Jayadipura

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari K.R.T. Jayadipura)

K.R.T. Jayadipura merupakan seorang seniman dan arsitek yang dilahirkan di Kota Yogyakarta pada tahun 1878, dengan nama kecil R.M. (Raden Mas) Kobar. Ayahnya bernama R.T. (Raden Tumenggung) Jayadipura, sedangkan ibunya bernama Nyai Riya Segondo.[1] K.R.T. Jayadipura dianugerahi tanah dan bangunan Ndalem Jayadipuran (sebelumnya bernama Ndalem Dipowinatan) dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, yang juga menjadi mertuanya.[2] Selain aktif bergerak dalam bidang kesenian, K.R.T. Jayadipuran juga berkecimpung di bidang politik.[3] Dalam arus pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, K.R.T. Jayadipura memberikan bantuan kepada berbagai organisasi pergerakan untuk melaksanakan kegiatan politik di pendapa Ndalem Jayadipuran.[4][5]

Latar belakang keluarga[sunting | sunting sumber]

K.R.T. Jayadipura lahir pada tahun 1878 dengan nama kecil R.M. Kobar. Dia merupakan putra dari pasangan R.T. Jayadipura yang waktu itu menjabat sebagai bupati Bantul dengan istri keduanya yang bernama Nyai Riya Segondo (cucu Sri Sultan Hamengku Buwono II).[6] Apabila ditilik dari putra dan putri ayahnya, R.M. Kobar merupakan putra ke-14 dari 16 bersaudara. Adapun urut-urutannya adalah sebagai berikut:

  1. Raden Nganten (R.Ng.) Puspareja.
  2. Raden Rara (Rr.) Katijah, meninggal saat masih kecil.
  3. Raden Nganten (R.Ng.) Surasentana.
  4. Raden Mas (R.M.) Sujalma, meninggal saat masih kecil.
  5. Raden Ayu (R.Ay.) Selowinoto.
  6. Raden Wedana (R.W.) Prawirodipuro.
  7. Raden Ayu (R.Ay.) Retnapurnama.
  8. Raden Nganten (R.Ng.) Notoprawigya.
  9. Raden Tumenggung (R.T.) Brongtokusumo.
  10. Mas Ajeng Ismayati.
  11. Raden Lurah (R.L.) Kudasuwarno.
  12. Raden Rara (Rr.) Kencur, meninggal saat masih kecil.
  13. Raden Wedana (R.W.) Kawindradipuro.
  14. Raden Mas (R.M.) Kobar, yang kemudian berganti nama menjadi K.R.T. Jayadipura.
  15. Raden Ayu (R.Ay.) Kumalawati.
  16. Raden Sayid, meninggal saat masih kecil.[7]

Kesemua saudara dari R.M. Kobar itu tidak lahir dari satu ibu karena ayahnya memiliki dua istri dan empat wanita klangenan. Ayahnya sendiri merupakan putra dari Ngabehi Resawilaya III, seorang abdi dalem mantri Keraton Yogyakarta. Ngabehi Resawilaya III yang sebelumnya bernama Ngabehi Samadegsana merupakan putra keempat dar Ngabehi Resawilaya I, sedangkan nama Resawilaya II disandang oleh kakak ketiga Resawilaya III. Apabila dicermati dari silsilah pihak ibunya, R.M. Kobar merupakan cucu dari Bendoro Pangeran Haryo (B.P.H.) Hadinegara (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II). Dengan demikian, R.M. Kobar masih termasuk keturunan darah dalem dan salah seorang cucu buyut dari penguasa Kasultanan Yogyakarta.[8]

Ketika R.M. Kobar menjadi abdi dalem kadipaten, namanya diganti menjadi R.M. Prawiranadi. Berkat keterampilan, kecerdasan, serta kecakapannya, kedudukannya naik menjadi wedana dan dia diangkat menjadi Bupati Anom dengan nama baru K.R.T. Jayadipura. Dengan demikian, dari ke-15 saudaranya hanya dialah yang nunggak semi (memakai nama yang sama seperti ayahnya). Selain mendapatkan gelar tersebut, K.R.T. Jayadipura juga termasuk salah satu abdi dalem kinasih yang diangkat menjadi menantu sultan.[9] Di sisi lain, gelar yang diterima dan digunakan oleh K.R.T. Jayadipura pada dasarnya sudah merefleksikan konsep kekuasaan para raja maupun abdi dalem Keraton Yogyakarta. Gelar tersebut merupakan simbol dan representasi filosofis kerangka konseptual dari Kasultanan Yogyakarta.[10]

Hasil karya[sunting | sunting sumber]

Sejak muda, K.R.T Jayadipura dan saudara-saudaranya yang lain telah menjadi abdi dalem yang juga aktif berkecimpung dalam bidang kesenian Jawa.[2] Hal inilah yang membuat Sri Sultan Hamengku Buwono VII memberikan sebutan bagi K.R.T Jayadipura dan saudara-saudaranya sebagai abdi dalem empu.[11] Adapun beberapa hasil karya yang dihasilkan oleh K.R.T. Jayadipura meliputi perlengkapan seni tari, seni rupa, seni bangunan, seni suara dan karawitan, serta seni pedalangan.

Perlengkapan tari[sunting | sunting sumber]

Perlengkapan seni tari yang dihasilkan oleh K.R.T. Jayadipura antara lain:

  1. Pakaian-pakaian untuk perlengkapan wayang wong.
  2. Pakaian-pakaian perlengkapan Langen Mandra Wanara lengkap dengan topeng-topengnya.
  3. Buaya tiruan.
  4. Topeng Regol-Gunungsari yang disesuaikan dengan wajahnya sendiri dan wajah K.R.T. Brongtodiningrat.
  5. Binatang-binatang buruan yang ada di hutan.
  6. Burung garuda ada lima buah, yaitu: Garuda Jaksa yang berwarna merah, Garuda Winantiya yang berwarna putih, Garuda Sura yang berwarna kuning, Wilmuna (kendaraan Sutedjo) yang berwarna merah, dan Wildenta (kendaraan Gathotkaca) yang berwarna hijau.
  7. Burung prenjak.
  8. Teknik panah pedhut (panah api).
  9. Teknik tal pitu.
  10. Pakaian Sri Suwela, Srimpi, dan Bedhaya.[12]

Perlengkapan tari di atas semuanya merupakan konsep dari K.R.T. Jayadipura, yang kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Setelah disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, K.R.T Jayadipura lantas mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam pertunjukan Tari Gagahan yang dibawakannya di Keraton Yogyakarta. Adapun peran yang pernah dibawakannya dalam Tari Gagahan antara lain: Prabu Dasa Waseso, Botoh dalam Beksan Lewung dan Beksan Enteng, Ontoredjo, serta Regol (Punakawan Gunungsari), sedangkan yang membawakan peran Gunungsari adalah K.R.T. Brongtodiningrat. Dalam Beksan Regol-Gunungsari, iringan gamelan yang dipakai adalah Gending Bondel dan Ayak-Ayak. Pakaian yang dipakai Regol seperti pakaian Bancak dan memakai topeng.[13] Tarian ini merupakan petikan dari cerita Panji. Di sisi lain, Gunungsari adalah putra dari Raja Jenggala, sedangkan kakaknya yang bernama Dewi Sekartaji lantas menjadi istri Panji Asmarabangun.[14]

Tarian lain yang pernah dibawakan oleh K.R.T. Jayadipura antara lain: Tari Golek-Menak, Tari Klana, Tari Perang, dan sebagainya. Berbagai tarian tersebut sering ditampilkannya di pendapa Ndalem Jayadipuran.[11]

Seni pahat[sunting | sunting sumber]

K.R.T. Jayadipura termasuk salah satu ahli dalam bidang seni rupa. Beberapa peninggalan hasil karyanya saat ini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Museum Sonobudoyo. K.R.T. Jayadipura belajar seni pahat dari Walter Spiens, sebaliknya Walter Spiens belajar kesenian Jawa kepada K.R.T. Jayadipura. Hasil karya K.R.T. Jayadipura dalam bidang seni pahat dapat dilihat pada patung Ganesha yang disimpan di kediaman Suratman, Patung Srimpi dan Patung "Self-Potret" yang sekarang disimpan di Museum Sonobudoyo, serta Patung Pradnyaparamita yang sekarang disimpan di Ndalem Tejakusuman.[11] Adapun Patung "Self-Potret" itu dibuat oleh K.R.T. Jayadipura dalam pakaian sebagai Bupati Anom. Pembuatan patung ini dilakukannya dengan cara duduk bercermin di depan kaca. Hasil karya K.R.T. Jayadipura dalam seni pahat tidak hanya berwujud patung-patung saja, namun juga pahatan-pahatan dari batu untuk bangunan rumah yang berwujud umpak, dimana banyak pada bupati yang memesan umpak hasil karya K.R.T. Jayadipura karena halus pahatannya.[15]

Aktivitas dan pengabdian[sunting | sunting sumber]

K.R.T. Jayadipura termasuk salah satu tokoh yang gencar memajukan kebudayaan Jawa. Budaya Jawa sendiri menyimpan berbagai sistem pengetahuan yang menjadi ciri khas dan mencerminkan sebuah kearifan lokal.[16] Selain itu, budaya Jawa merupakan pancaran atau pengejawantahan budi manusia yang mencakup kemauan maupun cita-cita dalam mencapai kesejahteraan hidup.[17] Salah satu aktivitas yang dilakukan K.R.T. Jayadipura dalam bidang seni yaitu mendirikan dan sekaligus menjadi ketua Hambudi Biwara Rancangan Dalang (Hambiranda), yang bertujuan mendidik para calon dalang.[18]

Selanjutnya, pada tahun 1908 K.R.T. Jayadipura bekerjasama dengan R.M. Prawira, R.L. Prawira Atmaja dan Lie Jeng Kien mendirikan perkumpulan yang diberi nama Hermani. Perkumpulan ini bergerak di bidang kesenian dan bertugas melayani tamu-tamu asing yang ingin menikmati tarian gaya Yogyakarta. Pada tahun 1919, perkumpulan Hermani berganti nama menjadi Mardi Guna. Sementara itu, pada tahun 1918 dia bersama dengan 14 ahli kesenian lain mendirikan perkumpulan kesenian yang bernama Krida Beksa Wirama (KBW). Beberapa tokoh ahli kesenian yang turut mendirikan perkumpulan tersebut antara lain: P.A. Tejakusumo, P.A. Suryadiningrat, R.T. Puspadiningrat, dan R.T. Wiraguna.[18]

Membangun Sanggar Seni Tari dan Musik Jawa (Hermani/Mardigoena)

Kiprah K. R. T. Jayadipura dalam melestarikan seni tradisional Jawa mulai dikenal pada tahun 1908, saat beliau mendirikan lembaga yang menyelenggarakan kursus kesenian tradisional Jawa, bekerja sama dengan Raden Mas Prawiradipoera, Prawiraatmadja, dan Mr. Lie Djeng Kieem dari sanggar Hermani. Anggotanya terus bertambah, tetapi sanggar tersebut masih dikelola secara mandiri. Regenerasi seni serta kebudayaan Jawa secara umum belum intensif pada waktu itu. KRT Jayadipura dan kawan-kawan merasa prihatin dengan internalisasi budaya Jawa, terutama dalam bidang seni musik, seni tari Jawa, dan seni pedalangan. Beliau dan kawan-kawan memiliki gagasan untuk membuat pusat studi dan intelektual kesenian tradisional Jawa agar pelestarian kebudayaan bisa berjalan secara berkesinambungan. Salah satu wujud nyata kontribusi beliau dalam kesenian tradisional salah satunya yaitu mendirikan sanggar Hermani pada tahun 1919. Pada perkembangannya, sanggar Hermani berubah nama menjadi Mardigoena, dan maju secara pesat. Pada tahun 1926, Mardigoena membuka kelas studi musik, dan tari tradisional.

Sebelumnya, pada tahun 1923 Mardigoena melakukan uji coba dengan mempersingkat pertunjukan yang berlangsung sekitar satu jam pada malam hari. Pertunjukan tersebut digelar di Yogyakarta. Mardigoena kemudian berinisiatif untuk mendiskusikan terkait pertunjukan yang disingkat hanya beberapa jam. Diskusi tersebut dilakukan pada tanggal 28 Januari 1923 di Soerakarta di bawah kepemimpinan P. A. Kusumayuda (Keraton Mangkunegara). Pertemuan dalam rangka diskusi tersebut juga dihadiri oleh P. A. Hardiwijaya (Keraton Mangkunegaran) dan P. A. Kusumadiningrat (kerabat Susuhunan). R. M. Jayadipura hadir selain mewakili Mardigoena juga sebagai wakil dari Java Instituut. Diskusi tersebut memberi kesimpulan bahwa mempersingkat pertunjukan merupakan ide yang brilian. Durasi yang dipersingkat secara otomatis dapat menarik masyarakat untuk lebih menghayati seni pertunjukan tradisional sebagai bagian dari kebudayaan Jawa. Perubahan tersebut memang terkesan radikal, dan pada awalnya mendapat pertentangan dari dalang dan pihak berkepentingan lainnya. Melalui diskusi, argumentasi yang logis akhirnya meluluhkan ketidaksetujuan yang dipertahankan khususnya oleh para dalang. Fenomena terkait seni pertunjukan yang ada di Jawa dan khususnya di Vorsenlanden membuktikan bahwa kesenian “materi populer” dalam arti luas memberi harapan yang baik dan kesenian tradisonal tertentu ini tidak akan mudah mengalami kontak serta terpengaruh oleh budaya barat.

Dr. Wedyadiningrat (Radjiman) yang juga mewakili Mardigoena, menyatakan bahwa diskusi diperlukan untuk membawa kemajuan pada kesenian tradisional Jawa. Sebagian yang hadir menyoroti masalah dari sisi yang berbeda. Mereka ingin permasalahan tersebut bisa dikaji secara ilmiah. Sebagai wakil dari Mardigoena dan Java Instituut, R.M. Jayadipura mengemukakan pernyataa bahwa terdapat fenomena yang terjadi secara umum ketika masyarakat melihat pertunjukan wayang wong. Sebagian masyarakat yang menyaksikan pertunjukan harus datang lebih awal untuk menyaksikan ….. dari pertunjukan wayang wong, sementara sisanya datang di ….. pertunjukan. Mereka yang datang lebih awal akan merasa bosan dengan pertunjukan yang berlangsung lama, sehingga tidak mengikuti jalan cerita ….. pertujukan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemendekan waktu pertunjukan agar semua penonton bisa menikmati inti cerita secara lengkap. Di yogyakarta sendiri, telah dilakukan uji coba pertunjukan, selama lima jam. Para pakar kesenian tradisional di Java Institute Yogyakarta juga mempertimbangkan pemendekan durasi pementasan tersebut, mengingat sudah beberapa kali uji coba dilakukan di beberapa tempat. R. M. Jayadipura juga menambahkan bahwa dalam pemendekan pementasan tersebut, semua bagian dari inti representasi cerita harus bisa ditampilkan. Pertunjukan tersebut ditampilkan dengan mempercepat atau menyingkat laju berbagai cerita yang bukan esensial. Beliau juga mengemukakan bahwa pemendekan pementasan tersebut tidak bermaksud untuk merendahkan kesenian tradisional wayang wong, melainkan hanya dimaksudkan untuk memberikan contoh rasional agar masyarakat dapat menyaksikan pertunjukan secara utuh, sehingga memahami dengan baik nilai-nilai dibalik cerita yang dibawakan dalam pertunjukan wayang wong.

Pertunjukan wayang wong yang dipersingkat kemudian menjadi ciri khas Mardigoena dalam pementasan. Seiring berjalannya waktu, Mardigoena mendapat kesempatan untuk mementaskan wayang wong di beberapa tempat di Jawa. Mardigoena kemudian berkembang sangat pesat di bawah tangan dingin R. M. Jayadipura. Beliau juga terus mendorong dan mengilhami anggota Mardigoena untuk berkarya, menghasilkan seni tradisional yang memiliki nilai estetika tinggi. Berkat dorongan beliau, Mardigoena dapat menarik perhatian masyarakat Eropa terhadap kesenian Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa yang membuat masyarakat takjub terhadap kenudayaan Jawa yaitu propaganda film yang dibuat oleh antropolog Tassilo Adam. Namun demikian, R.M. Jayadipura tidak menyianyiakan kesempatan untuk melakukan rebranding terhadap kebudayaan Jawa. Hal tersebut yang membuat namanya semakin dieknal. Melalui Mardigoena, kesenian tradisional Jawa disempurnakan oleh R. M. Jayadipura. Selain itu, komposisi musik Jawa diperbarui dengan sangat indah. Begitu juga dengan koreografi tarian, dibuat lebuh harmonis dan impresif. Karya tersebut merupakan bentuk kesempurnaan teknis yang melampaui karya-karya lainnya di Jawa. R. M. Jayadipura di bawah perintah sultan membawa pengaruh pada masyarakat untuk meninggikan derajat seni dengan mengenalkan kostum tari yang indah melalui pertunjukan Mardigoena di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Surakarta (Solo). Raja dikedua kerajaan tersebut memang diberi otoritas oleh pemerintah Belanda untuk mempertahankan warisan budaya istana kerajaan mereka yang bersejarah, termasuk salah satunya dalam mengembangkan kesenian tradisional. Oleh karena itu, lahirnya Mardigoena berhasil membawa budaya Jawa asli bangkit dan berkembang.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Purwadi. (2007). hlm. 34.
  2. ^ a b Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. "Dalem Jayadipuran". Diakses tanggal 19 Maret 2019. 
  3. ^ Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. (2012). hlm. 30.
  4. ^ Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. "Dalem Jayadipuran". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-28. Diakses tanggal 19 Maret 2019. 
  5. ^ Suwandi. "Mengenang 90 Tahun Kongres Perempuan di Dalem Jayadipuran Yogyakarta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-01. Diakses tanggal 19 Maret 2019. 
  6. ^ Tashadi dan Darto Harnoko. (1986-1987). hlm. 3.
  7. ^ Darto Harnoko, dkk. (2014). hlm. 51-52.
  8. ^ Darto Harnoko, dkk. (2014). hlm. 52-54.
  9. ^ Tashadi dan Darto Harnoko. (1986-1987). hlm. 3-4.
  10. ^ Dwi Ratna Nurhajarini dan Baha'Uddin (April 2018). "Mangkubumi Sang Arsitek Kota Yogyakarta". Patra Widya. Vol. 19, No. 1. ISSN 1411-5239. 
  11. ^ a b c Tashadi dan Darto Harnoko. (1986-1987). hlm. 4.
  12. ^ Darto Harnoko, dkk. (2014). hlm. 57-58.
  13. ^ Darto Harnoko, dkk. (2014). hlm. 58-59.
  14. ^ Hidajat, Robby (Juni 2013). "Transformasi Karakter Tokoh Drama Tari Wayang Topeng di Kabupaten Malang, Jawa Timur". Patra Widya. Vol. 14, No. 2. ISSN 1411-5239. 
  15. ^ Darto Harnoko, dkk. (2014). hlm. 60-61.
  16. ^ Aryo Priyanggono dan Nur Rosyid (Juni 2015). "Ajaran Kepemimpinan Jawa dalam Beberapa Karya Sastra". Jantra. Vol. 10, No. 1. ISSN 1907-9605. 
  17. ^ Partokusumo, H.K.K. (1995). hlm. 166.
  18. ^ a b Tashadi dan Darto Harnoko. (1986-1987). hlm. 6.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku[sunting | sunting sumber]

  • Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. ISBN 978-979-1407-21-2. 
  • Blackburn, Susan (2007). Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. ISBN 978-602-4331-50-4. 
  • Darto Harnoko, dkk (2014). Rumah Kebangsaan Dalem Jayadipuran Periode 1900-2014. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. 
  • Dwi Ratna Nurhajarini, dkk (2012). Yogyakarta: Dari Hutan Beringin ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 
  • Fibiona, Indra; Suwarno (2018). R.M. Jayadipura, Maestro Budaya Jawa 1878-1939: Sebuah Biografi. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 978-979-8971-86-0. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2014). Rumah Kebangsaan Ndalem Jayadipuran Periode 1900-2014 (PDF). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 978-602-1222-23-2. 
  • Nurhajarini, Dwi Ratna, dkk (2012). Yogyakarta: Dari Hutan Beringin ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. ISBN 978-979-8971-40-2. 
  • Partokusumo, H.K.K. (1995). Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI Yogyakarta. 
  • Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu. 
  • Setyowati, Hajar Nur (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3. 
  • Tashadi dan Darto Harnoko (1986–1987). Mengenal Sekilas Ndalem Jayadipuran. Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 

Jurnal[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]