Afasia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kelainan otak menimbulkan penyakit afasia.

Afasia adalah gangguan fungsi bicara pada seseorang akibat gangguan striktur bahasa di otak.[1] Orang yang menderita afasia tidak mampu mengerti maupun menggunakan bahasa lisan.[1] Penyakit afasia biasanya berkembang cepat sebagai akibat dari luka pada kepala atau strok, tetapi juga dapat berkembang secara lambat karena tumor otak, infeksi, atau demensia.[2] Evaluasi medis dari penyakit ini dapat dilaksanakan oleh ahli penyakit saraf atau ahli patologi bahasa.[3]

Afasiologi merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan Wernicke.[4]

Perihal bagaimana otak manusia menghasilkan dan memproses bahasa dikaji dalam neurolinguistik. Dalam hal ini yang perlu diangkat bukan hanya perbedaan pengaruh otak kanan dan otak kiri pada perilaku manusia, melainkan bagaimana secara anatomis hemisfer kanan dan kiri bekerja sama dalam mengolah informasi kebahasaan. Inilah yang menjadi fungsi utama corpus callosum yang menjadi panel penghubung kedua sisi hemisfer.[4][5]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Penyebab dari Afasia adalah kerusakan pada pusat bahasa otak di hemisfer otak besar.[6] Terutama pada area Broca dan Wernicke.[6] Kerusakan pada kedua area ini dapat menyebabkan penyakit stroke atau luka kepala, yang dapat menyebabkan afasia.[6] Area Broca ditemukan oleh Pierre Broca yang diketahui berpengaruh pada kemampuan mengerti bahasa, sedangkan area Wernicke ditemukan oleh Karl Wernicke yang diketahui berpengaruh pada kemampuan berbicara.[7]

Tipe dan gejala[sunting | sunting sumber]

  • Afasia pada bagian Broca akan menyebabkan kesulitan dalam mengekspresikan bahasa.[6] Berbicara masih bisa tetapi ritmenya hilang hanya beberapa kata yang diungkapkan berarti.[6]
  • Afasia pada bagian Wernicke akan menyebabkan kesulitan dalam mengarang.[6] Kemampuan berbicara sangat baik, tetapi isinya berantakan, dengan kekacauan diksi atau tata bahasa.[6]

Relasi antara bahasa dan otak[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya relasi antara bahasa dan otak ditengarai dari adanya kerusakan pada otak yang memengaruhi kemampuan berbahasa. Hal ini dikemukakan oleh Edwin Smith, ilmuwan Amerika, yang menemukan lembar papirus pada tahun 1862 yang menyebutkan adanya 48 kasus yang terjadi pada tahun 3000 SM. Kasus ke-22 menjelaskan tentang kerusakan otak akibat cedera kepala yang mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Inilah yang kemudian disebut afasia dan disatria, yaitu ketidakmampuan mengartikulasikan ucapan akibat gangguan neuromotorik organ wicara.[4][8]

Relasi bahasa dan otak diawali dengan temuan Sigmund Freud mengenai makna kata yang menyangkut hubungan spesifik modalitas ganda sehingga melibatkan wilayah bahasa yang luas di otak. Temuan tersebut ditindaklanjuti Karl Wenicke yang menyimpulkan bahwa pencitraan sensorik mengenai suatu kata muncul secara alamiah pada saat menghasilkan tutur yang juga melibatkan refleks auditori hingga refleks motorik. Argumen ini terus dikembangkan oleh linguis kontemporer terkait dengan keunikan susunan syaraf manusia pada wilayah kebahasaan yang tidak dapat ditemukan pada struktur otak spesies lain.

Menindaklanjuti pendapat Wernicke, Jackson mengembangkan konsep hierarki struktur syaraf kebahasaan dan menghubungkannya dengan ketidakmampuan menggunakan bahasa secara bermakna, sesuai, fleksibel, dan inovatif. Analisis lebih jauh mengenai permasalahan umum neuropsikologi bahasa juga dilakukan oleh A.R. Luria. Menurut temuannya, lesi pada wilayah kebahasaan di otak menyebabkan hilangnya aspek predikatif dan fungsi dinamis kata-kata.[4]

Argumen ini menggabungkan dua pemikiran di atas. N. Geschwind menyatakan bahwa penamaan objek berhubungan dengan kerja lobus parietal otak manusia. Pada spesies lain, asosiasi antara objek dan labelnya diolah dalam lobus limbik yang berfungsi utama pada pemenuhan kebutuhan fisik seperi lapar-haus. Adapun pada manusia, stimuli kortikal berasosiasi dengan auditori dan visual sehingga kemampuan linguistiknya sangat kompleks.[4]

Saat ini, relasi antara bahasa dan otak makin menguat dengan adanya temuan empirik mengenai hasil analisis penyakit pada otak. Hal ini juga menjelaskan gangguan bahasa yang muncul berdasarkan perbandingan antara ketidaknormalan struktur otak dan kesulitan berbahasa yang terjadi. Cedera pada otak berakibat fatal terhadap perkembangan dan kemampuan berbahasa. Adanya kelainan dalam sistem otak yang kompleks dipelajari dalam relasi neuropatologi dan gangguan komunikasi.[4]

Gleason & Ratner (1998) menjelaskan bahwa terdapat penyebab lesi pada otak yang tidak saja disebabkan trauma tetapi juga karena adanya penyakit cerebrovascular. Penyakit tersebut membunuh jaringan saraf dan memotong aliran darah ke otak yang sejatinya membutuhkan suplai glukosa dan oksigen. Penyakit lain seperti tumor dan hydrocephalus, menggerogoti jaringan syaraf sehingga fungsinya terganggu. Adapun multiple sclerosis mengikis lapisan myelin pada otak sehingga hubungan antarsyaraf terganggu.[4][8]

Riset[sunting | sunting sumber]

Beberapa riset mutakhir makin menguatkan asumsi relasi bahasa dan otak. Salah satunya yaitu kajian mendalam yang dilakukan oleh Herbert dkk. (2002). Ditemukan ketidaknormalan ukuran asimetri korteks otak yang berperan dalam pemrosesan bahasa pada penyandang autisme. Penelitian tersebut membandingkan antara belahan otak atau hemisfer pada 16 remaja pria autisme non-verbal dibandingkan remaja pria normal. Autisme, yang lebih banyak disandang anak laki-laki, memengaruhi fungsi kognisi, bahasa dan sosial anak, yang dicurigai berpangkal dari ketidaknormalan pola struktur otak. Dengan berakhirnya proses lateralisasi otak pada masa remaja, terjadi asimetri ukuran otak yang berakibat pada dominasi fungsi hemisfer utamanya yang terkait dengan fungsi kebahasaan.[4]

Terjadi kebalikan asimetri antara hemisfer kanan dan kiri pada area Broca. Pada remaja autis area frontal hemisfer kanan lebih besar 27%, sedangkan pada remaja normal area frontal hemisfer kiri justru lebih besar 17%. Adapun pada area Wernicke juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada remaja autis area posterior hemisfer kanan lebih besar 39%, sedangkan pada remaja normal area tersebut hanya lebih besar 2%. Perbedaan volume otak juga memengaruhi sirkulasi darah pada serebral terkait dan berimbas pada mekanisme koordinasi stimuli kebahasaan.[4]

Ketidaknormalan struktur dan volume hemisfer berakibat pada gangguan berbahasa dan berkomunikasi yang menjadi hambatan utama penyandang autisme dan Specific Language Impairment. Bahkan pada individu dewasa penyandang Asperger Syndrome yang termasuk high functioning autism, hal ini berimbas pada kemampuan sosialnya.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004. Bekasi: Delta Pamungkas. ISBN 979-9327-00-8. Hal.119.
  2. ^ "Aphasia". MedicineNet.com. Diakses tanggal 2011-05-23. 
  3. ^ http://www.medicinet.com
  4. ^ a b c d e f g h i j Indah, Rohmati Nur (2017). Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar (PDF). Malang: UIN-Maliki Press. 
  5. ^ Schovel, Thomas (2004). Psycholinguistics: Oxford Introductions to Language Study. Oxford: Oxford University Press.  line feed character di |title= pada posisi 40 (bantuan)
  6. ^ a b c d e f g (Inggris) Peters M. A-Z Family Medical Encyclopedia. British Medical Association.
  7. ^ (Inggris) Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB. 2011. Campbell Biology. Ed ke-9. New York: Pearson.
  8. ^ a b Gleason, Jean Berko; Ratner, Nan Bernstein (1998). Psycholinguistics (dalam bahasa Inggris). Harcourt Brace College Publishers. ISBN 978-0-15-504106-6.