Padewakang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Paduakan_ships_of_Celebes_(1863).png|jmpl|Paduakan (padewakang) dari Sulawesi, 1863]]
[[Berkas:Paduakan_ships_of_Celebes_(1863).png|jmpl|Paduakan (padewakang) dari Sulawesi, 1863]]
[[Berkas:Macassan prau.jpg|jmpl|Perahu orang Makassar yang digunakan untuk mencari teripang]]
[[Berkas:Macassan prau.jpg|jmpl|Perahu orang Makassar yang digunakan untuk mencari teripang]]
'''Padewakang''' adalah perahu tradisional yang digunakan oleh [[suku Bugis]], Mandar, dan orang-orang [[Suku Makassar|Makassar]] dari [[Sulawesi Selatan]]. Padewakang  digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan. Biasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang dengan [[layar tanja]].<ref>{{Cite book|title=The Indian Archipelago: Its History and Present State|last=John|first=St.|publisher=Longman, Brown, Green, and Longmans|year=1853|location=London}}</ref> Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.<ref>{{Cite book|title=Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan|last=Zainun|first=Nazarudin|publisher=Penerbit USM|year=2015}}</ref> Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20 mereka secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari [[teripang]], dipersenjatai dengan meriam kuno, mungkin [[cetbang]] atau [[lantaka]]. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan [[semenanjung Malaya]]. Bahkan ada publikasi Belanda tentang padewakang dengan layar terkembang di [[teluk Persia]]. Mereka digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh [[Pinisi]] saat abad ke-20. Pinisi berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar ''fore-and-aft'' sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.<ref>2004 Horst H. Liebner'', Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia''</ref>
'''Padewakang''' adalah perahu tradisional yang digunakan oleh [[suku Bugis]], Mandar, dan orang-orang [[Suku Makassar|Makassar]] dari [[Sulawesi Selatan]]. Padewakang  digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan.
== Etimologi ==
Tidak ada yang benar-benar tahu asal-usul nama padewakang, meskipun beberapa orang berpendapat bahwa itu berasal dari Pulau Dewakang, sebuah penanda navigasi penting antara Sulawesi dan Jawa. Catatan Belanda dari tahun 1735 menyebutkan surat-surat dari Sulawesi tiba di Batavia ‘dari Paduakkang’.<ref>Nationaal Archief Nederland, 1.04.02.8207: 13</ref>
Menurut Horridge, kata “''padewakang'', ''paduwakang''” (Sulawesi) dan “''paduwang''” (Madura), mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil”<ref>{{Cite book|title=The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia|last=Horridge|first=Adrian|publisher=Oxford University Press|year=1981|isbn=0195804996|location=|pages=}}</ref>
== Deskripsi ==
Biasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang dengan [[layar tanja]].<ref>{{Cite book|title=The Indian Archipelago: Its History and Present State|last=John|first=St.|publisher=Longman, Brown, Green, and Longmans|year=1853|location=London}}</ref> Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.<ref>{{Cite book|title=Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan|last=Zainun|first=Nazarudin|publisher=Penerbit USM|year=2015}}</ref> Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20 mereka secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari [[teripang]], dipersenjatai dengan meriam kuno, mungkin [[cetbang]] atau [[lantaka]]. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan [[semenanjung Malaya]]. Bahkan ada publikasi Belanda tentang padewakang dengan layar terkembang di [[teluk Persia]]. Mereka digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh [[Pinisi]] saat abad ke-20. Pinisi berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar ''fore-and-aft'' sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.<ref>2004 Horst H. Liebner'', Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia''</ref>

== Evolusi ke Pinisi ==
Menurut Horst Liebner, ahli maritim Mandar, pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunder.

Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (''palari salompong ambeng rua kali'' - istilahini berasal dari Bahasa Konjo); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (''palari salompong''); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.

Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.<ref name=":0">2004 Horst H. Liebner'', Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia''</ref>

== Galeri ==


== Lihat Pula ==
== Lihat Pula ==

Revisi per 15 Juli 2018 03.15

Paduakan (padewakang) dari Sulawesi, 1863
Perahu orang Makassar yang digunakan untuk mencari teripang

Padewakang adalah perahu tradisional yang digunakan oleh suku Bugis, Mandar, dan orang-orang Makassar dari Sulawesi Selatan. Padewakang  digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi selatan.

Etimologi

Tidak ada yang benar-benar tahu asal-usul nama padewakang, meskipun beberapa orang berpendapat bahwa itu berasal dari Pulau Dewakang, sebuah penanda navigasi penting antara Sulawesi dan Jawa. Catatan Belanda dari tahun 1735 menyebutkan surat-surat dari Sulawesi tiba di Batavia ‘dari Paduakkang’.[1]

Menurut Horridge, kata “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura), mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahsa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil”[2]

Deskripsi

Biasanya berbobot antara 20 sampai 50 ton, memiliki satu atau dua tiang dengan layar tanja.[3] Seperti perahu tradisional Nusantara lainnya, ia dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.[4] Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20 mereka secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, dipersenjatai dengan meriam kuno, mungkin cetbang atau lantaka. Padewakang adalah kapal Sulawesi Selatan yang terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan semenanjung Malaya. Bahkan ada publikasi Belanda tentang padewakang dengan layar terkembang di teluk Persia. Mereka digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh Pinisi saat abad ke-20. Pinisi berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar fore-and-aft sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.[5]

Evolusi ke Pinisi

Menurut Horst Liebner, ahli maritim Mandar, pada awalnya layar pinisiq dipasang ke atas lambung perahu padewakang dan sejenisnya; akan tetapi, ketika para pelaut dan pengrajin perahu semakin sadar atas cara pemakaiannya, lambung yang dipilih adalah jenis palari saja – tipe lambung yang sangat runcing dan ‘pelari’ itu memanglah yang paling sesuai dengan layar sekunder.

Evolusi ini terjadi dalam beberapa tahap: Tipe lambung padewakang dirancang dengan lebih runcing dan ditingkatkan dengan beberapa papan tambahan yang menyebabkan, bahwa dek haluan menjadi lebih rendah daripada dek utama dan buritan, dan bahwa konstruksi balok-balok guling seolah-olah ‘terbang’ di belakang buritan perahu (palari salompong ambeng rua kali - istilahini berasal dari Bahasa Konjo); berikutnya bagian geladak buritan (ambeng) diteruskan hingga balok-balok kemudi menyatu dengannya (palari salompong); dan tahap terakhir adalah meningkatkan linggi haluan supaya seluruh geladak menjadi lurus.

Tipe lambung terakhir ini digunakan sampai perahu pinisiq diganti dengan tipe-tipe PLM, ‘perahu layar motor’. Pada awal tahun 1970-an ribuan perahu pinisiq-palari yang berukuran sampai 200 ton muatan, armada perahu layar komersial terbesar di dunia pada saat itu, sempat menghubungi semua pelosok Samudera Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.[6]

Galeri

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ Nationaal Archief Nederland, 1.04.02.8207: 13
  2. ^ Horridge, Adrian (1981). The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia. Oxford University Press. ISBN 0195804996. 
  3. ^ John, St. (1853). The Indian Archipelago: Its History and Present State. London: Longman, Brown, Green, and Longmans. 
  4. ^ Zainun, Nazarudin (2015). Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan. Penerbit USM. 
  5. ^ 2004 Horst H. Liebner, Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia
  6. ^ 2004 Horst H. Liebner, Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia