Dalung, Kuta Utara, Badung: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k →‎Referensi: fix edit
Penempatan arti kata De Lung dan Jangan Patah
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 19: Baris 19:
Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.<ref name=tejakusuma/>
Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.<ref name=tejakusuma/>


Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra dia pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra dia tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah “jangan patah” yang berarti "De Lung", kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825.<ref name=tejakusuma/>
Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra dia pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra dia tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah dalam bahasa Bali “Dé Lung” yang berarti "Jangan Patah", kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825.<ref name=tejakusuma/>


Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura. Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.<ref name=tejakusuma>Diadopsi dari: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi).</ref>
Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura. Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.<ref name=tejakusuma>Diadopsi dari: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi).</ref>

Revisi per 1 Desember 2016 18.54

Dalung
Negara Indonesia
ProvinsiBali
KabupatenBadung
KecamatanKuta Utara
Kode pos
80361
Kode Kemendagri51.03.06.2006
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Dalung adalah sebuah desa/kelurahan di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Awalnya wilayah yang menjadi Desa Dalung sekarang ini merupakan sebagian semak-semak dan tegalan, dan juga terdiri dari tanah persawahan yang subur. Sebelah timurnya adalah sebuah wilayah Desa yang disebut dengan "Padangluah", sekarang dikenal dengan nama "Padangluih". Jaraknya hanya dibatasi dengan sungai yang dikenal dengan nama Sungai Yeh Poh yang mengalir ke Laut selatan Bali.[1]

Sejarah

Sebenarnya cikal bakalnya berdirinya Desa Dalung sangat erat hubungannya dengan Desa Padangluah yang merupakan kerajaan Meliling, karena awalnya diperintah oleh I Gusti Gede Meliling, yang merupakan putra ke empat dari Raja Ke III Mengwi yaitu I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng. Pada masa Pemerintahan I Gusti Gede Meliling yang berpusat di Padangluah, keadaan digambarkan dengan situasi yang sangat stabil baik secara ekonomi maupun secara sosial politik. Tidak ada terdapat cacatan sejarah yang menyatakan terjadinya pergolakan pada masa tersebut. Tetapi keadaan menjadi lain ketika Dia wafat. Rupanya zaman berubah menjadi kaliyuga, putra-putra Meliling sudah saling berstrategi, dan terasa sudah tidak rukun dan bersatu kembali. Hal ini tidak terlepas dari adanya provokasi dari pihak kerajaan lain yang sangat berkepentingan terhadap wilayah tersebut, yang terkenal subur dan strategis. Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.[1]

Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra dia pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra dia tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah dalam bahasa Bali “Dé Lung” yang berarti "Jangan Patah", kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825.[1]

Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura. Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d Diadopsi dari: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi).