Mangirdak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mangirdak atau Mangganje, atau Mambosuri Boru, atau Manonggot merupakan salah satu dari serangkaian upacara adat pada Suku Batak Toba terhadap calon ibu yang usia kehamilannya sudah mencapai tujuh bulan. Mangirdak jika diartikan dengan Bahasa Indonesia berarti memberikan semangat kepada wanita yang menikah yang hendak melahirkan.[1] Sebagai contoh, seorang laki-laiki bermarga Naibaho menikah dengan seorang perempuan boru Manihuruk (boru juga adalah marga untuk penyebutan wanita). Maka orang tua dari istri (disebut sebagai Parboru) beserta rombongan dari keluarga marga Manihuruk mendatangi putri dan manantunya itu dengan membawa makanan dan ulos. Tidak hanya kehamilan tujuh bulan saja, syarat Mangirdak adalah dilaksanakan pada kehamilan pertama wanita yang telah menikah, atau disebut juga dengan Buha Baju.[2] Sebagai catatan, upacara ini biasanya berlaku juga bagi pasangan yang jika salah satunya bukan berasal dari Suku Batak. Misalnya pria bermarga Naibaho menikah dengan Boru Tionghoa, atau bisa sebaliknya, lelaki dari Suku Jawa yang menikahi Boru Sitanggang.[1]

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Penyebutan yang berbeda-beda bergantung pada daerahnya. Ada juga yang menyebutnya dengan Pasahat Ulos Mula Gabe. Meski berbeda penyebutan prinsipnya tetaplah sama. Harapannya agar putrinya itu dalam kondisi sehat ketika melahirkan anak pertamanya. Juga selalu sehat pasca melahirkan, sehat anaknya, dan persalinannya bisa berjalan dengan lancar tanpa beban apapun.[2]

Setelah orang tua si calon ibu (disebut Parboru) mengetahui bahwa kandungan putrinya sudah hamil tua, berusia tujuh bulan, maka mereka memberitahukan kabar baik itu kepada kerabat-kerabatnya. Pada tanggal yang telah ditentukan, lalu datanglah mereka ke kediaman menantunya itu. Kedatangan mereka ini untuk menunjukkan perhatian dari orang tua si perempuan kepada putri dan mantunya itu. Juga agar putrinya itu selalu semangat menjalani hari-hari kehamilan (Mangirdak).[1]

Kedatangan Parboru ada yang mendadak, artinya putri dan menantunya tidak mengetahui sama sekali akan kedatangan orang tua si istri, jadi kesannya dikagetkan (Manonggot). Ada juga yang sudah dipersiapkan sebelumnya, atau dengan kata lain, Parboru memberitahukan terlebih dahulu kedatangan mereka kepada anak dan menantunya itu.[2] Jika kedatangan orang tua si putri diberitahukan terlebih dahulu, berarti sang suami wajib memberitahukan orangtuanya beserta kerabatnya (Paranak, keluarga Menantu) untuk datang menyambut kedatangan Parboru. Pihak keluarga suami akan menyediakan daging lengkap dengan jambar/na margoar, dan keluarga parboru membawa ikan mas (atau makanan kesukaan putrinya) beserta Ulos Mula Gabe. Inilah alasannya maka Mangirdak dibeberapa tempat di Tanah Batak disebut juga dengan upacara Pasahat Ulos Mula Gabe, artinya mengandung anak yang pertama sebagai permulaan.[3]

Acara dibuka dengan makan bersama. Makanan yang dibawa tadi oleh pihak Parboru lalu dihidangkan di depan anak-menantunya. Namun yang boleh pertama kali menyantap hidangan tersebut hanyalah si calon ibu. Lazimnya, sang putri disuapi oleh ibunya. Setelah putrinya telah merasa puas dan kenyang, barulah yang hadir boleh mencicipi hidangan, termasuk suaminya sendiri. Setelah makan bersama, keluarga Parboru memberikan semangat kepada putrinya, sekaligus untuk menghilangkan kecemasan sambil menunggu proses bersalinnya. Lalu diberikan masukan tentang bagaimana ketika melahirkan dan ketika merawat anaknya nanti. Tidak hanya itu, sang putri ditanyakan apakah masih ada perasaan yang masih mengganjal, misalnya soal keuangan, perlakuan suami atau mengidam sesuatu. Jika ada maka harus seharusnya segera dituntaskan. Orang Batak percaya ganjalan-ganjalan ini akan juga menjadi halangan bagi si bayi ketika dewasa nanti.

Dalam upacara adat ini juga ada ritual pemberian ulos tondi yang dililitkan kepada putri dan menantunya. Biasanya pemberian ulos ini tidak hanya oleh orang tua si putri saja, tapi dililitkan juga oleh kerabat orang tua si istri. Hal demikian menyimbolkan kekuatan jiwa dan fisik, khususnya bagi si ibu, agar diberi kekuatan dan semangat dalam menghadapi proses melahirkan ke depan. Lalu ketika pihak keluarga istri hendak pulang, pihak keluarga suami akan memberikan sejumlah uang kepada keluarga besannya. Hal itu dinamakan marsituak na tonggi[4].

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Habeahan, Hanter (2016). "Masyarakat Batak Toba Beragama Islam Di Kecamatan Harian, Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1930-2000". usu. Program Studi Ilmu Sejarah Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan. Diakses tanggal 31 Maret 2019. 
  2. ^ a b c Siagian, Tansiswo (26 Februari 2017). "'Mambosuri/Mangirdak', Nujuh Bulanan-nya Orang Batak". batakgaul. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-31. Diakses tanggal 31 Maret 2019. 
  3. ^ Sinaga, Richard (1998). Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Dian Utama & Kerukunan Masyarakat Batak. ISBN 9799557607. 
  4. ^ Gultom, Jones (15 September 2017). ""Maranggap" Tradisi Batak Toba yang Kaya Nilai dan Pengetahuan". medanbisnisdaily. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-31. Diakses tanggal 31 Maret 2019.