manusia terbaik" Roma, ingin kembali ke masa sebelum Caesar. Fraksi ini menginginkan kematian Caesar dan semua orang di sekitarnya, termasuk Antonius, dan kemudian fraksi ini juga bermaksud membalik seluruh reformasi yang dilakukan Caesar.[3] Fraksi kedua yang tidak setuju pandangan ini terdiri dari para konspirator yang dulunya adalah pendukung reformasi Caesar, mereka menyukai perkembangan yang dipicu oleh kebijakan Caesar. Mereka tidak menginginkan pembersihan terhadap orang-orang yang mendukung Caesar. Namun, mereka setuju untuk membunuh Antonius.[3]
Brutus tidak setuju dengan keduanya. Ia berpendapat bahwa membunuh Caesar, dan tidak melakukan hal lain, adalah pilihan yang harus mereka pilih. Para konspirator mengklaim bahwa mereka bertindak berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, katanya kepada mereka, dan tidak adil untuk membunuh Antony. Sementara pembunuhan Caesar akan dipandang sebagai pembunuhan seorang tiran, membunuh para pendukungnya hanya akan dilihat sebagai pembersihan politik dan pekerjaan mantan pendukung Pompey. Dengan menjaga reformasi Caesar tetap utuh, mereka berdua akan mempertahankan dukungan rakyat Romawi, yang menurut Brutus menentang Caesar sebagai raja, bukan Caesar sebagai pembaharu, dan dukungan dari para prajurit Caesar dan pendukung lainnya. Argumennya meyakinkan para konspirator lainnya. Mereka mulai membuat rencana untuk membunuh Caesar.[3]
Para konspirator percaya bahwa cara dan tempat mereka membunuh Caesar akan membuat perbedaan. Penyergapan di daerah terpencil akan memiliki dampak yang berbeda terhadap opini publik daripada pembunuhan di jantung kota Roma. Para konspirator memiliki banyak ide untuk pembunuhan itu. Mereka mempertimbangkan untuk menyerang Caesar ketika ia sedang berjalan di Via Sacra, “Jalan Suci”. Ide lainnya adalah menunggu untuk menyerangnya saat pemilihan konsul baru. Para konspirator akan menunggu Caesar mulai menyeberangi jembatan yang dilewati oleh semua pemilih sebagai bagian dari prosedur pemilihan,[3] dan kemudian mendorongnya jatuh ke sungai. Akan ada konspirator yang menunggu Caesar di dalam air dengan belati terhunus. Rencana lainnya adalah menyerangnya dalam sebuah pertandingan gladiator, yang memiliki keuntungan bahwa tidak ada orang yang akan curiga terhadap orang-orang bersenjata.[7]
Akhirnya, muncul ide untuk membunuh Caesar di salah satu sesi pertemuan senat.[7] Semua rencana lain memiliki satu kelemahan: karena Caesar tidak memiliki pengawal resmi, ia meminta teman-temannya untuk melindunginya di depan umum. Sebagian besar dari teman-teman ini berpenampilan mengesankan dan berbahaya dan para konspirator takut bahwa mereka akan mengganggu aksi pembunuhan. Di sini, hal ini tidak akan menjadi masalah, karena hanya para senator yang diizinkan berada di Curia Pompey.[3] Beberapa orang juga mengatakan bahwa pembunuhan seorang tiran di depan mata Senat tidak akan dilihat sebagai sebuah komplotan politik, tetapi sebagai tindakan mulia, yang dilakukan atas nama negara mereka.[3] Para konspirator akhirnya memutuskan untuk melaksanakan rencana ini. Caesar akan meninggalkan kota pada tanggal 18 Maret untuk memulai kampanye militer melawan Getai dan Parthia. Pertemuan senat terakhir sebelum tanggal tersebut adalah pada tanggal 15, hari Idus Martiae, sehingga para konspirator memilih tanggal tersebut sebagai hari pembunuhan.[7]
Pada hari-hari menjelang Idus Martiae, Caesar tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang direncanakan. Menurut sejarawan Plutarch, seorang peramal telah memperingatkan Caesar bahwa hidupnya akan berada dalam bahaya selambat-lambatnya hingga Idus Martiae.[8] Suetonius mengidentifikasi peramal tersebut sebagai seorang haruspex bernama Spurinna.[5] Selain itu, pada tanggal 1 Maret sebelumnya, Caesar melihat Cassius sedang berbicara dengan Brutus di gedung senat dan berkata pada seorang ajudan, “Apa yang sedang dilakukan Cassius? Saya tidak menyukainya, dia terlihat pucat."[7]
Dua hari sebelum pembunuhan, Cassius bertemu dengan para konspirator dan mengatakan kepada mereka bahwa, jika rencana mereka terbongkar, mereka harus mati di tangan mereka sendiri.[8]
Hari Idus Martiae
[sunting | sunting sumber]Pada bulan Maret 44 SM, para konspirator dan non-konspirator bertemu di Curia Pompey, yang terletak di Teater Pompey, untuk sesi pertemuan senat. Biasanya, para senator akan bertemu di Forum Romawi, tetapi saat itu, forum sedang dalam rekonstruksi yang dibiayai oleh Caesar sehingga para senator bertemu di tempat-tempat lain di seluruh Roma, salah satunya di Teater Pompey.[3] Bersamaan dengan pertemuan senat, di Teater Pompey sedang berlangsung pertandingan gladiator, dan Decimus Brutus, yang memiliki pasukan gladiator, menempatkan pasukannya di Serambi (Portico) Pompey, yang juga terletak di Teater Pompey.[3] Kehadiran para gladiator memiliki kegunaan bagi para konspirator: jika perkelahian terjadi untuk melindungi Caesar, para gladiator dapat mengintervensi; jika Caesar terbunuh namun para konspirator diserang, para gladiator dapat melindungi mereka; dan karena mustahil untuk memasuki Gedung Senat tanpa melalui Portico, para gladiator dapat memblokir pintu masuk ke keduanya jika diperlukan.[3]
Para senator menunggu kedatangan Caesar, namun ia tidak kunjung datang. Alasannya adalah karena pada pagi hari itu, Kalpurnia, istri Caesar, terbangun dari mimpi buruk. Dia bermimpi bahwa dia memeluk Caesar yang bersimbah darah dan meratapi kepergiannya. Versi lain mengatakan bahwa Kalpurnia bermimpi bahwa teras depan rumah mereka telah runtuh dan Caesar telah meninggal; versi lain menunjukkan tubuh Caesar berlumuran darah.[3] Kalpurnia tidak diragukan lagi telah mendengar peringatan dari Spurinna tentang bahaya besar yang mengancam kehidupan Caesar, yang membantu menjelaskan penglihatannya. Sekitar pukul 5 pagi, Kalpurnia memohon kepada Caesar untuk tidak pergi ke pertemuan senat hari itu.[3] Setelah beberapa keraguan, Caesar setuju. Meskipun Caesar tidak percaya takhayul, dia tahu bahwa Spurinna dan Calpurnia terlibat dalam politik Romawi, dan memutuskan untuk bertindak hati-hati. Caesar mengutus Marcus Antonius untuk membubarkan Senat.[3] Ketika para konspirator mendengar hal ini, Decimus bergegas pergi ke rumah Caesar, membujuknya agar mau datang ke pertemuan Senat.[3] “Bagaimana menurutmu, Caesar?” Kata Decimus. “Akankah orang setinggi Anda memperhatikan mimpi seorang wanita dan pertanda-pertanda dari orang-orang yang bodoh?” Caesar akhirnya memutuskan untuk pergi.[3]
Caesar kemudian berjalan menuju gedung senat dan ia melihat Spurinna. “Nah, Idus Martiae telah tiba!” Caesar berseru dengan nada bercanda. “Ya, Idus telah datang”, kemudian Spurinna menimpali, ‘tetapi ia belum berlalu.’[5][8] Mark Antony mulai masuk bersama Caesar, tetapi dicegat oleh salah satu konspirator (antara Trebonius atau Decimus Brutus) dan ditahan di luar. Dia tetap di sana sampai setelah pembunuhan, di mana dia melarikan diri.
Menurut Plutarch, ketika Caesar duduk di kursinya, Lucius Tillius Cimber mengajukan petisi untuk memanggil kembali saudaranya yang telah diasingkan.[9] Para konspirator lainnya berkerumun untuk memberikan dukungan mereka terhadap petisi Cimber. Baik Plutarch maupun Suetonius mengatakan bahwa Caesar mengibaskan tangannya mengacuhkan Cimber, tetapi Cimber meraih bahu Caesar dan menarik toga Caesar. Caesar kemudian menyeru kepada Cimber, “Ini adalah kekerasan!” (“Ista quidem vis est!”).[10] Pada saat yang sama, Casca mengeluarkan belatinya dan menikam leher sang diktator. Caesar berbalik dengan cepat dan menangkap lengan Casca. Menurut Plutarch, ia berkata dalam bahasa Latin, “Casca, kamu penjahat, apa yang kamu lakukan?”[11][8] Casca yang ketakutan berteriak serentak, “Saudaraku! Tolong aku!” (dalam bahasa Yunani Kuno: ἀδελφέ, βοήθει, diromanisasi: adelphe, boethei). Meskipun Caesar mampu dengan kasar mendorong Casca, namun Gaius Servilius Casca (saudaranya) menikam Caesar dari samping. Dalam waktu singkat, Caesar diserang dari segala arah, dengan Cassius menebas wajah Caesar, Bucilianus menikam di bagian belakang dan Decimus mengiris pahanya. Caesar berusaha melawan, tetapi tersandung dan jatuh; orang-orang itu terus menikamnya saat ia terbaring tak berdaya di tangga bawah serambi. Caesar ditikam sebanyak 23 kali.[12][13] Suetonius menceritakan bahwa seorang dokter yang melakukan otopsi terhadap Caesar menyatakan bahwa hanya satu luka (luka kedua di rusuknya) yang berakibat fatal. Laporan otopsi ini menjelaskan bahwa kematian Caesar sebagian besar disebabkan oleh kehilangan darah dari luka tusukannya.[5]
Kata-kata terakhir Caesar adalah topik yang diperdebatkan di antara para sarjana dan sejarawan. Baik Cassius Dio maupun Suetonius menyatakan bahwa dia tidak mengatakan apa-apa,[10] namun, keduanya menyebutkan bahwa orang lain telah menulis bahwa kata-kata terakhir Caesar adalah frasa Yunani “καὶ σύ, τέκνον;”[4][5] (“Kai su, teknon?“, “Kamu juga, nak?”). Plutarch juga melaporkan bahwa Caesar tidak berkata apa-apa, hanya menarik toga di atas kepalanya ketika ia melihat Brutus di antara para konspirator.[8] Menurut Plutarch, setelah pembunuhan itu, Brutus melangkah maju seolah-olah ingin mengatakan sesuatu kepada rekan-rekan senatornya yang tidak terlibat dalam komplotan tersebut; namun, mereka melarikan diri dari gedung tersebut.[8] Brutus dan teman-temannya kemudian berkeliling kota sambil mengumumkan, “Rakyat Roma, kita sekali lagi bebas!” Mereka disambut dengan keheningan, karena warga Roma telah mengunci diri di dalam rumah mereka segera setelah desas-desus tentang apa yang telah terjadi mulai menyebar. Menurut Suetonius, setelah pembunuhan tersebut, semua konspirator melarikan diri; mayat Caesar terbaring tak tersentuh selama beberapa waktu setelahnya, sampai akhirnya tiga budak meletakkannya di atas tandu dan membawanya pulang, dengan satu tangan menggantung ke bawah.[5]
Daftar konspirator (Liberatores)
[sunting | sunting sumber]Sekitar 40 orang bergabung dalam plot itu, tetapi sebagian besar nama mereka hilang dalam sejarah. Anggota yang diketahui adalah:
- Gaius Cassius Longinus
- Marcus Junius Brutus
- Servius Sulpicius Galba
- Quintus Ligarius
- Lucius Minucius Basilus
- Servilius Casca
- Gaius Servilius Casca (saudara Servilius Casca)
- Decimus Junius Brutus Albinus
- Tillius Cimber
- Caius Trebonius
- Caecilius
- Bucolianus (saudara Caecilius)
- Rubrius Ruga
- Marcus Spurius
- Sextius Naso
- Minucius Basilus
- Pontius Aquila
Marcus Tullius Cicero bukanlah anggota konspirator dan terkejut akan hal itu, tetapi kemudian menulis kepada konspirator Trebonius bahwa ia berharap "...diundang ke perjamuan agung itu." Ia percaya bahwa Liberatores juga harus membunuh Mark Antony.[14] Namun, para konspirator memutuskan bahwa kematian seorang tiran akan efektif secara simbolis, menyatakan bahwa tujuan peristiwa itu bukanlah untuk kudeta, melainkan tiranisida.
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Crawford, Michael Hewson (1974). Roman Republican Coinage (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-07492-6.
- ^ "6 Civil Wars that Transformed Ancient Rome". HISTORY (dalam bahasa Inggris). 2023-10-04. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Strauss, Barry (2016). The death of Caesar: the story of history's most famous assassination. New York London Toronto Sydney New Delhi: Simon & Schuster. ISBN 978-1-4516-6881-0.
- ^ a b "Cassius Dio — Book 44". penelope.uchicago.edu. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ a b c d e f g h i j "Suetonius • Life of Julius Caesar". penelope.uchicago.edu. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ a b c d e f Dando-Collins, Stephen (2010). The ides: Caesar's murder and the war for Rome. Hoboken, N.J: Wiley. ISBN 978-0-470-42523-7. OCLC 319247405.
- ^ a b c d Parenti, Michael (2004). The assassination of Julius Caesar: a people's history of Ancient Rome. New York, NY: New Press. ISBN 978-1-56584-942-6.
- ^ a b c d e f "Plutarch • Parallel Lives". penelope.uchicago.edu. Diakses tanggal 2025-03-16.
- ^ "The Internet Classics Archive | Marcus Brutus by Plutarch". classics.mit.edu. Diakses tanggal 2025-03-17.
- ^ a b "Internet History Sourcebooks Project: Ancient History". sourcebooks.fordham.edu. Diakses tanggal 2025-03-17.
- ^ Henderson, Jeffrey. "Caesar: Chapter LXVII". Loeb Classical Library (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-03-17.
- ^ "Julius Caesar's Stabbing Site Identified". HISTORY (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-03-17.
- ^ Woolf, Greg (2006). Et tu, Brute? the murder of Caesar and political assassination. Profiles in history (edisi ke-1. publ). London: Profile Books. ISBN 978-1-86197-741-0.
- ^ Ad Att. XIV 12
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- J. A. Crook, Andrew Lintott, Elizabeth Rawson (editors), The Cambridge Ancient History', Volume IX, The Last Age of the Roman Republic, Cambridge University Press, 1992.
- Balsdon, J.P.V.D. (1958). "The Ides of March". Historia: Zeitschrift für Alte Geschichte. 7 (1): 80–94. JSTOR 4434559.
- Drumann, W. (1906). P. Groebe, ed. Geschichte Roms in seinem Uebergange von der republikanischen zur monarchischen Verfassung, oder: Pompeius, Caesar, Cicero und ihre Zeitgenossen (dalam bahasa Jerman). 3 (edisi ke-2nd). Leipzig: Berlin, Gebr£uder Borntraeger.
- Epstein, David F. (1987). "Caesar's Personal Enemies on the Ides of March". Latomus. 46 (3): 566–570. ISSN 0023-8856. JSTOR 41540686.
- Horsfall, Nicholas (1974). "The Ides of March: Some New Problems". Greece & Rome. 21 (2): 191–199. doi:10.1017/S0017383500022397. ISSN 0017-3835.
- Parenti, Michael (2004). The assassination of Julius Caesar : a people's history of Ancient Rome
. New Press. ISBN 1-56584-942-6. OCLC 56643456.
- Smith, R.E. (1957). "The Conspiracy and the Conspirators". Greece & Rome. 4 (1): 58–70. doi:10.1017/S0017383500015734. ISSN 0017-3835.
- Strauss, Barry S. (2015). The death of Caesar : the story of history's most famous assassination. ISBN 978-1-4516-6881-0. OCLC 913303337.
- Yavetz, Zvi (1974). "Existimatio, Fama, and the Ides of March". Harvard Studies in Classical Philology. 78: 35–65. doi:10.2307/311200. JSTOR 311200.
- Dando-Collins, Stephen (2010). The Ides: Caesar's Murder and the War for Rome. Wiley. ISBN 978-0470425237.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Laporan pembunuhan dari Nicolaus dari Damaskus
- Suetonius, Kehidupan Julius Caesar, termasuk laporan pembunuhan
- Laporan pembunuhan dari sejarawan Appianus. Bagian 114 memuat daftar konspirator.