Ali Mughayat Syah dari Aceh
Ali Mughayat Syah علي محياة شاه | |
---|---|
Sultan Aceh | |
![]() Ilustrasi sultan Ali Mughayat Syah | |
Sultan Kesultanan Aceh | |
Berkuasa | January 1495 – 6 Agustus 1530 |
Penobatan | 1496 |
Pendahulu | Jabatan dibentuk |
Penerus | Salahuddin |
Sultan Dinasti Meukuta Alam | |
Berkuasa | January 1495 – Agustus 1530 |
Pendahulu | Sultan Syamsu Syah |
Penerus | Salahuddin |
Kematian | 6 Agustus 1530 Banda Aceh |
Pemakaman | Banda Aceh |
Wangsa | Meukuta Alam |
Ayah | Sultan Syamsu Syah |
Agama | Islam |
Sultan 'Ali 'Alauddin Mughayat Syah (Jawoë: علي علاء الدين محياة شاه) adalah sultan ketiga dari dinasti Meukuta Alam, sekaligus pendiri dan sultan pertama Kesultanan Aceh Darussalam yang bertakhta dari tahun 1495 sampai meninggal tahun 1530. Ia memulai kampanye militer untuk menguasai bagian utara Sumatra pada 1520.
Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah barat laut yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya pasukan melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, maka didirikanlah banyak pelabuhan.[1][2]
Kehidupan Awal
[sunting | sunting sumber]Ali Mughayat Syah berasal dari dinasti Meukuta Alam, yang pendahulunya merupakan penguasa Kerajaan Lamuri. Sultan Muhammad Syah, buyut dari Ali Mughayat Syah merupakan sultan terakhir dari Kerajaan Lamuri, yang selanjutnya diteruskan kepada anaknya Sultan Munawwar Syah (kakek) sebagai penguasa pertama dinasti Meukuta Alam, dan dilanjutkan oleh Sultan Syamsu Syah, ayah Ali Mughayat Syah.
Setelah Sultan Syamsu Syah mangkat, Ali Mughayat Syah meneruskan tahta Meukuta Alam, dan berambisi melakukan penaklukan dan menyatukan seluruh wilayah Aceh. Usaha penyatuan inilah yang membuat Sultan Ali Mughayat Syah dikenal sebagai "sang pemersatu Aceh", dan pendiri sejati dari Kesultanan Aceh.
Kebangkitan Aceh
[sunting | sunting sumber]Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota Kesultanan Aceh berdiri sejak abad ke-16 Masehi dengan terlebih dahulu melalui prahara yang seperti yang diceritakan dalam Hikayat Aceh. Kesultanan Aceh mulai meluaskan pengaruhnya dengan mengalahkan terlebih dahulu bangsa Portugis, penguasa lautan abad ke-16 M.
Dalam ekspedisi Sumatra, Portugis diburu kemanapun ia bertapak. di Daya, Pedir, Samudera Pasai, Aru, hingga Malaka, bangsa Portugis dihentikan ambisinya oleh Kesultanan Aceh. Awal mula kebangkitan Kesultanan Aceh ini tidak lepas dari kepemimpinan Ali Mughayat Syah bersama saudaranya Sultan Ibrahim yang dikenal sebagai penghancur pasukan Portugis di Kesultanan Samudera Pasai tahun 1524 Masehi.
Dari kedua orang inilah Kesultanan Aceh membangun wilayahnya yang kurang lebih seperti luas Provinsi Aceh saat ini. Pada masa Sultan berikutnya, luas Aceh bertambah menjangkau wilayah pesisir Sumatra Barat dan Bengkulu hingga semenanjung Malaya. Pada masa awal Kesultanan Aceh didirikan, tidak banyak bukti benda yang bisa diidentifikasi saat ini. Tetapi, sejarah mencatat bahwa tinggalan terbaik dari Kesultanan Aceh era awal adalah kawasan permukiman bernama Achen yang ketika menjadi kerajaan menjelma menjadi pusat Kesultanan Aceh bernama Bandar Aceh Darussalam (saat ini dikenal dengan nama Kota Banda Aceh).
Warisan Budaya
[sunting | sunting sumber]Tinggalan warisan budaya lainnya adalah berbagai benda rampasan perang dari pasukan Kolonialis Portugis yang diperoleh melalui peperangan, seperti kekalahan pasukan Portugis yang dipimpin Gaspar De Costa (1519) di Kuala Aceh; kekalahan armada Portugis di perairan Aceh di pimpin Jorge de Brito (1521); kekalahan pasukan Portugis di Daya, Pedir dan Samudera Pasai. Benda rampasan ini seperti meriam, senapan, pedang,; ada juga struktur seperti benteng yang ada di sisi kanan Krueng Pasee; bahkan lonceng Cakra Donya yang saat ini ada di Museum Aceh adalah peninggalan rampasan perang era awal kebangkitan Kesultanan Aceh.[3]
Valentijn dalam catatannya menyebutkan bahwa, kekalahan Portugis itu memalukan sakali, karena Acah mendapat rampasan alat-alat perang Portugis, yang lebih memperkuat Aceh. C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530, Aceh sudah mendapat kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang sampai membuat sejarawan Portugis sendiri Fernao Loper da Castanheda membandingkan Sultan Aceh telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng Portugis di Malaka sandiri.[4]
Kemenangan yang diperoleh Ali Mughayat Syah dan saudaranya Raja Ibrahim, membuat Portugis angkat kaki dan menjauh dari daratan Aceh.[5]
Kemenangan dan Wafatnya
[sunting | sunting sumber]Sultan ‘Ali Mughayat Syah adalah pemimpin rakyat Aceh dan pelopor kebangkitan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia meninggal dunia pada malam Minggu 6 Agustus 1530 M/12 Dzulhijjah 936 H.[6]
Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukannya. Di Deli meliputi Pedir dan Pasai, pasukannya mampu mengusir garnisun Portugis dari daerah itu. Dalam penyerangan tahun 1524 terhadap Aru, tentaranya dapat dikalahkan oleh armada Portugis. Aksi militer ini ternyata juga mengancam Johor, selain Portugis sebagai kekuatan militer laut di kawasan itu. Setelah meninggal tahun 1530, ia digantikan oleh Sultan Salahuddin yang merupakan putranya sendiri.
Catatan luar
[sunting | sunting sumber]Sebuah catatan oleh seorang ulama besar dunia Islam dalam abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi) yaitu Syaikh Ahmad Zainuddin Asy-Syafi'i Al-Malibari (Al-Makhdum Ash-Shaghir) dari Kerala, murid Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dan pengarang Fathul Mu'in yang terkenal. Dalam karya sejarah berjudul Tuhfatul Mujahidin fi Ba'dhi Akhbar Al-Burtukaliyyin (Koleksi Tandon bagi Para Mujahidin tentang Berita Orang-orang Portugis), Syaikh Zainuddin Al-Malibari yang wafat 1579 menulis:
Dan mereka (orang-orang Potugis)-semoga Allah mengalahkan mereka-mendatangkan berbagai barang dari negeri-negeri yang jauh. Mereka menjadi ramai dan bertambah banyak di berbagai kawasan. Para penguasa berbagai pelabuhan menuruti kehendak mereka sehingga mereka sepenuhnya memegang tali kendali atas pelabuhan-pelabuhan tersebut. Pelayaran hanya dapat dilakukan dengan jaminan keamanan dari mereka. Perdagangan dan kapal-kapal mereka bertambah banyak, dan sebaliknya, perdagangan muslimin di luar kapal-kapal dan benteng-benteng yang mereka bangun semakin merosot. Tidak ada seorang pun yang dapat merebut kota-kota pelabuhan itu selain sultan yang mujahid, 'Ali Al-Asyi (dari Aceh), semoga Allah menerangi kuburnya. Dialah yang telah menaklukkan Sumatra dan menjadikannya sebagai negeri Islam, semoga Allah membalas kebaikannya kepada Muslimin dengan sebaik-baik balasan[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Network, AJNN net-Aceh Journal National. "Warisan Mashur Sultan Ali Mughayat Syah, Sang Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam". AJNN.net. Diakses tanggal 2019-11-11.
- ^ Kompasiana.com. "Karena Beliau, Kesultanan Aceh Mencapai Puncak Kejayaan". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2019-11-11.
- ^ "Sultan Ali Mughayat Syah". Diakses tanggal 2019-11-11.
- ^ Unknown (2015-04-21). "Rangkang Dalam Blang: Sultan Ali Mughayat Syah". Rangkang Dalam Blang. Diarsipkan dari asli tanggal 2019-11-11. Diakses tanggal 2019-11-11.
- ^ Ajidar Matsyah, Jatuh Bangun Kerajaan Islam di Aceh, Banda Aceh, 2013
- ^ "Sultan 'Ali Mughayat Syah". Diakses tanggal 2019-11-11.
- ^ "Sultan 'Ali Mughayat Syah". Diakses tanggal 2022-08-12.
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- Pada Tahun 1521, Kesultanan Aceh diserang oleh armada portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Britto. Akan tetapi serangan tersebut dapat dipatahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
- Pada Tahun 1530 Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh Darussalam di pimpin oleh putra sulunggnya, Sultan Salahuddin
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]Didahului oleh: - |
Sultan Aceh 1514—1530 |
Diteruskan oleh: Sultan Salahuddin |