Kepayang: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Kembangraps (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 16: | Baris 16: | ||
| binomial_authority = [[C.G.K. Reinwardt|Reinw.]] ex [[Carl Ludwig Blume|Blume]] |
| binomial_authority = [[C.G.K. Reinwardt|Reinw.]] ex [[Carl Ludwig Blume|Blume]] |
||
}} |
}} |
||
'''Kepayang''' atau '''keluak''' (''Pangium edule'' [[Reinw.]] ex [[Blume]]; [[familia|suku]] [[Achariaceae]], dulu dimasukkan dalam [[Flacourtiaceae]]) adalah |
'''Kepayang''' atau '''keluak''' (''Pangium edule'' [[Reinw.]] ex [[Blume]]; [[familia|suku]] [[Achariaceae]], dulu dimasukkan dalam [[Flacourtiaceae]]) adalah [[pohon]] yang tumbuh liar atau setengah liar penghasil bahan bumbu masak sejumlah masakan Nusantara. Orang [[Sunda]] menyebutnya ''picung'' atau ''pucung'', orang [[suku Jawa|Jawa]] menyebutnya ''pucung''. ''kluwak'', atau ''kluwek'', dan di [[Toraja]] disebut ''pamarrasan''. |
||
[[Biji]] keluak dipakai sebagai [[bumbu dapur]] [[masakan Indonesia]] yang memberi warna hitam pada [[rawon]], [[daging bumbu keluak]], [[brongkos]], serta [[sup konro]]. Bijinya, yang memiliki [[salut biji]] yang |
[[Biji]] keluak dipakai sebagai [[bumbu dapur]] [[masakan Indonesia]] yang memberi warna hitam pada [[rawon]], [[daging bumbu keluak]], [[brongkos]], serta [[sup konro]]. Bijinya, yang memiliki [[salut biji]] yang dimanfaatkan, bila mentah sangat beracun karena mengandung [[asam sianida]] dalam konsentrasi tinggi. Bila dimakan dalam jumlah tertentu menyebabkan mabuk. |
||
Racun pada biji kepayang dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu. |
Racun pada biji kepayang dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam, biji yang telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun pisang) selama beberapa hari. |
||
[[Kayu]] tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450- |
[[Kayu]] tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450-1000 kg.m<sup>-3</sup>. |
||
Ungkapan "mabuk kepayang" dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh [[cinta]] sehingga tidak mampu berpikir secara logis. |
Ungkapan "mabuk kepayang" dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh [[cinta]] sehingga tidak mampu berpikir secara logis, seakan-akan habis memakan kepayang. |
||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
Revisi per 2 Desember 2016 15.46
- Pucung beralih ke sini.
Kepayang/keluak | |
---|---|
Keluak yang siap dipasarkan. | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Divisi: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | P. edule
|
Nama binomial | |
Pangium edule |
Kepayang atau keluak (Pangium edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae, dulu dimasukkan dalam Flacourtiaceae) adalah pohon yang tumbuh liar atau setengah liar penghasil bahan bumbu masak sejumlah masakan Nusantara. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung, orang Jawa menyebutnya pucung. kluwak, atau kluwek, dan di Toraja disebut pamarrasan.
Biji keluak dipakai sebagai bumbu dapur masakan Indonesia yang memberi warna hitam pada rawon, daging bumbu keluak, brongkos, serta sup konro. Bijinya, yang memiliki salut biji yang dimanfaatkan, bila mentah sangat beracun karena mengandung asam sianida dalam konsentrasi tinggi. Bila dimakan dalam jumlah tertentu menyebabkan mabuk.
Racun pada biji kepayang dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam, biji yang telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun pisang) selama beberapa hari.
Kayu tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450-1000 kg.m-3.
Ungkapan "mabuk kepayang" dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara logis, seakan-akan habis memakan kepayang.