Lompat ke isi

Dilema Malaka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dilema Malaka (Hanzi sederhana: 马六甲海峡困境; Hanzi tradisional: 馬六甲海峽困境; Pinyin: Mǎliùjiǎ Hǎixiá Kùnjìng) adalah suatu istilah yang digunakan oleh Presiden Tiongkok Hu Jintao untuk mendeskripsikan ketergantungan Tiongkok atas Selat Malaka sebagai jalur masuk utama pasokan energi minyaknya. Seiring dengan kesuksesan reformasi ekonomi Tiongkok dibawah Deng Xiaoping pada dekade 1970an, secara perlahan Tiongkok berubah menjadi negara yang memiliki kebutuhan energi minyak baik untuk kebutuhan industri maupun kebutuhan umum yang semakin membesar. Tiongkok saat ini merupakan pengimpor minyak terbesar kedua di dunia, dengan jumlah 7.599.000 barel per hari pada tahun 2016.[1] Dari jumlah tersebut, sebagian besar minyak yang diimpor oleh Tiongkok datang dari kawasan Timur Tengah dan Afrika, sehingga harus melewati Selat Malaka. Kondisi ini membuat Selat Malaka memiliki nilai strategis bagi keamanan energi Tiongkok, dikarenakan gangguan keamanan atas wilayah Selat Malaka akan berakibat pada terganggunya suplai minyak yang krusial bagi kebutuhan energi Tiongkok. Dalam menghadapi kondisi ini, Tiongkok telah melakukan berbagai cara, antara lain dengan mengontrol permintaan akan minyak, serta mengurangi ketergantungan atas minyak impor.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "The World Factbook". report. Central Intelligence Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-08. Diakses tanggal 05 November 2017. 
  2. ^ Zhong Xiang, Zhang (December 2011). "China's energy security, the Malacca dilemma and response". Elsevier. 39 (12): 7612–7615. doi:10.1016/j.enpol.2011.09.033. Diakses tanggal 05 November 2017.