Kesejahteraan menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesejahteraan menurut Islam digambarkan dengan kehidupan yang serba berkecukupan disertai dengan ketenteraman. Gambaran terawalnya adalah kehidupan Nabi Adam dan istrinya di Surga sebelum menjadi khalifah di Bumi. Dalil mengenai kesejahteraan menurut Islam disampaikan dalam Al-Qur'an secara gamblang maupun tersirat. Jaminan kesejahteraan menurut Islam diberikan langsung oleh Allah kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya secara bersyarat. Panduan untuk memperoleh kesejahteraan menurut Islam adalah Al-Qur'an dan Hadis. salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan penetapan kewajiban pembayaran zakat.

Gambaran[sunting | sunting sumber]

Ajaran Islam telah memberikan pedoman untuk memperoleh kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.[1] Al-Qur'an telah memberikan gambaran mengenai kesejahteraan sebelum manusia berada di permukaan Bumi. Surah Ta ha ayat 117–119 menjelaskan kesejahteraan yang diperoleh oleh Adam dan Hawa selama berada di surga sebelum diutus menjadi khalifah di Bumi. Bentuk kesejahteraannya adalah jaminan akan ketersediaan pangan, sandang dan papan. Penggambarannya melalui tidak adanya rasa lapar dan dahaga, tersedianya pakaian dan terbebas dari panas yang berasal dari sinar matahari. Surah Ta ha ayat 117–119 juga menggambarkan kondisi yang berkebalikan dari kesejahteraan. Bentuknya adalah kehidupan yang tidak tenang apalagi tenteram, selalu ada rasa ketidakpuasan, dan perasaannya selalu gelisah. Kondisi ini terjadi pada manusia meskipun berada dalam kemewahan dan berkecukupan dalam persediaan pakaian dan tempat tinggal.[2]

Dalil[sunting | sunting sumber]

Kesejahteraan merupakan tujuan utama dalam ekonomi Islam. Allah menjadikan kesejahteraan dalam Islam sebagai salah satu bentuk rahmat-Nya bagi semesta alam. Konsep mengenai kesejahteraan terdapat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an. Penyampaiannya ada yang gamblang dan ada yang tersirat melalui pembahasan ekonomi.[3]  

Jaminan[sunting | sunting sumber]

Jaminan akan kesejahteraan telah diberikan sendiri oleh Allah semua makhluk yang bernyawa. Pernyataan jaminan ini disebutkan dalam Surat Hud ayat 6. Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa semua mahkluk di Bumi termasuk binatang melata telah diberi rezeki oleh Allah.[4] Bagi manusia, Allah memberikan jaminan kesejahteraan khusus bagi laki-laki maupun perempuan yang beriman kepada-Nya.[5] Namun, jaminan dari Allah hanya dapat dicapai dengan usaha. Dalilnya pada Surah Ar-Ra'd ayat 11. Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa Diri-Nya tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sebelum kaum itu mengubah keadaan kaummnya secara mandiri.[4] Allah juga mempersyaratkan ketaatan manusia untuk memperoleh kesejahteraan. Ketaatan ini dalam bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.[6]

Panduan[sunting | sunting sumber]

Panduan umat muslim dalam memperoleh kesejahteraan adalah ajaran Islam. Ajaran ini disampaikan dalam Al-Qur'an dan Hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Kesejahteraan yang diwujudkan melaluinya tidak hanya kesejahteraan kehidupan di dunia, melainkan pula kesejahteraan kehidupan di akhirat. Kesejahteraan ini tidak hanya kesejahteraan yang sifatnya material, melainkan pula kesejahteraan yang sifatnya spiritual.[7]

Kesejahteraan tertinggi dapat terwujud melalui wahyu dari Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Karena wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad merupakan penyempurnaan wahyu yang telah dikirimkan oleh Allah sejak masa Nabi Adam. Setelah penyempurnaan ajaran Islam, Allah tidak lagi mengirimkan pemandu lainnya baik nabi maupun rasul. Allah telah menyatakan kesempurnaan ajaran Islam dalam Surah Al-Ma'idah ayat 3 dan telah mencukupkannya.[8]

Metode pencapaian[sunting | sunting sumber]

Penetapan kewajiban zakat[sunting | sunting sumber]

Permasalahan ekonomi pada umat muslim telah diatur penyelesaiannya dalam ajaran Islam. Salah satunya mengenai kemiskinan. Ajaran Islam menetapkan kewajiban bagi umat muslim untuk membayar zakat sesuai dengan ketentuan tertentu. Selain itu, dalam ajaran Islam juga dikenal anjuran untuk memberikan infak dan sedekah sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Ajaran ini mengurangi salah satu faktor yang menjadi penyebab kemiskinan, yaitu kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin akibat ketidakpedulian sosial.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hambali, Muh. (2017). Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 21. ISBN 978-602-407-185-1. 
  2. ^ Purwana 2014, hlm. 30-31.
  3. ^ Purwana 2014, hlm. 29-30.
  4. ^ a b Sodiq, Amirus (2015). "Konsep Kesejahteraan dalam Islam". Equilibrium. 3 (2): 381. 
  5. ^ Purwana 2014, hlm. 30.
  6. ^ Purwana 2014, hlm. 29.
  7. ^ Ghafur, W. A., dkk. (2012). Huda, M., dan Hanjarwati, A., ed. Interkoneksi Islam dan Kesejahteraan Sosial: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus. Yogyakarta: Prodi Kesejahteraan Sosial UIN Suka dan Samudra Biru. hlm. 5. ISBN 978-602-9276-18-3. 
  8. ^ Muslim, Abu (2012). 1001 Hal yang Paling Sering Ditanyakan tentang Islam [1001 Pertanyaan Soal Jawab Agama]. Diterjemahkan oleh Dewi, Sandra. Jakarta: Penerbit Kalil. hlm. 3. ISBN 978-979-22-8699-1. 
  9. ^ Suardi, Didi (2021). "Makna Kesejahteraan dalam Sudut Pandang Ekonomi Islam". Islamic Banking: Jurnal Pemikiran  dan Pengembangan  Perbankan  Syariah. 6 (2): 324. doi:10.36908/isbank. ISSN 2460-9595. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]