Cengkih di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Cengkih di Indonesia ada yang diperoleh dari hasil penanaman sendiri dan ada pula yang hasil impor.

Produksi[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2019, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian memperkirakan Indonesia memproduksi sekitar 134.792 ton cengkih. Selain itu, diperkirakan terdapat 1.002.774 petani cengkih di seluruh Indonesia dengan rata-rata produktivitas sebesar 410 kilogram per hektar.[1]

Estimasi jumlah produksi, produktivitas, dan jumlah petani cengkih menurut 10 besar provinsi penghasil utama tahun 2020[1]
Provinsi Produksi (Ton) Produktivitas (Kg/Ha) Jumlah Petani (KK)
Sulawesi Selatan 20.363 568 72.272
Maluku 20.006 619 72.785
Sulawesi Tengah 17.994 372 63.894
Sulawesi Tenggara 14.700 687 25.120
Jawa Timur 11.461 434 177.598
Jawa Barat 8.472 436 130.761
Jawa Tengah 6.607 290 201.984
Sulawesi Utara 5.554 128 73.302
Aceh 5.404 588 24.124
Maluku Utara 4.225 370 19.484

Catatan:

Jumlah produksi termasuk perkebunan rakyat, negara, dan besar swasta

Perdagangan[sunting | sunting sumber]

Impor[sunting | sunting sumber]

Indonesia mengimpor cengkih dari Zanzibar sampai dengan 1987 untuk digunakan sebagai bumbu pembuatan rokok kretek.[2] Pada 1968, impor cengkeh diberikan kepada PT Mercu Buana (milik Probosutejo, adik Presiden Soeharto) dan PT Mega (milik Liem Sioe Liong).[2] Kedua perusahaan itu memiliki hubungan yang erat dengan Keluarga Cendana.[3]

Pada 1991, pemerintah mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) dengan Tommy Soeharto sebagai ketuanya. Pendirian BPPC ini disebabkan Presiden Soeharto menganggap cengkih sebagai komoditas penting dan butuh diregulasi oleh negara.[2] Kebijakan BPPC membuat banyak petani cengkih dan produsen rokok kretek marah karena BPPC sebagai satu-satunya pihak yang dapat membeli cengkih dari petani dengan harga semurah-murahnya, lalu menjualnya ke pabrik rokok semahal-mahalnya.[3] Akhirnya banyak petani yang menebang atau membakar pohon cengkih mereka. Pada Mei 1998 sebagai bagian reformasi yang dimandatkan oleh IMF untuk mengakhiri monopoli, Presiden Soeharto setuju membubarkan BPPC.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Cengkeh Tahun 2018-2020. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. 2019. 
  2. ^ a b c d Cribb, R. B. (2004). Historical dictionary of Indonesia. Audrey Kahin (edisi ke-2nd ed). Lanham, Md.: Scarecrow Press. ISBN 0-8108-4935-6. OCLC 53793487. 
  3. ^ a b "Keculasan Orde Baru Membuat Harga Cengkeh Hancur". Tirto.id. Diakses tanggal 2021-04-09.