Hajifobia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Dinas imigrasi Hindia-Belanda memeriksa surat-surat calon jemaah haji Indonesia sebelum berangkat ke Mekkah, Tanjung Priuk, 1938.

Hajifobia adalah istilah yang digunakan untuk menyebut ketakutan orang-orang Belanda terhadap pribumi muslim yang pergi berhaji pada zaman penjajahan Belanda. Ketakutan ini dilatarbelakangi oleh kecurigaan Belanda terhadap orang-orang berhaji yang dianggap berpotensi menimbulkan perlawanan terhadap pihak kolonial.[1] Ketakutan ini berbuah serangkaian aturan rumit yang bertujuan untuk memperkecil angka keberangkatan jemaah haji.[2] Karena menuai banyak kritik, kebijakan pembatasan ini kemudian dihentikan pada awal abad ke-20.[3]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Perlawanan terhadap pemerintahan Belanda pada pertengahan abad ke-19, seperti Perang Padri dan Perang Diponegoro, membuat Belanda percaya bahwa orang-orang yang kembali dari berhaji menjadi lebih fanatik. Pemberontakan di India pada tahun 1857 memperkuat keyakinan Belanda terhadap adanya haji fanatik. Pihak kolonial percaya bahwa ada konspirasi yang direncanakan oleh muslim-muslim sedunia di Mekkah untuk melawan non-muslim di seluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, pemerintah Belanda mengeluarkan ordonansi haji pada 1859 untuk memperketat dan memperumit proses keberangkatan jemaah haji. Belanda juga menganggap beberapa syekh dan jemaah haji yang menetap di Arab berbahaya bagi pemerintahan. Pada 1880-an, Belanda juga mulai mencurigai beberapa tarekat karena sering mengobarkan kerusuhan. Pengawasan terhadap tarekat dan haji semakin diperketat selepas terjadinya pemberontakan Banten tahun 1888 yang dipelopori tokoh-tokoh tarekat dan para haji. Gerakan serupa juga terjadi di Aceh sehingga Belanda meniadakan keberangkatan haji bagi masyarakat Aceh pada tahun 1891.[2][4]

Misionaris yang merangkap bahasawan dan etnolog, Carel Poensen, dalam salah satu tulisannya tentang Islam yang diterbitkan pada tahun 1880-an dalam Soerabajasche Handelsblad, menuliskan:[4]

"Orang-orang yang sudah berhaji merasa dirinya manusia yang berbeda; ia bukan lagi orang Jawa, ia adalah seorang Haji! Ziarah Islamnya telah membuatnya menjadi warga dunia. Akibat dari ibadah haji dan penggunaan bahasa Arab, ia mulai merasai ikatan dengan orang-orang yang juga mengetahui bahasa yang sama; dan dengan semakin kuatnya perasaan itu, ia juga semakin merasa anti-orang Eropa, lebih-lebih menjadi lawan bagi Kekristenan. Islam mempersatukan seluruh pemeluknya dalam satu himpunan, dan ke mana pun muslim Jawa bepergian, ke Arabia, ke Mesir, ke India Britania, ke Tiongkok, di mana pun ia menemukan kawan seagama dianggapnya sebagai saudara seiman, bersatu menjadi penentang setiap kekuatan Eropa-Kristen."

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Putuhena, Dr M. Shaleh (2007-01-01). Historiografi Haji Indonesia. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 9789792552645. 
  2. ^ a b "Ajang Konsolidasi Melawan Penjajah". Republika Online. 2016-08-08. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-12. Diakses tanggal 2019-08-12. 
  3. ^ Husnaini, M. (2016-06-06). Allah Pun "Tertawa" Melihat Kita. Elex Media Komputindo. ISBN 9786020285269. 
  4. ^ a b Antunes, Catia; Gommans, Jos (2015-05-21). Exploring the Dutch Empire: Agents, Networks and Institutions, 1600-2000 (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. ISBN 9781474236447.