Psikologi siber

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Psikologi siber adalah kajian tentang perilaku manusia pada saat menggunakan komputer.[1] Psikologi siber merupakan cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan teknologi, bagaimana perilaku manusia yang dipengaruhi oleh teknologi, bagaimana teknologi dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pelantar/platform teknologi yang dipakai atau dikembangkan dapat berupa situs web atau laman web di internet, kanal-kanal media sosial, teknologi permainan, kecerdasan buatan, realitas maya, atau aplikasi pada ponsel cerdas.[2]

Cakupan[sunting | sunting sumber]

Psikologi merupakan topik yang sangat luas, namun secara umum ada tiga aspek yang meliputi psikologi siber. Pertama, interaksi antara individu yang satu dengan individu lainnya menggunakan media teknologi. Kedua, pengembangan teknologi yang diciptakan manusia sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Ketiga, mempelajari tingkah laku manusia dan kondisi psikologisnya yang dipengaruhi oleh penggunaan media teknologi.[3]

Studi tentang psikologi siber mencakup seluruh perilaku dan pemikiran manusia pada saat mengoperasikan komputer seperti persepsi dan sensasi yang diterima pada saat manusia berhadapan dengan komputer, motivasi yang dimiliki manusia untuk mempelajari program komputer maupun untuk menekuni bahasa komputer, proses berpikir dan memecahkan masalah pada saat kesulitan mengoperasikan komputer dan memahami bahasa komputer.[4]

Sistem komputer dirancang sedemikian rupa agar dapat bekerja secara otomatis dan mudah untuk digunakan. Konsep seperti ini dipakai dalam mengembangkan realitas maya maupun kecerdasan buatan.[5]

Dimensi[sunting | sunting sumber]

Ada delapan dimensi psikologi siber yaitu identitas, sosial, interaktif, teks, sensori, realitas, temporal, dan dimensi fisik. Dimensi identitas adalah cara manusia menampilkan dirinya di dunia maya, sementara itu dimensi sosial adalah hubungan yang terjalin antara individu dengan kelompoknya. Dimensi interaktif adalah bagaimana seseorang memahami, menavigasi, mengendalikan lingkungan digitalnya dalam konteks interaksi manusia dengan komputer. Dimensi teks meliputi seluruh komunikasi berbasis tulisan serta dampak psikologis dari komunikasi tersebut. Dimensi sensori mencakup rangsangan audio serta visual. Dimensi temporal merupakan penjelajahan manusia atas waktu menggunakan media teknologi. Dimensi realitas adalah pengalaman di dunia maya yang berpengaruh terhadap pengalaman di kehidupan nyata. Dimensi fisik melibatkan pergerakan tubuh manusia beserta sensasi yang didapatkannya.[6]

Perilaku manusia di ruang siber[sunting | sunting sumber]

Ruang siber menyediakan berbagai peluang untuk terhubung dalam interaksi sosial dengan banyak orang dari berbagai kota dan negara, dan dengan beragam tujuan yang ingin dicapai dengan adanya interaksi tersebut.[7]

Tidak seperti komunikasi daring yang lain, percakapan melalui video hampir tidak ada bedanya dengan komunikasi tatap muka. Bagi beberapa orang, mereka cenderung lebih nyaman ketika bercakap-cakap menggunakan video dengan keluarga atau teman dekat daripada di hadapan banyak orang yang tidak mereka kenal.[8]

Aktivitas di media sosial[sunting | sunting sumber]

Saat sedang berada di dunia maya, mungkin seseorang terkesan percaya diri, berani mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dalam psikologi siber, perilaku yang berani ini dikenal sebagai efek tidak adanya larangan di dunia maya, istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh John Suler, dan sekarang sudah diterima di dunia akademis.[9]

Segala upaya yang dilakukan untuk membuat orang terkesan di dunia maya membutuhkan tingkat kesadaran diri yang tinggi dan kemampuan untuk melihat diri melalui mata dan pikiran orang lain. Ada beberapa perbedaan antara kesadaran diri di ranah publik (hal-hal apa saja yang perlu disiapkan untuk merespon reaksi dari orang lain), kesadaran diri di ranah pribadi (hal-hal apa saja yang tidak seharusnya diumbar di dunia maya). Menjelaskan perbedaan tersebut akan menimbulkan konflik diantara dua hal: bagaimana menampilkan diri di hadapan orang lain dalam dunia maya dan beberapa hambatan yang ada karena tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan diri. Higgins menawarkan teori tentang cara individu menampilkan diri di dunia digital. Pertama adalah diri sendiri apa adanya, dengan kata lain merupakan atribut dan kemampuan seperti tingkat kecerdasan, kompetensi sosial, daya tarik, dan sebagainya. Kedua adalah gambaran diri dalam kondisi yang ideal. Hal ini mengacu kepada atribut dan kemampuan yang diharapkan ada pada diri sendiri maupun orang lain seperti keinginan, cita-cita, harapan, serta aspirasi. Ketiga adalah atribut dan kemampuan yang semestinya dimiliki seseorang seperti kewajiban, tugas, dan tanggungjawab. Akan ada konflik yang dirasakan seseorang berupa kekacauan atau kelabilan emosional pada saat dirinya ingin menampilkan diri dalam dua cara yang bertentangan, misalnya kewajiban yang diemban seseorang membuat dia kehilangan kebebasannya, sementara kebebasan itu sendiri merupakan hal yang diinginkan dalam hidupnya.[10]

Ada dua taktik yang digunakan ketika seseorang menampilkan dirinya di dunia maya yaitu menampilkan diri secara defensif dan menampilkan diri secara asertif. Taktik defensif dipakai untuk memperbaiki atau memulihkan nama baik, contohnya membuat alasan untuk menghindar dari tanggungjawab atas kejadian yang tidak diinginkan, meminta maaf yang disertai dengan pertanggungjawaban atas kejadian yang tidak diharapkan, bertanggungjawab atas suatu kejadian namun tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Sementara itu, taktik asertif dipakai ketika seseorang bersikap proaktif untuk menarik perhatian, contohnya dengan cara memperoleh simpati orang lain, mengancam seseorang agar takut dan melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan, menampilkan diri seolah tidak berdaya agar orang rela memberi bantuan.[11]

Ada tiga hal yang bertentangan mengenai sifat-sifat hubungan sosial yang terjalin di dunia digital. Pertama, dunia digital memungkinkan seseorang untuk menggunakan jaringan sosialnya untuk mengubah identitas sosial atau bahkan jatidirnya agar dapat diterima oleh anggota kelompoknya. Kedua, dunia digital menjadi sarana penjenamaan diri yang mana seseorang membangun reputasinya dahulu di dunia digital lalu disesuaikan dengan identitas di dunia nyata. Ketiga, dalam jaringan sosial di dunia maya, tidak ada perbedaan antara teman dekat, sahabat, atau teman yang tidak terlalu akrab. Di satu sisi, seseorang tidak punya ikatan yang kuat dengan teman-temannya sementara di sisi lain seseorang bisa memiliki jaringan sosial yang begitu luas yang bukan dibangun berdasarkan ikatan pertemanan.[12]

Interaksi manusia dengan komputer[sunting | sunting sumber]

Ilmu komputer secara umum membahas teori tentang komputer, rancang bangun komputer, pengembangan program komputer dan sistem operasi, serta aplikasinya yang berupa perangkat lunak yang dapat diterapkan dalam dunia bisnis, pemerintahan, pendidikan, serta untuk penggunaan pribadi. Namun demikian, sebaiknya ilmu komputer juga mempelajari mengenai interaksi antara sistem komputer dengan pengguna komputer. Ahli komputer harus bisa bertindak seperti seorang psikolog dengan memahami apa yang orang lain pikirkan ketika berhadapan dengan komputer, oleh sebab itu sebaiknya dikembangkan sistem dengan tampilan antar-muka yang ramah pengguna.[13]

Hal yang menarik dari psikologi siber adalah bagaimana perilaku manusia ketika berinteraksi dengan mesin atau aplikasi kecerdasan buatan. Aplikasi kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan sebagai mesin penjawab otomatis yang dipakai untuk melayani banyak konsumen, bahkan seolah-olah mesin atau robot tersebut dirancang sedemikian rupa seolah-olah dapat memahami manusia seperti seorang pelayan.[14]

Sistem komputer merupakan benda mati sehingga tidak bisa memahami perilaku manusia yang memakai komputer. Dengan demikian, seorang perancang sistem dan pengembang sistem mesti membuat komputer seolah-olah dapat memahami kepentingan manusia saat memakai komputer. Ilmu tentang semiotika diterapkan dalam memahami hal ini untuk membuat konsep tentang model, metode, serta alat-alat yang dipakai agar sistem mampu memahami manusia melalui tampilan antar-muka yang ramah pengguna.[15]

Perkembangan web[sunting | sunting sumber]

Pada saat web baru mulai dikembangkan, internet diakses oleh pengunanya melalui komputer yang diletakkan di atas meja, tidak seperti komputer masa kini yang dapat dibawa kemanapun. Selain itu, para pengguna mengoperasikan komputer dengan mengetik perintah yang berbasis teks serta dengan bahasa pemrograman komputer yang cukup rumit. Seiring dengan perkembangan jaman, maka internet dapat diakses dari manapun melalui ponsel. Informasi yang didapat bukan hanya berupa teks, tetapi juga berupa foto, video, maupun audio. Selain itu, permainan-permainan virtual yang pada mulanya hanya dapat diakses melalui komputer, sekarang ini sudah dapat dimainkan dengan menggunakan komputer tablet, ponsel, jam tangan pintar. Lama kelamaan, internet sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia.[16]

Kejahatan siber[sunting | sunting sumber]

Kejahatan siber merupakan suatu tindakan merusak yang dilakukan secara sengaja dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan komunikasi jarak jauh yang bertujuan untuk memanipulasi atau mensabotase data-data yang tersimpan, serta informasi penting yang terdapat pada jaringan sosial dan sistem.[17] Kejahatan siber meliputi peretasan, pembajakan, pencurian, pornografi, dan perilaku kekerasan di dunia digital. Kejahatan siber yang dilakukan di dunia maya tetap terkait dengan dunia nyata.[18]

Selain kejahatan siber, ada pula penyalahgunaan atau lebih tepatnya adalah penyimpangan siber. Contoh dari kasus penyimpangan siber adalah merekam film yang diputar di bioskop, membuat konten pornografi lalu menyebarluaskannya menggunakan berbagai media yang ada.[19] Dampak negatif dari kejahatan siber dapat dicegah dengan merancang program edukasi berupa literasi digital untuk membantu para pengguna internet dari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kebocoran privasi pengguna internet.[20] Di samping itu, perlu dilakukan proteksi ganda pada gawai dengan melindungi perangkat keras terlebih dahulu dari berbagai macam gangguan, setelah itu, perangkat lunak dilindungi dari serangan-serangan siber yang dapat merugikan pengguna.[21]

Peretasan[sunting | sunting sumber]

Aktivitas peretasan komputer dapat merusak beberapa sistem dengan tujuan untuk mendapatkan akses atas informasi yang sensitif dan penting. Beberapa perangkat lunak yang bersifat merusak dapat mengunakan media internet sehingga dokumen-dokumen yang diunggah terinfeksi virus komputer. Beberapa hal berbahaya yang harus diperhatikan dari kejahatan siber ini adalah pencurian data nasabah seperti informasi kartu kredit maupun kartu debit yang tersimpan dalam server yang dimiliki lembaga keuangan, dan juga data pelanggan yang dimiliki oleh para pengusaha daring yang bisa diakses oleh pihak-pihak lain.[22]

Belanja daring[sunting | sunting sumber]

Hal lain yang juga tak kalah pentingnya dari perkembangan internet adalah kecenderungan untuk belanja daring. Kepercayaan merupakan salah satu kunci untuk memahami perilaku konsumen di dunia daring, dan yang harus diperhatikan adalah ketika kehilangan kepercayaan dari para pembeli.[23]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Krantz, John H (2019). Cyberpsychology Research Methods, dalam Alison Attrill-Smith (ed) The Oxford Handbook of Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 3. ISBN 978-0-19-881274-6. 
  2. ^ Kirwan, Grainne (2016). Introduction to cyberpsychology di dalam Irene Connolly (ed) An Introduction to Cyberpsychology. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 3. ISBN 978-1-315-74189-5. 
  3. ^ Kirwan, Graine (2016). Introduction to cyberpsychology, dalam Irene Connolly (ed) An Introduction to Cyberpsychology. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 4–5. ISBN 978-1-315-74189-5. 
  4. ^ Norman, Kent L (2017). Cyberpsychology. Cambridge University Press. hlm. 8. ISBN 978-1-107-50055-6. 
  5. ^ Kirwan, Graine (2014). What is cyberpsychology, dalam Andrew Power (ed) Cyberpsychology and New Media. London and New York: Psychology Press Taylor and Francis Group. hlm. 3–4. ISBN 978-0-20379-661-0. 
  6. ^ Sartonen, Miika (2020). Cyber personalities in adaptive target audiences, dalam V. Benson (ed) Emerging Cyber Threats and Cognitive Vulnerability. Academic Press. hlm. 182. ISBN 978-0-12-816203-3. 
  7. ^ Suler, John (2016). Psychology of the Digital Age. Cambridge University Press. hlm. 4. ISBN 978-1-107-56994-2. 
  8. ^ Attrill-Smith, Alison (2019). The Oxford Handbook of Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-19-881274-6. 
  9. ^ Aiken, Mary (2016). The Cyber Effect. New York: Random House Publishing Group. hlm. 22. ISBN 9780812997866. 
  10. ^ Fullwood, Chris (2015). The Role of Personality in Online Self-presentation, dalam Alison Attrill (ed) Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 12. ISBN 978-0-19-871258-9. 
  11. ^ Fullwood, Chris (2015). The Role of Personality in Online Self-presentation, dalam Alison Attrill (ed) Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 13. ISBN 978-0-19-871258-9. 
  12. ^ Riva, Giuseppe (2016). The Psychology of Social Networking (PDF). De Gruyter. hlm. 10. ISBN 978-3-11-047378-0. 
  13. ^ Norman, Kent L (2017). Cyberpsychology. cambridge University Press. hlm. 7–8. ISBN 978-1-107-50055-6. 
  14. ^ Kirwan, Graine (2016). Introduction to cyberpsychology, dalam Irene Connolly (ed) An Introduction to Cyberpsychology. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 8. ISBN 978-1-315-74189-5. 
  15. ^ de Souza, Clarisse Sieckenius (2018). Semiotics and Human-Computer Interaction, dalam K.L. Norman (ed) The Wiley Handbook of Human Computer Interaction (PDF). Wiley Blackwell. hlm. 39. ISBN 9781118977279. 
  16. ^ Harley, Dave (2018). Cyberpsychology as Everyday Digital Experience Across the Lifespan. London: Macmillan Publishers, Ltd. hlm. 1–2. ISBN 978-1-137-59199-9. 
  17. ^ Macaulay, Peter J.R (2020). Factors leading to cyber victimization, dalam Vladlena Benson (ed) Emerging Cyber Threats and Cognitive Vulnerability. Acaemic Press. hlm. 3. ISBN 978-0-12-816203-3. 
  18. ^ Holt, Thomas J (2015). Cybercrime and Deviance, dalam Alison Attrill (ed) Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 127. ISBN 978-0-19-871258-9. 
  19. ^ Holt, Thomas J (2015). Cybercrime and Deviance, dalam Alison Attrill (ed) Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 129. ISBN 978-0-19-871258-9. 
  20. ^ Kirwan, Graine (2016). Introcduction to cyberpsychology, dalam Irene Connolly (ed) An Introduction to Cyberpsychology. London and New York: Routledge Taylor and Francis Gropu. hlm. 7. ISBN 978-1-315-74189-5. 
  21. ^ Baazeem, Rami (2020). The relationship between user religiosity and preserved privacy in the context of socal media and cybersecurity, dalam V. Benson (ed) Emerging Cyber Threats and Cognitive Vulnerability. Academic Press. hlm. 100. ISBN 978-0-12-816203-3. 
  22. ^ Holt, Thomas J (2015). Cybercrime and Deviance, dalam Alison Attrill (ed) Cyberpsychology. Oxford University Press. hlm. 128. ISBN 978-0-19-871258-9. 
  23. ^ Kirwan, Graine (2016). Introduction to cyberpsychology, dalam Irene Connolly (ed) An Introduction to Cyberpsychology. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 6. ISBN 978-1-315-74189-5.