Askar Perang Sabil

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Monumen Askar Perang Sabil di Kampung Kauman, Yogyakarta.

Askar Perang Sabil adalah sebuah organisasi kelaskaran yang terbentuk atas prakarsa para ulama Yogyakarta yang sebagian besar berasal dari kalangan Muhammadiyah. APS dapat dikatakan sebagai organisasi kelaskaran bentukan Muhammadiyah.[1][2][3][4][5][6][7]

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

APS terbentuk dari keprihatinan para ulama Muhammadiyah yang melihat bahwa kondisi bangsa Indonesia kian mengkhawatirkan dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Mereka membentuk Laskar Angkatan Perang Sabil sebagai organisasi semi militer Islam pada tanggal 23 Juli 1947 di Masjid Taqwa yang berada di Kampung Suronatan Yogyakarta. Pada perkembangannya, nama tersebut lantas diubah menjadi APS, sedangkan wadah perjuangannya diberi nama MUAPS.

Tujuan utama didirikannya APS adalah membantu TNI dalam melawan musuh serta melandaskan perjuangan sesuai dengan ajaran Islam yang menyeru untuk berjuang di jalan Allah SWT. Adapun organisasi yang dibentuk oleh para ulama Muhammadiyah ini terdiri ats kelompok bekas laskar Hizbullah dan Sabilillah, serta kelompok pemuda kampung Muslim yang menjadikan peranannya sebagai badan perjuangan yang menitikberatkan perjuangan di bidang militer dan bernafaskan Islam.

Keterlibatan para ulama Muhammadiyah yang tergabung dalam APS untuk membantu TNI mempertahankan kemerdekaan terlihat dalam berbagai pertempuran di berbagai daerah di Yogyakarta. Keberhasilan perjuangan pasukan APS beserta TNI dan badan perjuangan lainnya merupakan hasil dari kerja sama semua pihak yang tidak dapat dilepaskan dari semangat jihad fi sabilillah.

Kronologi pembentukan[sunting | sunting sumber]

Pada 21 Juli 1947-4 Agustus 1947, Belanda kembali berusaha menguasai Indonesia dengan melancarkan serangan ke beberapa wilayah di Indonesia yang dikenal dengan Agresi Militer I. Hal ini membuat keprihatinan di kalangan ulama yang berada di Yogyakarta. Selanjutnya, para ulama Muhammadiyah melakukan iktikaf di Masjid Taqwa Suronatan pada bulan Ramadhan tahun 1947 yang menghasilkan penetapan pembentukan organisasi APS dan MUAPS. APS merupakan organisasi gabungan dari bekas laskar Hizbullah dan Sabilillah. Laskar ini diharapkan mampu menjawab segala tindakan Belanda kepada Indonesia serta mampu membantu TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Rahman, 1983:10).

Gagasan dibentuknya APS dan MUAPS itu disampaikan dalam musyawarah para ulama-ulama Muhammadiyah di Yogyakarta yang dihadiri oleh K.H.R. Hadjid, K.H. Juraimi, K.H. Mahfudz Siradj, K.H. Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Aziz, K.H. Djohar, K.H. Amin, K.H. Daim, K.H. Ahmad Bawawi, Ahmad Badawi, Bakri Syahid, M. Sarbini, Abdullah Mabrur, dan lain-lainnya (Suhatno, 1982:121).

Adapun susunan pengurus pusat APS sebagai berikut:

Penasehat  : Ki Bagus Hadikusumo

Imam  : K.H Mahfudz Siradj

Ketua  : K.H.R. Hadjid

Wakil Ketua  : K.H. Ahmad Badawi

Bendahara  : K.H. Abdul Aziz dan H. Hasyim

Komandan  : M. Sarbini

Wakil Komandan  : K.H. Juraimi

Penerangan  : Siradj Dahlan

Perlengkapan  : Abdul Djawad

Persenjataan  : M. Bakri Sudja’

Logistik  : Bakri Syahid

Administrasi  : Daim (Suhatno, 1982:121).


Susunan organisasi ini lantas dilaporkan kepada Menteri Pertahanan yang waktu itu dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memperoleh persetujuan (LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1993:1). Pada susunan tersebut ditetapkan pula tiga orang utusan, yaitu K.H. Mahfudz Siradj, K.H. Ahmad Badawi, dan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta (Majelis Pustaka Muhammadiyah, 1989:5). Sri Sultan Hamengku Buwono IX berkenan dan merestui dibentuknya APS yang tertuang dalam serat kekancingan menggunakan bahasa Jawa.

Adapun terjemahan Surat Kekancingan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

…sudah menerima menghadap Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mahfudz Siradj, dan K.H. Ahmad Badawi sebagai wakil para ulama di Yogyakarta, yang menyampaikan permohonan para uama di Yogyakarta setelah melaksanakan iktikaf memohon kepada Allah SWT di Masjid Taqwa Kampung Suronatan Yogyakarta pada malam hari tanggal 17 bulan puasa tahun 1879 Jawa atau tanggal 23 bulan Juli tahun 1947… (Serat Kekantjingan Dalem Ngarsa Sampejan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngajogjakarta Dumateng Asjikar Perang Sabilillah).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memerintahkan kepada para utusan ulama tersebut untuk menghadap kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman agar memperoleh izin. Oleh karena itu, ketiga utusan yang didampingi Muhammad Sarbini menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman di Bintaran. Panglima Besar Jenderal Sudirman sendiri menyetujui gagasan para ulama dalam pembentukan MUAPS dan APS, bahkan beliau bersedia memberikan bantuan perlengkapan untuk latihan dan tenaga pelatih yang dipimpin oleh Mayor Fakhrudin (Syaifullah, 1997:131).

Selain menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman, para ulama lainnya yang didampingi K.H. Hadjid menghadap para tokoh masyarakat untuk mengadakan hubungan dengan pemerintah sipil dan militer di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu menghubungi bupati dan komandan militer setempat (Suratmin, 1996/1997:25). Adanya persetujuan dari Menteri Pertahanan, panglima besar, dan gubernur militer RI tentang pembentukan APS dan MUAPS membuat pasukan bersenjata APS secara resmi berdiri pada tanggal 23 Juli 1947 atau tanggal 17 Ramadhan 1367 H di Yogyakarta (wawancara dengan Suratmin, 3 Mei 2016). MT. Arifin (1990: 211) mengemukakan bahwa APS merupakan sebuah organisasi kelaskaran yang terbentuk atas prakarsa para ulama Yogyakarta yang sebagian besar berasal dari kalangan Muhammadiyah, sehingga APS bisa dikatakan sebagai organisasi kelaskaran bentukan Muhammadiyah.

Keterlibatan dalam perang kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Tanggal 15 Maret 1947 pemerintah RI menandatangani Perjanjian Linggarjati di Istana Gambir Jakarta, tetapi pihak Belanda secara sengaja melanggar perjanjian tersebut dengan mengadakan serangan di Bogor, Mojokerto, dan berbagai tempat lainnya yang membuat suasana semakin memanas. Selanjutnya, pada tanggal 27 Mei 1947, sebelum terbentuknya TNI, Belanda yang diwakili oleh Van Mook melakukan ultimatum kepada Indonesia. Ultimatum tersebut berisi tentang pemerintahan bersama, uang bersama, impor-ekspor bersama, dan devisa bersama (Dinas TNI AD, 1972:134).

Merasa kurang mendapat tanggapan yang positif dari Indonesia, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militer ke Indonesia pada malam hari. Serangan tentara Belanda terfokus pada tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur sasarannya adalah daerah perkebunan tebu dan pabrik gula.

Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan saat itu juga tak luput dari sasaran agresi militer Belanda. Serangan di Yogyakarta dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 sekitar pukul 07.00 dengan menyerang Lapangan Terbang Maguwo melalui udara. Sekitar empat buah pesawat bom terbang mengitari ibukota Yogyakarta yang kemudian selang beberapa menit Belanda mulai melakukan aksinya dengan menjatuhkan bom dan menembaki TNI yang berada di Lapangan Maguwo. Pukul 15.00 Belanda menambah jumlah pesawat mereka dan kembali melakukan serangan ke daerah Lapangan Maguwo. Belanda berdalih serangan itu hanya sekedar tindakan keamanan dan ketertiban saja.

Melihat situasi tersebut MUAPS kemudian mengirimkan pasukan bersenjata APS ke front pertempuran. Pengiriman pertama dilakukan ke daerah Semarang yaitu Mranggen dan Srondol. Markas APS yang pada waktu itu berada di Tegalayang Pandak juga mengirimkan satu pasukan yang dipimpin oleh K.H. Juraimi dengan didampingi K.H. Hadjid sebagai imam. Sementara itu, APS cabang Sleman juga mengirimkan bantuan satu kompi dengan dipimpin oleh Badri dan didampingi K.H. Abdurrahman sebagai imam. Keduanya berhasil bergabung untuk melawan Belanda di daerah Mranggen Utara dan Mranggen Selatan.

Pada tanggal 31 Juli 1947 diputuskan bahwa anggota APS bersenjata ditempatkan di perbatasan Kebumen, yaitu di daerah Grabag. Penempatan ini berdasarkan perintah dari Jenderal Sudirman melalui surat perintah dari Jenderal Urip Sumoharjo yang menjabat sebagai Kepala Staf TNI. Perintah ini kemudian ditindaklanjuti oleh MUAPS dengan mengirimkan satu batalyon yang dilengkapi 120 pucuk senjata, yang dipimpin oleh Sarbini dan K.H. Djuraimi sebagai wakil komanda dan diikuti oleh K.H. Mahfudz Siradj dan K.H.R. Hadjid sebagai imam.

Pasukan ini bertemu dengan Komandan TNI Mayor Yani di daerah Pingit. Pasukan APS dan Komandan Yani kemudian bekerjasama mengadakan pertahanan di Pegunungan Ngrancak Ambarawa ke timur sampai Desa Tirto. Mereka melakukan pencegatan dan penjagaan di sepanjang jalan antara Yogyakarta, Salatiga, Magelang, dan Kebumen (Setyawati, 1988:69). Pasca diterimanya Resolusi PBB No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 tentang gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia, MUAPS pusat mengambil tindakan secara tegas mengakhiri tugas pasukan APS di Kebumen, tetapi pasukan APS bertahan di daerah ini hingga awal tahun 1948.

Pada tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees menjadi perdana menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik. Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi Van Mook sebagai wakil gubernur jenderal. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30 dengan perantara sepucuk surat, pemerintah Belanda memberitahu Komisi Tiga Negara tentang dibatalkannya gencatan senjata dan Perjanjian Reville dengan pihak Indonesia. Kabar tersebut juga disampaikan kepada bangsa Indonesia (Muljana, 2008:201).

Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi hari, pasukan Belanda secara mendadak menyerang Lapangan Udara Maguwo melalui pasukan udaranya. Di pihak lain, para ulama melakukan perintah dari Panglima Sudirman untuk ke luar kota dan bergabung dengan TNI, tetapi sebelum itu mereka mengadakan pembagian tugas di antara para anggotanya, yaitu mereka yang harus tetap tinggal di kota dan yang diperbolehkan meninggalkan kota.

Para anggota badan perjuangan MUAPS yang mendapatkan tugas untuk tetap tinggal di kota antara lain Mato Jumeno, K.H. Mahfudz Siradj, K.H. Badawi, K.H. Djuroini, dan lain-lain. Adapun pasukan bersenjata APS yang diperbolehkan meninggalkan kota keluar harus melalui markasnya yang telah dipindahkan dari Kauman ke Notoprajan. Pasukan TNI bersama dengan APS bekerja sama dalam menghadang masuknya tentara Belanda ke ibukota Yogyakarta hingga batas daerah Kabupaten Bantul.

Kontak fisik antara pasukan APS dengan tentara Belanda tidak dapat dihindarkan, akibatnya lima orang pasukan APS gugur dalam pertempuran tersebut. Pasukan APS selanjutnya bertahan di Karangkajen, dari sana pasukan APS terus melakukan gerilya selama seminggu untuk menyerang pasukan Belanda di dalam kota. Belanda ternyata mengetahui lokasi keberadaan markas pasukan APS di Karangkajen, sehingga dilakukanlah penyerangan yang mengakibatkan empat orang pasukan APS gugur di medan pertempuran.

Di Kabupaten Bantul, Belanda melancarkan aksinya dengan menyerang dan mengepung Pabrik Gula Padokan. Serangan itu menyebabkan lima anggota APS gugur. Perlawanan APS di Sleman dilakukan dengan penyerangan pos Belanda di Jembatan Bantar dari tiga arah, yaitu barat, timur, dan selatan. Pertempuran di Jembatan Bantar ini mengakibatkan 11 anggota APS gugur.

Pasukan APS juga ditugaskan di Kulon Progo. Di daerah Kulon Progo sendiri banyak gangguan dari garong dan perampok yang merajalela saat berlangsungnya Revolusi Fisik, sehingga atas permintaan MUAPS cabang Kulonprogo pasukan bersenjata APS dari Yogyakarta di bawah pimpinan Harun Al-Rosyid dikirim untuk mengamankan wilayah tersebut.

Kekuatan ulama yang tergabung dalam badan perjuangan MUAPS di Gunung Kidul dipusatkan di Kecamatan Panggang dengan M. Hani bertindak sebagai imam, dibantu oleh Harun Al-Rosyid sebagai komandan dan Mawardi sebagai wakil komandan pertempuran. Mereka selanjutnya membagi kekuatan ke setiap kecamatan (kecuali Tepus dan Rongkop) untuk dilatih bergerilya dalam menghadapi tentara Belanda.

Dalam rangka menyerang Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan APS diatur sedemikian rupa untuk mengadakan persiapan dari arah selatan benteng dan tersebar ke dalam kota di bawah pimpinan Komandan TNI Kompi Komaruddin. Sebelumnya, pasukan bersenjata APS di daerah Bantul mengadakan konsolidasi di sekitar Sewon untuk menghambat masuknya pasukan Belanda yang datang dari Barongan, sedangkan pasukan bersenjata APS di daerah Sleman barat mengadakan rintangan di sepanjang Jalan Sudagaran dengan sasaran Stasiun Tugu dan Hotel Tugu di bawah pimpinan Arnis dan dikoordinasi oleh SWK 103. Pasukan bersenjata APS di bawah pimpinan Masyudi dan Badri juga mengadakan pertahanan di sekitar Jembatan Krasak untuk menghadang pasukan Belanda dari utara.

Pasukan bersenjata APS juga dipersiapkan untuk mengadakan rintangan di sepanjang Jalan Yogyakarta-Magelang. Selain itu, pasukan bersenjata APS yang berada di tiap sudut kota, baik yang berada di Kauman, Notoprajan, Suronatan, Lempuyangan, Mergangsan, Pakualaman, Karangkajen, dan tempat-tempat lainnya untuk siap menerima perintah dari TNI mengadakan serangan terhadap Belanda.

Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta, peranan MUAPS dan APS pasca Serangan Umum 1 Maret 1949 di bidang sosial keagamaan tetap berlangsung seperti semula, tetapi tak sedikit pula para anggota MUAPS dan APS yang melanjutkan karirnya dengan masuk ke dalam anggota TNI. Pada perkembangan selanjutnya, APS dan MUAPS sebagai wadah perjuangannya bubar dengan sendirinya tanpa ada upacara secara resmi. Mantan anggota APS lantas diakui sebagai veteran oleh pemerintah, sedangkan para anggota TNI kembali melanjutkan tugas kemiliterannya.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Koresponden, Non. Sani, Ahmad Faiz Ibnu, ed. "Askar Perang Sabil, Pasukan Pejuang Kemerdekaan Bentukan Muhammadiyah". Tempo.co. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  2. ^ "Askar Perang Sabil Bertempur di Palagan Bantul". Suara Muhammadiyah. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  3. ^ "Askar Perang Sabil: Kontribusi Nyata Muhammadiyah pada Masa Revolusi". Suara Aisyiyah. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  4. ^ "Kiprah Para Santri Muhammadiyah Menegakkan dan Mengawal Republik". Tirto. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  5. ^ "112 Tahun Muhammadiyah dan Pasang Surut Politik Kebangsaan". Republika. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  6. ^ "Menapaki Sejarah di Kampung Kauman". Iqra. Diakses tanggal 25 Mei 2022. 
  7. ^ "Setelah Merah Putih Berkibar: Saat Ibu Kota Negara Dipindah ke Yogyakarta". 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Arifin, MT (1990). Muhammadiyah: Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-602-6268-01-3. 
  • Armstrong, Karen (2000). The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. New York: Harper Collins. ISBN 978-000-2555-23-4. 
  • Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4. 
  • Hidayat, Irin, dkk (2013). Belajar dari Abah: Mengenang Seorang Bapak, Guru, Dai, dan Sejarawan Muslim Ahmad Adaby Darban. Yogyakarta: Pro-U Media. ISBN 978-602-7820-10-4. 

Buku lama

  • Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
  • Tashadi, dkk (2000). Keterlibatan Ulama di DIY pada Masa Perang Kemerdekaan Periode 1945–1949. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  • Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka. 

Jurnal

Pranala luar[sunting | sunting sumber]