Asrul Sani: Perbedaan antara revisi
k ←Membatalkan revisi 5158627 oleh 118.96.252.56 (Bicara): semacam riset asli |
|||
Baris 5: | Baris 5: | ||
Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan [[Suku Mandailing|Mandailing]].<ref>Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit: Himpunan tulisan 1960-2008, Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horizon, 2008</ref> |
Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan [[Suku Mandailing|Mandailing]].<ref>Taufiq Ismail, Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit: Himpunan tulisan 1960-2008, Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia dan Majalah Sastra Horizon, 2008</ref> |
||
== Pendidikan == |
|||
Asrul menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya Pasaman, Sumatera Barat. Selesai dari Sekolah Rakyat di Rao, Asrul merantau ke [[Jakarta]] untuk belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia. Dia sempat pindah ke Fakultas Sastra UI, namun kembali lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan (1955). Setelah itu dia mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di [[Universitas Harvard]] (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di [[Universitas California Selatan]], [[Los Angeles]], [[Amerika Serikat]] (1956), dan kemudian membantu Sticusa di [[Amsterdam]] (1957-1958). |
Asrul menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya Pasaman, Sumatera Barat. Selesai dari Sekolah Rakyat di Rao, Asrul merantau ke [[Jakarta]] untuk belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia. Dia sempat pindah ke Fakultas Sastra UI, namun kembali lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan (1955). Setelah itu dia mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di [[Universitas Harvard]] (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di [[Universitas California Selatan]], [[Los Angeles]], [[Amerika Serikat]] (1956), dan kemudian membantu Sticusa di [[Amsterdam]] (1957-1958). |
||
Bahasa Banjar |
|||
Mahmud Jauhari Ali |
|||
Bahasa merupakan unsur penting dalam dunia sastra. Bahasa digunakan sastrawan sebagai media untuk menyampaikan ide atau gagasannya kepada masyarakat luas. Dalam dunia sastra, bahasa dapat dikatakan sebagai “jembatan” yang menghubungkan sastrawan dan masyarakat luas. Ada sebagian orang menganggap bahasa sastra berbeda dengan bahasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya keduanya sama saja. Jika antara yang satu dengan yang kedua berbeda, masyarakat luas tidak akan mengerti bahasa yang digunakan sastrawan dalam karya sastra yang diciptakannya. Padahal pada kenyataannya bahasa sastra dimengerti oleh masyarakat luas. Hal yang terakhir ini menunjukkan bahwa bahasa sastra dan bahasa dalam kehidupan nyata kita sehari-hari adalah sama. |
|||
Dalam kaitannya dengan sastra di Indonesia, bahasa Indonesia dan bahasa daerah termasuk bahasa Banjar menjadi unsur penting yang digunakan sastrawan untuk menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat luas sebagai penikmatnya. Bahasa Indonesia dipakai dalam puisi, prosa piksi seperti cerpen dan novel, dan drama di Indonesia. Bahasa daerah termasuk bahasa Banjar juga dipakai dalam karya sastra di Indonesia seperti dalam cerpen dan pementasan teater tradisional khas Banjar, yakni mamanda. |
|||
Hal di atas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Banjar penting dalam kehidupan dunia sastra di tanah air kita. Jika demikian halnya, apakah dunia sastra juga penting dalam kehidupan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar di tanah air kita? Jawabannya adalah ya. Mengapa jawabannya adalah ya? Jawaban atas pertanyaan yang terakhir ini dapat Anda temukan dalam paparan berikut ini. |
|||
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa sastrawan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dalam karya sastra yang diciptakannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat penikmatnya. Hal ini berarti bahwa dalam sastra, bahasa menjadi unsur yang langsung disentuh masyarakat luas. |
|||
Kita sebagai masyarakat luas langsung membaca atau mendengarkan bahasa Indonesia atau pun bahasa Banjar dalam karya sastra yang kita baca atau kita dengarkan dalam pementasan. Dengan kata lain, yang kita baca atau kita dengarkan dalam karya sastra adalah bahasa Indonesia atau bahasa Banjar. Jika bahasa Indonesia dan bahasa Banjar yang digunakan sastrawan dalam karya sastra, berarti dengan membaca atau mendengarkan bahasa dalam karya sastra tersebut masyarakat luas pun menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar. Dengan demikian, bahasa Indonesia dan bahasa Banjar digunakan sastrawan dan masyarakat penikmatnya sehingga kedua bahasa ini akan bertambah lestari. Dengan kata lain kehidupan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar akan bertambah lestari dengan adanya dunia sastra di Indonesia. |
|||
Jadi, sastra Indonesia dan sastra Banjar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar saling menunjang satu sama lain. Jika kita menggunakan istilah biologi, hubungan sastra Indonesia dan sastra Banjar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar kita katakan sebagai simbiosis mutualisme. |
|||
Berdasarkan paparan di atas, kita perlu membaca karya sastra dalam bentuk buku maupun dalam media cetak dan mendengarkan karya sastra yang dipentaskan jika kita ingin bahasa Indonesia dan bahasa Banjar bertambah lestari. Dewasa ini sudah banyak karya sastra yang diterbitkan dalam bentuk tulisan di Indonesia. Kita dapat membaca karya-karya sastra yang telah diterbitkan tersebut. Kita juga dapat mendengarkan karya sastra yang dipentaskan. Selain itu jika ingin menjadi sastawan, Anda dapat pula belajar menjadi sastrawan dalam upaya melestarikan bahasa Indonesia dan bahasa Banjar di tanah air yang kita cintai ini. |
|||
BANJARMASIN POST |
|||
== Karier == |
== Karier == |
||
Bersama [[Chairil Anwar]] dan [[Rivai Apin]], ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan ''Siasat''. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah ''Pujangga Baru'', ''Gema Suasana'' (kemudian ''Gema''), ''Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum ''Citra Film'' (1981-1982). |
Bersama [[Chairil Anwar]] dan [[Rivai Apin]], ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan ''Siasat''. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah ''Pujangga Baru'', ''Gema Suasana'' (kemudian ''Gema''), ''Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum ''Citra Film'' (1981-1982). |
Revisi per 21 Januari 2012 15.09
Asrul Sani (10 Juni 1926 – 11 Januari 2004) adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia.[1] Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.
Asal usul
Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.[2]
Pendidikan
Asrul menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya Pasaman, Sumatera Barat. Selesai dari Sekolah Rakyat di Rao, Asrul merantau ke Jakarta untuk belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia. Dia sempat pindah ke Fakultas Sastra UI, namun kembali lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan (1955). Setelah itu dia mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Karier
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta.
Selain dikenal sebagai penyair dan sutradara film, Asrul juga merupakan seorang politisi. Sejak tahun 1966 hingga 1971, dia duduk di parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan.
Karya
Sastra
- Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950)
- Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
- Mantera (kumpulan sajak, 1975)
- Mahkamah (drama, 1988)
- Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)
- Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)
Film
- Titian Serambut Dibelah Tudjuh, 1959
- Pagar Kawat Berduri (1963)
- Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1970)
- Salah Asuhan (1974)
- Bulan di Atas Kuburan (1976)
- Kemelut Hidup (1978)
- Di Bawah Lindungan Ka'bah (1981)
Pranala luar
- Asrul Sani di IMDb (dalam bahasa Inggris)
- (Indonesia) Profil di tokohindonesia.com
Referensi
- M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967)
- Ajip Rosidi dkk. (ed.), Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997)