Lompat ke isi

Buklog

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Buklog adalah tradisi kebudayaan asal Filipina berupa ritual ucapan syukur yang dipraktekkan oleh masyarakat Suku Subanen yang tinggal di Semenanjung Zamboanga, Filipina bagian selatan. Sistem ritual ini dilakukan sebagai bentuk terima kasih kepada para spirit atas berbagai anugerah yang mereka alami, mulai dari panen yang berlimpah, pemulihan dari penyakit atau musibah hingga pengakuan dari pemimpin yang baru diangkat.[1]

Buklog dilakukan dengan melibatkan tiga unsur, yakni manusia, alam dan dunia spirit. Tradisi ini biasanya dipimpin oleh seorang timuay atau kepala desa dan difasilitasi oleh balyan atau tokoh agama setempat. Dalam pelaksanaannya, seorang timuay beserta warga desa akan meminta izin kepada spirit yang ada di sekitarnya untuk mengumpulkan berbagai bahan yang berasal dari hutan. Kemudian mereka melakukan persembahan berupa koin, mengundang roh-roh yang telah pergi untuk ikut berpesta serta melakukan permohonan terhadap spirit air dan tanah. Buklog juga dilanjutkan oleh sesi menari yang diiringi dengan iringan musik. Pada sesi ini para peserta akan menari di atas tempat yang terbuat dari struktur kayu yang ditinggikan yang disebut dengan 'buklog'. Aktivitas ini menimbulkan suara yang diyakini sebagai suara spirit.[1][2]

Ritual buklog diyakini berasal dari sebuah cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Subanen sejak ratusan tahun lalu. Kisah ini pertama kali dipopulerkan oleh Thimuay Imbing, seorang pemimpin suku di era 1800an dan kemudian disampaikan secara turun temurun hingga akhirnya legenda tersebut tetap lestari terutama di kalangan balyan seperti sekarang. Konon, dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Jobrael yang terkadang juga dipanggil dengan sebutan Jobraim. Jobrael merupakan putra persatuan dari penduduk bumi dan supranatural. Ia hidup selama 1000 tahun, melebihi waktu tinggal yang ditetapkan oleh Diwata Magbabaya. Diwata Magbabaya sendiri adalah dewa tertinggi yang menciptakan seisi surga dan bumi yang dipercayai oleh masyarakat Suku Subanen.[3]

Melalui Palmot, utusan Magbabaya, Jobrael diperintahkan untuk kembali ke surga. Namun lantaran Jobrael tidak mengikuti perintahnya, maka Jobrael ditangkap dan dikurung di surga. Ia tidak diperbolehkan untuk pergi kemana-mana. Jobrael memiliki seorang putra. Lantaran merasa khawatir, ia pun bertanya kepada Magbabaya bagaimana nasib putra dan keluarganya di bumi. Magbabaya kemudian menjelaskan bahwa putranya masih punya waktu 7 tahun untuk tinggal di bumi dan akan dikirim ke surga jika lewat dari batas waktu yang ditentukan.[3]

Palmot menyampaikan pesan Magbabaya kepada Putra Jobrael. Dengan statusnya yang masih lajang, teman-teman Putra Jobrael tidak rela jika Putra Jobrael pergi ke surga begitu saja. Mereka kemudian berusaha mencarikannya istri agar ia memiliki keturunan sebelum waktunya habis dan pergi ke surga. Setelah mencari ke berbagai arah dan bertemu dengan banyak wanita, akhirnya mereka menemukan seorang wanita yang dianggap cocok untuk menjadi pendamping hidup putra Jobrael. Wanita itu adalah putri dari seorang gomotan. Mereka berdua pun menikah. Meskipun begitu, putri Gomotan tidak melayani putra Jobrael sebagaimana istri pada umumnya. Mereka bahkan hidup berpisah. Ketika ditanya tentang situasi ini, sang istri menjawab bahwa mereka harus melakukan sesuatu karena suaminya yakni Putra Jobrael hanya punya waktu 7 tahun saja di bumi.[3]

Sejak itu setiap tahunnya mereka melakukan berbagai upaya. Pada tahun pertama pernikahan, setelah masa panen, istri putra Jobrael memberikan instruksi kepada warga setempat untuk memasang salib menghadap timur. Selain itu ia juga memerintahkan kepada mereka untuk mempersembahkan sirih dan kapur. Dengan citranya sebagai sosok wanita yang bijak, penduduk setempat percaya kepadanya sehingga mereka mengikuti apa yang diperintahkan. Tahun berikutnya, ia meminta warga setempat untuk memasang altar berhiaskan daun buri. Bentuknya seperti persegi dan di atasnya diletakkan persembahan berupa darah ayam, telur rebus, nasi yang dibentuk menjadi bola bahkan hingga potongan daging babi rebus yang tidak digarami. Pada altar tersebut juga ditempatkan sebuah guci berisikan gasi atau minuman memabukkan yang terbuat dari beras sejenis sake.[3]

Pada tahun ketiga, istri dari putra Jobrael menginstruksikan orang-orang di sekitarnya untuk membuat altar dengan dekorasi kain warna hitam dan kuning serta memotong kayu dan membuat ukiran di atasnya. Pada tahun keempat, istri dari Putra Jobrael meminta kepada warga setempat untuk mendapatkan guci tanah berukuran besar dengan tongkat bambu yang dimasukkan ke dalamnya. Pada tahun kelima, ia meminta kepada orang-orang untuk pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu tertentu untuk dijadikan tiang. Kemudian ia memanggil balian untuk memberikan obat pada tiang-tiang tersebut dan berdoa agar mereka dihindari dari hal-hal buruk seperti penyakit ataupun insiden yang tak diinginkan.[3]

Pada tahun keenam, ia menyuruh orang-orang di sekitarnya untuk pergi ke hutan untuk mengumpulkan jenis kayu yang disebut bayug untuk dijadikan sebagai lumpang kemudian ditempatkan di bawah rumah dengan ditutupi oleh daun nipa. Selain itu ia juga meminta orang-orang tersebut untuk memainkan gong, menari dan menyembelih daging babi. Begitu tiba tahun terakhir, istri Putra Jobrael memerintahkan orang-orang sekitarnya untuk pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu spesial bernama labalud. Kayu tersebut dipotong menjadi 8 bagian untuk kemudian ditancapkan pada masing-masing lubang yang membentuk kotak dengan jarak satu sama lain mencapai 3 meter. Pada lubang-lubang ini, sebuah pos ditempatkan di tengah dengan posisi menghadap ke arah timur. Pada pos inilah seorang balian akan mengaplikasikan obatnya setelah 7 lainnya dipasang.[3]

Di samping itu, ia juga meminta mereka untuk menyiapkan bambu yang terbelah dan diratakan untuk digunakan sebagai lantai panggung atau mimbar. Demi merekatkan antara kayu-kayu yang telah dijadikan tiang dan bambu yang dijadikan sebagai lantai, mereka juga menggunakan tanaman merambat sebagai pengganti paku. Konstruksi panggungnya diselesaikan hingga matahari terbenam dengan serangkaian kegiatan dilakukan mulai dari acara pesta, tari-tarian dan kegiatan meminum gasi. Tak lama kemudian Palmot datang untuk menjemput putra Jobrael ke surga sesuai yang pernah disampaikan sebelumnya. Ia menghampiri putra Jobrael beserta istrinya di pusat bumi kemudian menyampaikan maksudnya.[3]

Akan tetapi, istri putra Jobrael menolak dengan alasan warga setempat sudah membuat konstruksi panggung sedemikian rupa namun mereka belum menentukan apa nama sebutannya. Ia kemudian memberikan ketentuan bersyarat bahwa jika Palmot mampu memberikan nama pada apa yang telah mereka persiapkan selama 7 tahun belakangan, maka suaminya boleh ikut bersama Palmot ke surga. Selain itu mereka juga harus membuat pertunjukan meskipun mereka belum tahu apa nama pertunjukan tersebut.[3]

Palmot yang tidak tahu apa nama dari segala hal yang telah dipersiapkan oleh istri putra Jobrael tidak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, ia kembali ke surga dan begitu tiba, Magbabaya mempertanyakan kepadanya kenapa ia tidak membawa putra Jobrael. Palmot kemudian mendeskripsikan satu demi satu atas apa yang dilakukan oleh istri putra Jobrael sejak tahun pertama pernikahannya hingga tahun terakhir. Pada saat itulah Magbabaya memberitahukan nama dari masing-masing hal yang dibicarakan oleh Palmot. Ia menjelaskan bahwa persiapan pada tahun pertama disebut salangsang. Altar pada tahun kedua dinamakan binalay. Altar beserta persembahan pada tahun ketiga disebut palasanding. Tongkat bambu yang diikat dengan rotan dan dipasang pada kendi diartikan sebagai banghaso. Kemudian lumpang kayu dinamakan dulugan, alat penumbuk disebut pathaw, pos utama disebut guinghoram tumayam serta kayu yang fleksibel dan tidak mudah patah diartikan sebagai labalod.[3]

Terakhir, Magbabaya menyebut bahwa seluruh struktur dan aktivitas yang tercakup di dalamnya dikenal dengan nama buklog yang kemudian menjadi cikal bakal dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Suku Subanen. Sejak istri dari putra Jobrael melakukan semua ini, Magbabaya berubah pikiran. Ia merasa tak berhak mengembalikan putra Jobrael ke surga. Pada akhirnya, ia pun membiarkan putra Jobrael beserta istrinya tinggal di bumi untuk tinggal bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya mereka berdua punya anak dan cucu.[3]

Datu Agdina Bacong Andus merupakan tokoh terkenal dalam praktek ritual buklog yang berasal dari Sindangan. Kemampuannya menurun dari sang ayah yang terkenal sebagai seorang timuay dan balian yang berani pada lautan badai. Datu Andus dideskripsikan sebagai pria yang lembut yang memiliki 16 anak. Ia telah menyelesaikan SMA dan telah memperoleh sertifikat guru SD namun hanya mengajar selama 3 tahun. Masa hidupnya selama 31 tahun ia habiskan di kantor bendahara Sindangan.[4]

Pengakuan UNESCO

[sunting | sunting sumber]

Buklog pertama kali dinominasikan kepada UNESCO sebagai warisan budaya takbenda Filipina pada 2015 namun baru disahkan oleh UNESCO pada akhir 2019. Keputusan itu ditetapkan dalam sebuah pertemuan UNESCO bertajuk the 14th Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage Meeting yang diselenggarakan di Bogota, Kolombia pada 9-14 Desember 2015.[5]

Sejak itu Buklog menjadi warisan budaya takbenda Filipina yang telah diakui dunia. Namun lantaran tradisi tersebut sudah jarang sekali dilakukan, buklog diklasifikasikan sebagai budaya yang butuh perlindungan mendesak (Need of Urgent Safeguarding) sekaligus menjadikannya sebagai elemen budaya Filipina pertama yang masuk ke dalam daftar tersebut.[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "UNESCO - Buklog, thanksgiving ritual system of the Subanen". ich.unesco.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-15. 
  2. ^ "Buklog, thanksgiving ritual system of Subanen, inscribed on UNESCO's List of Intangible Cultural Heritage in need of Urgent Safeguarding". National Commission for Culture and The Arts. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-12. Diakses tanggal 16 Juni 2020. 
  3. ^ a b c d e f g h i j Imbing, Thimuay Mangura Vicente L. & Joy Viernes-Enriquez (1990). "A Legend of the Subanen "Buklog"". Asian Folklore Studies. Universitas Nanzan. 49 (1): 109–123. doi:10.2307/1177951. 
  4. ^ Villaruz, Basilio Esteban S. (2006). Treading Through: 45 Years of Philippine Dance. Quezon: University of the Philippines Press. hlm. 37. ISBN 9789715425094. 
  5. ^ Catajan, Maria Elena (2019-12-17). "Unesco inscribes 'Buklog' for safeguarding". Sunstar (dalam bahasa English). Diakses tanggal 2020-06-17. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ Adel, Rosette. "Subanen thanksgiving ritual added to UNESCO Intangible Cultural Heritage list". philstar.com. Diakses tanggal 2020-06-17.