Lingsir Wengi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pendahuluan[sunting | sunting sumber]

Lingsir Wengi adalah tembang Jawa yang cukup populer di kalangan masyarakat Jawa modern. Masyarakat Jawa dimasa kini mengenal tembang ini dari lagu pop Campursari yang dipopulerkan oleh penyanyi Nurhana (1995, produksi Daksa Records). Kemudian di tahun 2006 Lingsir Wengi muncul sebagai lagu yang dinyanyikan oleh seorang pemeran dalam film Kuntilanak karya sutradara Rizal Mantovani (2006, MVP Pictures).

Apabila ditelusur jauh ke belakang, masyarakat Jawa di masa lalu sesungguhnya tidak mengenal tembang Jawa dengan judul Lingsir Wengi seperti halnya masyarakat Jawa yang hidup dimasa kini. Di abad ke-15, masyarakat Jawa - khususnya yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur - mengenal sebuah tembang yang berjudul Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Meskipun begitu, sebagian masyarakat Jawa di masa kini menganggap tembang Lingsir Wengi memiliki makna konotatif sama seperti halnya makna yang terkandung dalam tembang Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga.[1]

Tinjauan berdasarkan makna[sunting | sunting sumber]

Secara Semantik istilah Lingsir Wengi mengandung makna 'saat dimana malam mulai menyusut'.[2]

Namun ada juga yang mengartikannya 'saat menjelang tengah malam' seperti yang terdapat pada lirik lagu Lingsir Wengi karya Sukap Jiman (1995) [3] maupun lagu Lingsir Wengi gubahan Rizal Mantovani dan Ngatirin (2006).[4]

Lingsir Wengi (Sukap Jiman,1995)

Lingsir Wengi adalah sebuah lagu pop Jawa Campursari yang diciptakan oleh Sukap Jiman dan dipopulerkan oleh penyanyi Nurhana (1995, produksi Daksa Records). Bagi penciptanya lagu Lingsir Wengi ini merupakan kenangan kisah cintanya kepada Waliem, istrinya yang telah meninggal dunia.[5] Berikut ini adalah lirik lagu Lingsir Wengi berikut maknanya.

Lingsir Wengi

Lingsir wengi Sepi durung bisa nendra Kagodha mring wewayang Angeridhu ati Kawitane Mung sembrana njur kulina Ra ngira Yen bakal nuwuhke tresna Nanging duh tibane aku Dewe kang nemahi Nandang branta kadung lara Sambat-sambat sapa Rina wengi Sing tak puji aja lali Janjine muga isa tak ugemi

Saat Menjelang Tengah Malam

Saat menjelang tengah malam Sepi belum bisa tidur Tergoda oleh bayangmu Yang merindu hati Awal mulanya Cuma bercanda lalu terbiasa Tidak menyangka Kalau bakal menumbuhkan cinta Tapi ternyata aku Sendiri yang mengalami Terlanjur sakit dirundung cinta Mengeluh kepada siapa Siang malam Yang kupuji janganlah lupa Janjinya semoga bisa kupegang teguh

Lingsir Wengi (Rizal Mantovani, Ngatirin, 2006)[sunting | sunting sumber]

Di tahun 2006, sebuah versi yang berbeda dari tembang Lingsir Wengi muncul ke tengah publik pecinta film Indonesia. Lingsir Wengi ini digubah oleh Rizal Mantovani dan Ngatirin,[6] khusus untuk dinyanyikan dalam film Kuntilanak (2006, MVP Pictures) karya sutradara Rizal Mantovani. Tembang ini digubah dalam bentuk kidung Macapat bermetrum Durma. Tembang Durma biasanya digunakan untuk menggambarkan suasana hati yang diliputi amarah, memberontak atau nafsu menghancurkan.[7] Sifat-sifat tersebut terbaca dengan jelas dalam lirik lagu Lingsir Wengi ini yang merupakan mantra pemanggil Kuntilanak. Berikut ini adalah lirik dan makna tembang Lingsir Wengi (2006) versi film Kuntilanak.

Lingsir Wengi

Lingsir wengi Sliramu tumeking sirna Aja tangi nggonmu guling Awas ja ngetara Aku lagi bang winga-winga Jin setan kang tak utusi Dadiya sebarang Waja lelayu sebet

Menjelang Tengah Malam

Menjelang tengah malam Dirimu akan lenyap Jangan bangun dari tempat tidurmu Awas jangan menampakkan diri Aku sedang marah besar Jin dan setan akan kuperintahkan Jadilah perantara Kamu akan menjadi mati

Rumeksa ing Wengi (Sunan Kalijaga, abad ke-15)[sunting | sunting sumber]

Sunan Kalijaga (1450-1592) adalah seorang pendakwah dimasa awal penyebaran agama Islam di Jawa yaitu dimasa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di abad ke-15. Mengikuti jejak Sunan Bonang gurunya, Sunan Kalijaga dikenal senang menggunakan pendekatan seni-budaya dalam syiar Islamnya. Digubah dalam bentuk kidung Macapat bermetrum Dandhanggula, [8] Tembang bermetrum Dandhanggula dikenal mengandung sifat-sifat kebahagiaan, suka-duka, perjuangan, bersyukur, kegigihan, kerja keras dan kasih sayang. [9] Karakter tersebut sangat kental tercermin dari lirik tembang Rumeksa ing Wengi yang bermakna do'a permohonan kepada Allah SWT agar seseorang terhindar dari penyakit, pencurian, serangan sihir dan teluh, serta gangguan jin dan setan.[10] Siapa yang mengamalkan do'a ini akan sentosa hidupnya karena mendapatkan penjagaan dari malaikat dan para nabi.[11] Berikut ini adalah lirik dan makna tembang Rumeksa ing Wengi (abad ke-15).

Rumeksa ing Wengi

Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lelara Luputa billahi kabeh Jin setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guna duduk pan sirna Sakehing lara pan samya bali Sakehing ngama pan sami miruda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak lulut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning mong lemah miring Myang pakiponing merak Pagupakaning warak sakalir Nadyan arca myang segara asat Temahan rahayu kabeh Apan sarira ayu Ingideran mring widadari Rineksa malaekat Sakathahing rasul Pan dadi sarira tunggal Ati Adam utekku baginda Esis Pangucapku ya Musa Napasingsun nabi Ngisa linuwih Nabi Yakub pamiryasaningwang Dawud swaraku mangke Nabi Ibrahim nyawaningwang Nabi Suleman kasekten mami Nabi Yusup rupengwang Edris ing rambutku Baginda Ngali kulitingwang Abubakar getih daging Ngumar singgih Balung baginda Ngusman Sumsumingsun Patimah linuwih Siti Aminah banyuning angga Ayub ing ususku mangke Nabi Nuh ing jejantung Nabi Yunus ing otot mami Netraku ya Muhammad Panduluku rasul Pinayungan Adam Kawa Sampun pepak sakathahing para nabi Dadiya sarira tunggal

Do'a di Malam Hari

Ada nyanyian yang menjaga di malam hari Kukuh selamat terbebas dari penyakit Terbebas dari semua malapetaka Jin setan jahat pun tidak ada yang berani Segala jenis sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat Guna-guna pun tersingkir Api akan menjadi air Pencuri menyingkir tidak ada yang mendekat Guna-guna sakti pun lenyap Segala penyakit kembali ke asalnya Semua hama pada membiarkan Seolah menunjukkan belas kasih Segala senjata tidak melukai Bagai kapas menimpa besi Segenap racun menjadi tawar Binatang buas menjadi jinak Kayu angker tanah gersang Liang landak gua tanah miring Tempat merak bersarang Kandangnya badak termasuk Meski arca dan laut mengering Pada akhirnya akan sehat sejahtera Dan menyenangkan Dikelilingi bidadari Dijaga oleh malaikat Bersama para rasul Semuanya menyatu dalam diriku Hatiku nabi Adam, pikiranku baginda Sis Ucapanku adalah nabi Musa Nafasku nabi Isa yang mulia Nabi Yakub penampilanku Daud suaraku kelak Nabi Ibrahim nyawaku Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku Nabi Yusuf elok wajahku Idris berada di rambutku Baginda Ali elok kulitku Abubakar darah daging Umar yang setia Tulang baginda Usman Sumsumku adalah Fatimah yang mulia Siti Aminah cairan tubuhku Ayub berada dalam ususku kelak Nabi Nuh berada di jantungku Nabi Yunus berada di ototku Mataku ialah Muhammad Penglihatanku seumpama rasul Dalam lindungan Adam dan Siti Hawa Maka lengkaplah para nabi semuanya Jadilah menyatu dalam diriku

Penutup[sunting | sunting sumber]

Nampak disini bahwa judul lagu bisa sama atau mirip satu sama lain, tetapi identitas lagu lah yang membedakannya. Unsur pembedanya adalah lirik dan karakter lagu. Lirik mengindikasikan maksud ndan tujuan lagu itu dibuat, sedangkan metrum atau pola nada dan tempo menggambarkan suasana hati yang menjiwai sebuah lagu.

Referensi[sunting | sunting sumber]

[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

[11]

  1. ^ [1] Nurul Layli, Makna Lirik Lagu Lingsir Wengi Karya Sunan Kalijaga (Analisis Semiotika Roland Barthes), Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Agama Islam Ponorogo, 2020
  2. ^ [2] Puspasari Setyaningrum, Penyebutan Waktu dalam Bahasa Jawa, Kompas.com, 5 November 2023
  3. ^ [3] Ari Purnomo, detikNews, 23 November 2021
  4. ^ [4] Surat Pencatatan Ciptaan Nomor EC 00201824932, 24 Agustus 2014
  5. ^ [5] Ari Purnomo, idem
  6. ^ [6] Surat Pencatatan Ciptaan, idem
  7. ^ [7] Wahyu Gilang Putranto, Urutan 11 Tembang Macapat Bermakna Perjalanan Hidup Manusia: Maskumambang hingga Pucung, www.tribunnews.com, 2 November 2022
  8. ^ [8] M. Sakdullah, Kidung Rumeksa ing Wengi Karya Sunan Kalijaga dalam Kajian Teologis, UIN Walisongo, Semarang as published in Ilmu Kalam, Vol. 25 No. 2, 2014
  9. ^ [9] Kompas.com, Mengenal Tembang Dandhanggula: Makna, Watak dan Aturan, Kompas.com, 27 Januari 2023
  10. ^ [10] Faiz Saroni, Pesan Dakwah dalam Serat Kidung Rumeksa ing Wengi Karya Sunan Kaloijaga (Kajian Semiotika Ferdinand de Saussure), Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020
  11. ^ [11] Danur Putut Permadi, Memoir of Kidung Rumeksa ing Wengi in the Frame of Symbolism, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung as published in ISLAH: Journal of Islamic Literature and History, Vol. 2 No. 1, June 2022 ISSN: 2783-407X