Hak penyandang disabilitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pengertian Penyandang Disabilitas menurut Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.[1]

Sedangkan menurut UU No 8/2016, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.[2]

Sehingga Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, penyandang disabilitas diakui sebagai bagian integral dari masyarakat yang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama sebagai warga negara. Penyandang disabilitas merupakan aset negara bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri sebagaimana manusia lainnya. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki penyandang disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir.

RAGAM DISABILITAS

Menurut UU Nomor 8 Tahun 2016, Ragam Disabilitas dibagi menjadi empat, yaitu:

A. PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Disabilitas ini berhubungan dengan kerusakan atau kelainan pada tulang, sendi, dan otot/sistem syaraf. Secara garis besar disabilitas fisik terdiri atas:

1. Disabilitas Tubuh/Daksa

Disabilitas tubuh/daksa adalah Kehilangan anggota tubuh akibat amputasi. Contohnya adalah :

a. Celebral palsy (kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan pergerakan, keseimbangan dan kejang otot), yang terdiri dari: Hemiplegia (gangguan pada fungsi separuh/sebagian gerak pada bagian kanan atau kiri tubuh)

b. Diplegia (gangguan minimal pada fungsi gerak bagian atas tubuh dan domain pada ekstremitas gerak bawah tubuh), Quadryplegia (kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan)

c. Polio (kelainan pada anggota tubuh seperti kaki kecil sebelah atau lumpuh sebagai akibat terserang virus polio)

d. Meninghitis (peradangan pada otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak sehingga anak mengalami kecacatan seperti lumpuh, kemunduran mental)

e. Muscular Distropy (pengecilan/pengerutan otot karena masalah genetik)

f. Multiple scelerosis (layuh otot)

g. Spinabifida (kelainan pada hidrocepalus dan kelemahan/ kelumpuhan pada kedua tungkai yang disertai dengan gangguan pada BAB dan BAK)

Karakteristik sosial psikologis penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis antara lain:

∵ Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection;

∵ Rendah diri;

∵ Kurang percaya diri;

∵ Mengisolir diri; emosional labil;

∵ Cenderung hidup senasib;

∵ Agresif; ada perasaan tidak aman;

∵ Cepat menyerah;

∵ Apatis;

∵ Kekanak-kanakan dan Melakukan mekanisme pertahanan diri.

2. Disabilitas Netra (penglihatan)

Disabilitas netra adalah individu yang mengalami gangguan penglihatan secara total maupun sebagian. Dan di bagi menjadi dua :

a. Total blind/buta total (kehilangan kemampuan penglihatan secara total)

b. Low vision/kurang awas pada jarak pandang tertentu atau masih memiliki sisa penglihatan disabilitas

3. Disabilitas Rungu-Wicara

Disabilitas rungu yaitu individu yang mengalami kerusakan alat dan organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara.

Disabilitas wicara yaitu individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Adapun ciri-cirinya adalah: 1) tidak dapat memproduksi suara atau bunyi; 2) kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata; 3) gagap/ starting; dan 4) berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.

Sedangkan Rungu wicara yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yang disebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga individu tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak mengenal konsep bahasa. Penyandang disabilitas rungu wicara, yang terdiri dari cacat rungu total dan kurang dengar, memiliki karakteristik Pada waktu bicara, tidak jelas kata/ kalimat yang diucapkan.

B. PENYANDANG DISABILITAS INTELEKTUAL

Mencakup berbagai kekurangan intelektual. Contohnya, anak yang mengalami down syndrome.

C. PENYANDANG DISABILITAS MENTAL

Disabilitas yang paling jarang dikenali masyarakat adalah Disabilitas Mental. Disabilitas Mental merupakan individu yang mengalami gangguan pada fungsi pikir, emosi, dan perilaku sehingga adanya keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Disabilitas Mental terdiri dari Disabilitas Psikososial dan Disabilitas Perkembangan. Disabilitas Psikososial biasa dikenal dengan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) atau OMDK (Orang dengan Masalah Kejiwaan). Disabilitas Perkembangan merupakan individu yang mengalami gangguan pada perkembangan dalam kemampuan untuk berinteraksi sosial. Contoh Disabilitas perkembangan yaitu Autisme dan ADHD.

D. PENYANDANG DISABILITAS SENSORIK

Disabilitas Sensorik adalah individu yang mengalami keterbatasan pada fungsi alat indera seperti penglihatan dan pendengaran. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh faktor genetik/usia, kecelakaan/cidera, dan kesehatan/penyakit serius. Disabilitas Sensorik terdiri dari 2 kelompok yaitu Disabilitas Pendengaran dan Disabilitas Penglihatan.

Disabilitas Pendengaran merupakan individu yang mengalami hambatan dengan keterbatasan kemampuan mendengar. Biasanya Disabilitas Pendengaran dikenal dengan istilah Disabilitas Rungu atau Tuli. Disabilitas Penglihatan yaitu indiviu yang mengalami keterbatasan pada kemampuan melihat. Biasanya Disabilitas Penglihatan disebut dengan Disabilitas Netra.

TINGKATAN DISABILITAS

1. Penyandang disabilitas berat adalah penyandang disabilitas yang kedisabilitasannya sudah tidak dapat direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya tergantung pada bantuan orang lain, dan tidak mampu menghidupi diri sendiri.

2. Penyandang disabilitas sedang adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu latih), fisik dan mental (ganda) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi dua tangan atas siku, amputasi kaki atas lutut, atas paha, tuna rungu, tuna netra, dan sebagainya. Penyandang disabilitas tersebut selain mampu melakukan aktivitas sehari-hari sendiri dan tidak sepenuhnya memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi.

3. Penyandang disabilitas ringan adalah orang yang mengalami kelainan fisik, mental (mampu didik dan mampu latih) misalnya keadaan tubuh dengan amputasi tangan atau kaki, salah satu kaki layuh, tangan/kaki bengkok. Penyandang disabilitas tersebut mampu melakukan aktivitas sehari-hari sendiri dan tidak memerlukan pertolongan orang lain, juga masih bisa diberdayakan/direhabilitasi.

Ragam Penyandang Disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis. Penyandang disabilitas ganda adalah seseorang yang menyandang lebih dari satu disabilitas.

Pola Penanganan penyandang disabilitas di dalam keluarga

Pengasuhan yang baik bagi penyandang disabilitas adalah dengan cara:

1.Mengikuti proses perkembangan anak (apabila masih usia anak)

2. Memberikan perawatan dasar, misalnya: makanan, pakaian, alas tidur, Memberikan nutrisi tambahan (untuk anak yang kekurangan nutrisi) , Selalu mengganti pakaian yang bersih, Menjemur anak agar mendapatkan sinar matahari yang cukup, Menjaga kesehatan (pemeriksaan rutin ke Puskesmas dan patuh obat)

3. Memberikan kasih sayang dan perhatian

4. Memberikan rasa aman dan nyaman

5. Memberikan stimulasi, misalnya diajak bicara, merespon keinginan

6. Memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas berat untuk tetap memperoleh pelayanan sosial dasar (akta kelahiran, kesehatan)

7. Memberikan kesempatan berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal

8. Penyandang disabilitas diasuh oleh keluarga inti

9. Memberikan bimbingan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)

Makan minum

Melatih membersihkan diri (mandi, sikat gigi, cuci rambut, menggunakan kamar kecil/WC, berpakaian, merias diri dan menggunakan alas kaki)

Meningkatkan minat dan potensi anak (bernyanyi, bermusik, olah raga dan menari) Memberikan terapi oleh keluarga.

Peranan masyarakat terhadap Penyandang Disabilitas Berat

Masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas Berat. Unsur masyarakat diharapkan dapat:

1.Membantu jika ada penyandang disabilitas berat yang membutuhkan pertolongan/bantuan

2.Memberi kemudahan penyandang disabilitas berat untuk mendapat kemudahan dalam penggunaan sarana/prasarana umum di masyarakat

3.Memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti kegiatan kemasyarakatan di lingkungan

4.Memberikan informasi jika terdapat keluarga dan/ penyandang disabilitas memerlukan infomasi rujukan

5.Menghimbau kepada keluarga yang memiliki penyandang disabilitas berat agar penyandang disabilitas berat terpenuhi haknya

6.Menginformasi kepada pihak terkait/tokoh masyarakat jika terdapat penyandang disabilitas berat yang belum mendapatkan hak-haknya

Peran Pemerintah

UNCRPD dan Regulasi/Peraturan terkait yang Mendukung Pemberian Sistem Perlindungan Sosial yang Inklusif. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang dikenal dengan UN Convention of Rights of People with Disability (UNCRPD), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2011 menetapkan bahwa individu penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengakses perlindungan sosial tanpa diskiriminasi. Secara khusus, konvensi tersebut menyatakan bahwa sistem perlindungan sosial harus memastikan standar hidup yang layak dan perlindungan dari kemiskinan, membantu mengurangi beban pengeluaran terkait kondisi disabilitas individu dan memastikan akses yang layak serta layanan yang terjangkau, alat bantu atau bantuan lain untuk kebutuhan terkait kondisi disabilitas seseorang memberikan dukungan kepada anak penyandang disabilitas dan keluarganya, dengan perhatian yang spesifik kepada perempuan dengan disabilitas memastikan inklusivitas dan partisipasi dan individu penyandang disabilitas

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, Undang-Undang (UU) no. 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas telah memberikan kerangka hukum agar sistem perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas dalam beberapa pasal yang ada; misalnya terkait kesejahteraan sosial (pasal 17 dan 90-96), artikel terkait hidup secara mandiri dan keterlibatan dalam masyarakat (pasal 23), konsesi (pasal 114-116), perempuan dan anak (Pasal 5 dan 126), adalah beberapa pasal yang terkait dalam UU tersebut. UU no.8 tahun 2016 juga mendorong agar UU No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN, dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No. 20 tahun 2006 mengenai Petunjuk Penyaluran dan Pencairan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat bagi Penyandang Cacat Berat dan Jaminan Sosial Lanjut Usia bagi Lanjut Usia Terlantar, dapat memberikan perlindungan sosial yang komprehensif bagi penyandang disabilitas.[3]

Peran Internasional

Bukti-Bukti Internasional dari Negara-Negara yang Melaksanakan Sistem Perlindungan Sosial secara Komprehensif . Menurut laporan ILO tahun 2015 ILO World Report on Social Protection, 60 negara secara global telah melaksanakan kombinasi dari manfaat disabilitas melalui skema kontribusi dan non-kontribusi. Beberapa tahun terakhir, banyak negara yang mulai menyadari bahwa skema bantuan sosial bagi masyarakat miskin seharusnya dapat lebih responsif terhadap penyandang disabilitas, seperti Indonesia, Zambia dan Filipina. Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya seperti Georgia, Afrika Selatan, Bangladesh, Kenya dan Fiji juga mulai mengembangkan bantuan/tunjangan spesifik bagi penyandang disabilitas melalui skema non-kontribusi. Nepal dan Vietnam sebagai contoh juga memberikan sistem perlindungan sosial yang cukup komprehensif bagi penyandang disabilitas, dengan mengkombinasikan skema disabilitas melalui jaminan sosial; non-kontribusi dan bantuan disabilitas tanpa syarat bagi anak dan individu disabilitas dewasa, serta secara paralel juga terus mengembangkan konsesi yang bermanfaat seperti untuk pendidikan, layanan transportasi, dan kesehatan secara gratis.[4]

HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

Secara global, sekitar 15 persen (1 milyar jiwa) mengalami/memiliki kondisi disabilitas dimana prevalansi di negara – negara berkembang pada umumnya lebih tinggi. Penyandang disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi dan mengalami keterbatasan kesempatan untuk mengakses fasilitas pendidikan, kesehatan, nutrisi, kemungkinan kesempatan bekerja yang lebih sedikit daripada mereka yang tidak memiliki disabilitas serta pada umumnya berada pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.[5] Data nasional Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah sekitar 9 persen (23,3 juta jiwa). Penyandang disabilitas di Indonesia juga masih memiliki tantangan untuk mengakses beberapa layanan dasar seperti akta kelahiran, pendidikan, kesehatan termasuk jaminan kesehatan, dan kesulitan untuk memasuki pasar kerja dan lapangan kerja.[6]

Di beberapa tempat, penyandang disabilitas masih banyak yang berada dalam kondisi ditelantarkan, ditinggalkan, diskriminasi, atau bahkan banyak yang mengalami perlakuan salah lainnya seperti kekerasan seksual dan eksploitasi karena kedisabilitasan yang dimilikinya. Para penyandang disabilitas kerap menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan hal itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tindakan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, dimana mereka tinggal dan budaya yang berlaku di tempat tersebut [7]

Pemerintah di beberapa negara mencoba memperjuangkan hak-hak para penyandang disabilitas dengan bersama-bersama menetapkan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (KHPD)/Convention on the Rights of Persons with Dissabilities (CRPD). Konvensi ini dibuat agar para penyandang disabilitas bisa menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa pun. Selain itu, konvensi ini juga menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti warga negara di Indonesia, hak-hak penyandang disabilitas diatur di dalam UU No. 8 Tahun 2016 yang meliputi:

1. Hidup

2. Bebas dari stigma

3. Privasi

4. Keadilan dan perlindungan hukum

5. Pendidikan

6. Pekerjaan, kewirausahaan, koperasi

7. Kesehatan

8. Politik

9. Keagamaan

10. Keolahragaan

11. Kebudayaan dan pariwisata

12. Kesejahteraan sosial

13. Aksesibilitas

14. Pelayanan publik

15.Perlindungan dari bencana

16. Habilitasi dan rehabilitasi

17. Konsesi

18.Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat

19.Berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi

20.Berpindah tempat dan kewarganegaraan

21.Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Republik Indonesia. 2011. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Jakarta
  2. ^ Republik Indonesia. 2016. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Jakarta.
  3. ^ Undang-Undang (UU) no. 8 tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas
  4. ^ Pemerintah Indonesia, Kementerian Sosial (Kemensos) (2017) Pedoman Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPBD), Jakarta: Kemensos.
  5. ^ (World Bank, https://www.worldbank.org/en/topic/disability Diarsipkan 2021-12-18 di Wayback Machine. )
  6. ^ Susenas 2019, Kalkulasi TNP2K 2020
  7. ^ UNICEF: 2013
  8. ^ UU No. 8 Tahun 2016