Jurnalisme penceritaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Jurnalisme penceritaan adalah sebuah gaya penulisan atau penyampaian informasi dengan gaya bercerita. Dalam dunia jurnalistik, para jurnalis memiliki tujuan lain terhadap audiensnya. Berbeda dengan jurnalisme biasa, jurnalisme penceritaan ingin menyentuh audiens hingga dititik emosi terdalam mereka. Jurnalisme penceritaan secara langsung menyatakan perasaan, suasana hati, hingga opini atau sebuah saran.[1]

Gaya bercerita yang dimaksud adalah menulis atau memproduksi konten informasi dengan memperhatikan aspek media (ilustrasi foto atau gambar, video, animasi, grafik), perasaan hingga interaksi audiens. Penulisan dalam Jurnalisme penceritaan lebih bersifat naratif atau narasi. Jurnalis mengolaborasikan beberapa konsep. Jurnalis menulis menggunakan metode untuk penulisan novel. Di sisi lain, penulisan berita atau informasi digabungkan dengan gaya sastra. Konsep terakhir adalah jurnalis harus memperhatikan dan memenuhi kebutuhan publik dalam mengonsumsi sebuah cerita (mendengarkan atau menonton).[1]

Jurnalisme penceritaan memiliki makna jurnalisme yang sama dengan konsep jurnalisme lainnya. Konsep yang berbeda hanya pada sisi penyampaian yang bercerita atau mendongeng. Gaya penulisan penceritaan merupakan untuk penyampaian informasi berupa dengan fakta atau ide hingga untuk meyakinkan penerimanya. Tidak menutup kemungkinan Jurnalisme penceritaan menggunakan konsep Jurnalisme Multimedia juga.

Multimedia dalam jurnalisme menjadi bentuk beragam cara untuk menyampaikan informasi. Dimana para jurnalis bisa memanfaatkan gambar, video, hingga animasi untuk bercerita.[1] Menurut Mindy McAdams (2014), Jurnalisme penceritaan sudah berkembang seiring dengan para jurnalis yang bereksperimen dengan teknik dan alat digital yang baru.

Cerita yang Baik[sunting | sunting sumber]

Sebuah cerita dapat dipandang sebagai sebuah karya yang bagus oleh karena ada sesuatu di dalamnya yang menurut masyarakat menarik atau penting. Sebuah kisah yang hebat sering memanfaatkan kedua hal tersebut dengan menggunaan cara mendongeng (penceritaan) untuk membuat suatu berita yang penting dapat menaraik bagi masyarakat.

Memperhatikan keberagaman publik. Hal ini dikatakan dalam American Press Institue[2] bahwa seseorang memiliki karakteristik dan kepercayaan tertentu sehingga masyarakat memiliki cara yang beragam dalam menentukan ada yang menjadi perhatian dan minat mereka.

Apapun bisa menjadi sebuah berita, namun tidak semua layak diberitakan. Dalam dunia jurnalisme, seorang jurnalis membutuhkan proses di antaranya melewati tahapan verifikasi dan penceritaan untuk membuat sebuah topik hingga dapat menjadi sebuah berita.

Berita merupakan sebuah fungsi distribusi. Media memproduksi suatu berita untuk menyampaikan adanya informasi kepada masyarakat. Dengan teknologi dan hadirnya multimedia, masyarakat tak hanya memiliki satu panggilan, melainkan berbagai macam; pembaca, pemirsa, atau pendengar.

Menurut American Press Institue, penelitian membuktikan adanya dua hal yang membuat cara menceritakan dalam dunia jurnalisme menjadi baik adanya:

1. Treatment trumps topic

Hal ini mengarah pada bagaimana sebuah ‘cerita’ dikisahkan dengan cara yang baik dan lebih kepada sesuatu yang menurut pembaca relevan atau penting.

2. Cerita yang baik adalah cerita yang lengkap dan lebih komperhensif.

Mengandung lebih banyak informasi yang terverifikasi dari lebih banyak sumber dengan banyak sudut pandang dan keahlian.

Pendekatan[sunting | sunting sumber]

Jacqui Banaszynski[3] mengatakan beberapa cara untuk menghasilkan cerita yang berbeda tentang suatu topik adalah dengan melakukan pendekatan dari berbagai ‘jalur’:

1. Profil. Temukan banyak orang di balik sebuah cerita. Di dalam penceritaan, seseorang tidak hanya akan membuat profil dari seorang individu melainkan juga melihat hal-hal disekitar yang mempengaruhi individu tersebut seperti tempat, suatu acara, dan lain-lain.

2. Penjelasan. Seorang jurnalis yang menekuni jurnalisme penceritaan harus menunjukan kepada pembaca tentang mengapa sesuatu terjadi serta bagaimana sesuatu dapat berfungsi untuk berbagai hal.

3. Masalah dan kecenderungan cerita. Seorang jurnalis harus sering bertanya kepada dirinya sendiri apakah ada ‘gambar’ yang lebih besar untuk dijelajahi, hal ini karena suatu kecenderungan dalam masyarakat (tren) tidak melulu terkait dengan budaya atau gaya hidup, tetapi bisa saja terkait dengan topik seperti kejahatan atau ekonomi.

4. Investigatif. Mulai mencari tahu tentang sebuah kesalahan dan manfaatkan dokumen-dokumen yang tersedia.

5. Menceritakan. Sebuah cerita dengan adanya karakter, adegan, dan ketegangan di dalam sebuah berita.

6. Deskriptif. Alternatif dari sebuah penuturan cerita dengan memfokuskan pada momen-momen tertentu.

7. Suara atau perspektif cerita. Minta orang-orang untuk menceritakan sebuah kisah dengan cara yang berbeda dan unik untuk mendapatkan infromasi yang lebih membuka sudut pandang, seperti dengan diskusi meja bundar, ataupun merangkai kutipan.

8. Visual story. Meliputi fotografi, grafik atau ilustrasi yang merupakan cara terbaik untuk menceritakan sebuah infromasi dalam berita.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c McAdams, Mindy (2015-03-16). "(Re)defining multimedia journalism". Medium (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-10. 
  2. ^ "What makes a good story?". American Press Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-10. 
  3. ^ "8 paths to defining a storytelling approach". American Press Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-10.