Tuan Direktur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 April 2013 10.36 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q777305)
Tuan Direktur
Sampul depan cetakan ke-4
PengarangHamka
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel
PenerbitBalai Pustaka
Tanggal terbit
1939
Jenis mediaCetak (kulit keras & lunak)
Halaman117

Tuan Direktur adalah sebuah novel Indonesia terbitan tahun 1939 yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan nama pena Hamka. Novel yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat ini bercerita tentang seorang laki-laki asal Banjarmasin yang pindah ke Surabaya, lalu menjadi kaya tetapi akhirnya mengalami depresi karena tidak senang melihat rekannya, Jasin dan Fauzi, hidup bahagia. Novel ini dipandang sebagai kritik atas materialisme, kecongkakan, dan takhayul.

Plot

Tuan Direktur menggunakan alur maju yang ceritanya terbagi dalam dua belas bab.[1] Novel ini bercerita tentang Jazuli yang meninggalkan kampung halamannya di Banjarmasin lalu bekerja sebagai pedagang emas di Surabaya. Namun, setelah menjadi kaya, ia yang semula taat kepada agama dan rendah hati berubah menjadi congkak dan materialistis. Ia terkenal dengan ketakaburan dan kesombongannya, bahkan ia menyebut dirinya sebagai "Tuan Direktur". Oleh karena itu, Jasin menolak tanahnya dibeli oleh Jazuli untuk membangun pabrik. Namun, kepercayaan Jazuli terhadap petunjuk makhluk halus dimanfaatkan oleh Kadri sehingga banyak pegawai Jazuli, yang menurut penilaian Kadri akan menghalangi ambisinya, dipecat tanpa suatu sebab, termasuk Fauzi.

Melihat Fauzi sukses dengan usahanya sendiri atas bantuan Jasin, Kadri berusaha menjatuhkan Jasin. Kadri melaporkan Jasin kepada polisi dan menuduh Jasin mengadakan rapat rahasia di rumahnya. Polisi mempercayai laporan Kadri, dan seisi rumah langsung ditangkap, termasuk Jazuli yang ketika itu juga berada di dalam rumah. Meskipun selama dua hari ditahan Jazuli selalu mendapat nasihat dari Jazsin, Jazuli tetap tidak senang melihat Jasin dan Fauzi hidup bahagia. Ia mengalami depresi dan akhirnya jatuh sakit.

Penulisan

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan nama pena Hamka, merupakan Muslim kelahiran Minangkabau yang taat menjalankan agama dan memandang tradisi lokal sebagai penyebab kemunduran—sebagaimana pandangan ayahnya.[2] Setelah menjadi seorang sarjana Islam, ia sering berkunjung ke berbagai tempat, termasuk Jawa.[3] Tuan Direktur reflected Hamka's Islamic worldview[4] and was likely derived in part from his experiences while travelling.[5]

Sewaktu novel Tuan Direktur ditulis, Surabaya salah satu kota kaya di Hindia Belanda, serving as both a port into the colony and as a stopping point for trade traffic headed to Australia. The city's wealth was decisively contrasted with the fate of the lower classes, who were not benefited by this trade. Writing for the Indonesian Department of Education and Culture, Putri Minerva Mutiara, Erli Yetti, and Veni Mulyani wrote that this may have influenced Hamka to set his story in the city.[5]

Tema

Mutiara, Yetti, dan Mulyani berpendapat bahwa Tuan Direktur membandingkan Jazuli yang sombong, yang menjadi si "Tuan Direktur" dari judul novel, dengan Jasin yang rendah hati. Jasin lebih banyak beribadah saat ia menjadi kaya, dan ia juga sanggup membantu orang lain menjadi pengusaha. Menurut ketiga penulis di atas, harta yang diraih Jasin justru membawanya lebih dekat dengan Allah. Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa amanat novel adalah bahwa orang yang sombong akan sengsara, tetapi orang yang rendah hati dan rajin beribadah akan menemukan kebahagiaan.[6]

Abdul Rahman Abdul Aziz, yang menulis tentang pandangan Islam Hamka pada tahun 2009, mencatat sejumlah ajaran Islam yang dituangkan dalam Tuan Direktur. Ia menulis bahwa novel ini mencerminkan nilai Islam tentang kesederhanaan sebagai cara menghindari nafsu akan benda,[7] dan biarpun bekerja keras itu memang perlu, manusia tidak boleh mengutamakan pencarian harta.[8] Aziz, setelah mengutip bagian cerita ketika Jasin menyuruh orang lain menjual satu baju yang mahal lalu membeli beberapa baju yang lebih murah untuk orang-orang yang tidak mampu, juga berpendapat bahwa ada konsep persaudaraan dalam novel ini; manusia dimaksud untuk bekerja sama dalam menghadapi kesulitan, bukan mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Demikian pula, harta selayaknya tidak dinilai lebih penting daripada teman dan kenalan.[9] Suatu poin terakhir, Aziz menjelaskan bahwa novel ini menyampaikan pesan agar orang modern jangan percaya pada takhyul.[10]

Rilis

Tuan Direktur pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam majalah yang dipimpin oleh Hamka, Pedoman Masjarakat[11][12] sebelum akhirnya diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia-Belanda, pada tahun 1939. Sampai tahun 1998, novel ini telah mengalami empat kali cetakan dalam bahasa Indonesia dan Malaysia.[13]

Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda, A. Teeuw menulis, Tuan Direktur sebagai karya yang menarik, tetapi Hamka tidak dapat dianggap sebagai penulis yang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.[14]

Catatan kaki

  1. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 172.
  2. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  3. ^ Siregar 1964, hlm. 60–61.
  4. ^ Aziz 2009, hlm. 123.
  5. ^ a b Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 164.
  6. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 173–174.
  7. ^ Aziz 2009, hlm. 130.
  8. ^ Aziz 2009, hlm. 132.
  9. ^ Aziz 2009, hlm. 134.
  10. ^ Aziz 2009, hlm. 143.
  11. ^ Oshikawa 1990, hlm. 19.
  12. ^ Siregar 1964, hlm. 124.
  13. ^ Mutiara, Yetti & Mulyani 1998, hlm. 162.
  14. ^ Teeuw 1980, hlm. 107.

Daftar pustaka

  • Aziz, Abdul Rahman Abdul (2009). "Nilai Mencapai Kehidupan Sejahtera: Pandangan Hamka". Malim (dalam bahasa Malay). Kuala Lumpur (10): 123–144. 
  • Mutiara, Putri Minerva; Yetti, Erli; Mulyani, Veni (1998). Analisis Struktur Novel Indonesia Modern, 1930-1939 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Department of Education and Culture. ISBN 978-979-459-900-6. 
  • Oshikawa, Noriaki (1990). "Patjar Merah Indonesia and Tan Malaka: A Popular Novel and a Revolutionary Legend". Reading Southeast Asia: Translation of Contemporary Japanese Scholarship on Southeast Asia. Ithaca: Cornell University Press. hlm. 9–41. ISBN 9780877274001. 
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626. 
  • Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801.