Kalangan, Gemolong, Sragen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kalangan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenSragen
KecamatanGemolong
Kode pos
57274
Kode Kemendagri33.14.13.2013
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Kalangan adalah desa di kecamatan Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, Indonesia.

Pembagian wilayah[sunting | sunting sumber]

Desa Kalangan terdiri dari 3 dusun dan 15 dukuh, antara lain:

  • Bejen
  • Bejen Kembar
  • Blimbing

Sejarah penamaan Dusun MBLIMBING

      Dusun Mblimbing yang berada di Rt 06 RW 02 desa Kalangan kec. Gemolong kab. Sragen ini dulunya hanya perlintasan jalan antara pasar kawak dan arena sabung ayam. Dipinggir jalan tersebut terdapat pohon Belimbing yang tumbuh di pekarangan warga, sepanjang jalan itu cuma dikebun tersebut yang ada pohon belimbingnya. Orang dulu kalau buat janjian mau berangkat bareng ke pasar kawak maupun ke arena sabung ayam pasti pohon belimbing yang jadi Ancer - ancer (penanda) buat menunggu, "Tunggu nang mblimbing yo (tunggu di sekitar pohon belimbing ya)" seringnya mereka bilang begitu  kalau sudah janjian saling menunggu.
    Setelahnya, walaupun pohon belimbing itu sudah tidak ada tapi orang-orang sudah paham kalau bilang menunggu di Mblimbing berarti dia berada di daerah sekitat bekas pohon belimbing. Setelah banyak penduduknya daerah tersebut tetap dikenal dengan sebutan Mblimbing, menurut penuturan Ahmad Taufik (Kadus Kebayanan II) Kalangan nama dusun blimbing diambil dari keberadaan pohon blimbing tersebut.
  • Brumbung

Asal penamaan dukuh BRUMBUNG

      Di dukuh Brumbung rt 13/03 desa Kalangan kec. Gemolong kab. Sragen ada sumur tua yang bertuliskan tahun 1934. Menurut keterangan narasumber bapak Wiro Slamet (almarhum) tahun 1934 yang tertulis disitu adalah tahun saat njerokke sumur ( penggalian ulang biar sumur lebih dalam)karena tahun pembuatan sumur yang pertama kali tidak diketahui. Dahulu sumber air di Kebayanan III desa Kalangan hanya berasal dari dua buah sendang didukuh sendang, karena dirasa jauh dan jalannya menanjak akhirnya para tetua kampung berinisiatif membuat sumur yang lebih mudah dijangkau dari rumah mereka dan biar tidak kejauhan atau antri harus kesendang. Sumur itu awalnya cuma sedalam sekitar 2 meter dan sekeliling sumur cuma dikasih Srumbung (anyaman bambu yang dipasang melingkar didalam sumur) biar sumur tidak longsor, hingga sampai periode tahun 60-70-an cara ambil air disumur tersebut masih pakai pengungkit bambu yang ujungnya dikasih pemberat batu. Baru pada tahun 80-an dengan dana swadaya masyarakat sumur itu dibangun warga memakai bata dan dikasih kerekan. Nah, dari kata Srumbung inilah awal mulanya hingga akhirnya lama - lama menjadi Brumbung.
  • Bulung
  • Jago
  • Kalangan
  • Karangmojo
  • Karangmojo Dukuhan
  • Nglebak

Asal penamaan dukuh nglebak

Sejarah dukuh Nglebak tidak dapat dipisahkan dengan sosok Eyang Natar Nyawa. Dukuh Nglebak terbagi dalam 2 wilayah, sebelah timur Kalen (sungai kecil / anak sungai) masuk desa Nganti kecamatan Gemolong sedangkan yang sebelah baratnya ikut desa Kalangan kecamatan Gemolong. Dulu wilayah yang menjadi batas desa Nganti dan desa Kalangan ini banyak ditumbuhi pohon Klembak, tetapi warga sekitar tidak tahu kegunaannya hingga akhirnya datang 3 orang sentono Kraton Solo yaitu Wisa Kusuma, Indra nitis dan Natar Nyawa. Mereka bertiga lah yang awalnya memanfaatkan Klembak itu buat campuran udut /rokok. Orang pada masa itu kebanyakan menyirih, baik laki-laki maupun perempuan. Di jaman dahulu kebiasaan menyirih sangat umum hampir di seluruh Nusantara, bahkan ada sebutan mereka menerima tamu mereka tidak menawarkan minum tapi menawarkan pinang. Dengan 3 bahan utamanya berupa sirih, pinang dan kapur ( injet) maka dari pinang dan sirih itulah penyebutan menyirih / nginang. Namun kebiasaan menyirih perlahan mulai ditinggalkan semenjak orang-orang Portugis hilir mudik di perairan Nusantara, sebab mereka membawa kebiasaan baru yaitu menghisap tembakau. Sejak itu menghisap tembakau jadi kebiasaan baru menggeser kebiasaan menyirih, menghisap tembakau terkesan lebih elit karena para bangsawan kraton - kraton di jawa lah yang awal-awal menghisap rokok. Nah, kebiasaan merokok para sentono ( Natar Nyawa, Wisa Kusuma dan Indra Nitis) terbawa sampai ke daerah tempat tinggal mereka yang baru. Biasanya mereka mencampur tembakau dengan Cengkeh, Klembak, Uwur sampai Menyan. Karena hanya Klembak yang ada disekitar situ mereka pun memanfaatkannya. Warga kampung sekitar tempat tinggal para sentono itu pun mulai ikut-ikutan menghisap tembakau (ngudut). Ngudut campuran Klembak ini biasanya disebut Nglembak. Dari kebiasaan ngudut (merokok) di campuri Klembak inilah akhirnya tempat tumbuhnya pohon Klembak itu dinamai Nglembak. Seperti kebiasaan lidah orang jawa untuk mempermudah penyebutan istilah Nglembak pun berubah menjadi Nglebak dan nama itu terus di pakai sampai sekarang.

  • Ngronggah
  • Semi
  • Sendang
  • Sentanan

Sejarah penamaan dukuh Sentanan

Dusun yang masuk wilayah desa Kalangan kecamatan Gemolong ini berbatasan langsung dengan wilayah desa Nganti disebelah timurnya yang juga masih masuk wilayah kecamatan Gemolong, sedang disebelah utara ada dusun Mbrumbung. Disisi barat dibatasi dusun Mbrumbung dan Nglebak, sedang sisi selatan diapit dusun Nglebak dan wilayah desa Nganti. Dusun Sentanan adalah gabungan dua wilayah yaitu Sentono dan Stren. Wilayah Sentono dan akhirnya disebut Sentanan dulunya adalah tempat tinggal para sentono yang datang kraton Surakarta yaitu, Natar Nyawa ( ada yang menyebut Menggung Natar Nyawa) , Wisa Kusuma ( menurut penuturan banyak orang dia adalah anak raja, kemungkinan besar anak selir) dan Indra Nitis. Ketiga orang itu sedang " Jajah desa milang kori " mengembara dari kraton hingga sampailah pada suatu wilayah dan menetap di sana. Penduduk desa yang tidak jauh dari tempat tinggal para sentono itu menyebut wilayah yang mereka tinggali dengan sebutan Sentanan. Untuk menyambung hidup, mereka bertiga mengolah lahan kosong yang tak jauh dari kediamannya. Tanah garap di pinggir kali itu mereka tanami dengan umbi umbian, oleh warga tanah garap mereka disebut Stren dari kata Pasiten :siti ( tanah) dan Patirtan: tirta (air). Natar Nyawa, Wisa Kusuma dan Indra Nitis berpisah setelah mereka semua menikah. Wisa Kusuma pindah kewilayah yang sekarang jadi dusun Ngronggah sedang Indra Nitis pindah ke wilayah yang sekarang jadi dusun Karangmojo, hanya Natar Nyawa yang masih tetap tinggal di Sentanan. Hingga pada akhirnya Natar Nyawa dan Wisa Kusuma saling berbesanan setelah anak-anak mereka dewasa. Karena Natar Nyawa terinspirasi kebiasaan ratu yang sedang "Ngangklang jagad" ( keliling dunia) tidak menginjak tanah , pada saat perkawinan putrinya itulah konsep Ngangklang jagad tersebut diterapkan. Sepasang pengantin ditandu dari rumah sampai kesebuah sendang untuk melakukan prosesi upacara adat. Uniknya, saat menandu pengantin tidak pakai alat hanya dua orang yang saling menautkan tanggannya hingga bisa di buat duduk oleh pengantin. Sampai sekarang tradisi pengantin tandu masih tetap lestari disusun Sentanan dan sekitarnya. Dulu para sesepuh kadang menyebut Sentanan dengan sebutan Stren, tetapi semenjak tahun 2000an nama Stren berangsur-angsur menghilang. Sekarang kebanyakan orang hanya menyebut Sentanan saja.

  • Tawangsari

Asal mula Dukuh Tawangsari

      Dukuh Tawangsari terbagi dalam dua kelurahan, sebagian masuk desa Kalangan (Rt  01) dan sebagian ikut desa Jenalas (Rt 17) dan kedua Desa berada di wilayah kecamatan Gemolong. Penamaan dusun Tawangsari berkaitan erat dengan asal usul desa Jenalas yaitu tentang mengintip kuda sembrani di hutan (nginjen alas).
    Dahulu kala desa Jenalas masih berupa hutan lebat dan beredar rumor di kampung - kampung sekeliling hutan bahwa ada kuda sembrani (kuda terbang) didalam hutan tersebut. Hingga pada suatu hari serombongan orang yang penasaran berencana membuktikan rumor tersebut. Setelah berangkat dari kampung sampailah mereka ditepi hutan, disana sebagian besar orang jadi ragu untuk masuk hutan. Akhirnya cuma beberapa orang saja yang benar - benar berani membuktikan untuk melihat kuda sembrani itu didalam hutan sedang sisanya menunggu ditepi hutan.
    Nah, rombongan yang berada di tepi hutan selalu TOWANG - TAWANG (melihat secara teliti dan berulang kali dilakukan) ke jalan setapak yang dilalui orang-orang yang mengintip kuda sembrani dengan rasa khawatir dan penasaran. Tempat orang towang tawang itu akhirnya dikemudian hari dinamakan Tawangsari. Tapi ada juga yang menyebut Towang tawang itu sejenis Bulak atau jalan yang panjang dikiri kanan tidak ada perkampungan hanya terlihat pohon / semak belukar / hutan seluas mata memandang.
  • Wonosari