Proletariat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Proletariat (dari Bahasa Latin: proles) adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan kelas sosial rendah; anggota kelas tersebut disebut proletarian. Awalnya istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan orang tanpa kekayaan; istilah ini biasanya digunakan untuk menghina atau merendahkan. Di era Roma Kuno penamaan ini memang sudah ada dan bukan hanya orang tanpa kekayaan saja, melainkan juga kelas terbawah masyarakat tersebut. Hal ini terjadi sampai Karl Marx mengubahnya menjadi istilah sosiologi yang merujuk pada kelas pekerja.

Pengertian Proletar[sunting | sunting sumber]

Istilah proletar dalam ilmu sosiologi sebenarnya bukan barang baru lagi saat Karl Marx pertama kali merujuknya sebagai salah satu kelas proletar. Kelas ini sebenarnya sudah banyak muncul sebagai sebuah rujukan kelas dengan nama-nama yang berbeda. Dalam artian Karl Marx, proletar adalah masyarakat kelas kedua setelah kelas kapitalis yang hidup dari gaji hasil kerjanya. Banyak stereotip yang memandang bahwa proletar hanya terbatas sebagai masyarakat kelas rendah. Pekerjaan mereka tak lepas dari buruh, petani, nelayan atau orang-orang yang berkutat dengan pekerjaan tangan - baca pekerjaan kasar-.

Ada beberapa contoh kaum proletar di Dunia. Di masyarakat Eropa, khususnya saat sebelum Revolusi Prancis terjadi, proletar dapat diartikan peasant. Dimana waktu itu jumlah masyarakat ini mendominasi Prancis, tetapi tidak memiliki kekuatan. Kekuatan dibawa oleh kaum Bangsawan yang biasanya juga dianggap sebagai masyarakat pemerintah dan pemegang kapital bersama kaum Pendeta. Di India masyarakat dibatasi dengan adanya kasta yang dilegalisasi oleh agama mereka. Kaum proletar disana dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kaum sudra yang merupakan kelas orang-orang pekerja dan pelayan. Kedua adalah Dalit sebenarnya kelas ini adalah kelas terbuang dari kelas-kelas sebelumnya bahkan bisa dibilang kelas ini merupakan kelompok masyarakat yang tidak diakui dalam kasta. Pekerjaan kaum pariah adalah yang paling memilukan dari segala pekerjaan yang diemban oleh kelas lainya, karena tugas mereka adalah tugas-tugas yang dianggap tidak layak untuk dilakukan. Di Indonesia, terutama di Jawa era kolonial, masyarakat proletar dipegang oleh penduduk asli pulau Jawa. Mereka adalah orang yang paling tereksploitasi dalam era-era kolonial Hindia Belanda. Menurut peraturan yang dibuat pemerintah kolonial, mereka benar-benar dikurangi haknya sampai batas minimal.

Pemikir Barat[sunting | sunting sumber]

Pandangan Karl Marx[sunting | sunting sumber]

Dalam pemikiran Karl Marx, ini adalah kelas kedua dalam stratifikasi sosial yang ia ciptakan. Proletar adalah kelas yang menerima gaji oleh kelas pertama yaitu kelas majikan. Mereka bekerja guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedang kelas majikan bekerja dengan mencari untung atau laba. Kelas Proletar sering menjadi target eksploitasi para majikan yang berorientasi kapitalis ini. Untuk itu mereka sering diperas tenaganya dan diberikan gaji yang rendah guna kepentingan meraup laba sebesar-besarnya. Para proletar ingin hidup dengan tenang, maka dia yang hidup untuk bekerja akan mengalami alienasi atau keterasingan. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri sehingga menumpang pada para pemodal untuk menciptakan barang dengan nilai lebih. Nilai lebih ini tercipta dari rumusan nilai barang dikurangi nilai seluruh hasil produksi dan menciptakan untung.

Oleh karena itu, proletar yang kehilangan kebebasannya akan memprotes tirani kapitalis tersebut dengan demonstrasi dan hal-hal lain yang diperlukan. Namun para kapitalis tersebut akan menolaknya. Mereka dipihak pemerintah karena merekalah yang memberi kekayaan negara, terutama di negara-negara berideologi liberalisme. Jika pemerintah tidak mengimbangi hak-hak kaum proletar dan mengejar untung dari para majikan tersebut, sebuah gerakan anarkisme pun terjadi dan mungkin akan menciptakan revolusi. Pasca revolusi maka terciptalah perubahan dari kapitalisme yang mencekik menjadi negara sosialis yang mendukung rakyat atau kaum proletar.

Pandangan Arnold J. Toynbee[sunting | sunting sumber]

Arnold J. Toynbee menggunakan dua terminologi dalam kata proletariat yakni "internal protelariat" dan "external protelatriat" dalam karyanya "A Study of History" guna menggambarkan kelompok yang ada di dalam dan di luar suatu negeri yang ada dalam konflik tertentu.

Pendapat Proletariat Di Masyarakat Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di kalangan masyarakat Indonesia, pendapat tentang proletar lahir di dalam perkembangan sosialisme pada era politik etis. Banyak pendapat tentang proletar di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam pendapat-pendapat itu, ada yang mengikuti pendapat Marxisme, adapula yang dipengaruhi paham-paham lainya seperti Pan Islamisme. Pengikut pendapat Marxis adalah mereka yang masuk ke dalam tubuh Partai Komunis Indonesia atau PKI. Dan mereka yang tidak mengikutinya bisa dibilang dari anggota paham lainya, seperti contohnya islam atau nasionalisme. Di antara mereka ialah Soekarno, Tan Malaka, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Semaoen.

Soekarno[sunting | sunting sumber]

Soekarno adalah presiden Indonesia pertama kali, sekaligus salah satu dari pendiri negara Indonesia. Soekarno adalah seorang presiden yang berhaluan kiri namun tak takluk pada komunisme internasional. Prinsipnya tentang proletar berbeda dengan Marxisme. Pemikirannya dinamakan Marhaenisme. Konon ini dimulai saat perjalanannya di Bogor ketika dia masih muda. Soekarno bertemu seorang petani bernama Pak Marhaen dan berbincang dengannya. Dari sinilah ia memberikan nama idenya sesuai dengan petani yang ia temui tersebut. Dasar proletariat dalam Marhaenisme adalah seseorang yang memiliki peralatan kerja dan bisa menggunakannya sesuai dengan keiinginannya sendiri. Dia dapat melakukan apa yang dia inginkan dalam bekerja dan menikmati seperti apa yang ia mau dengan hasil yang dia dapatkan. Namun kenapa kemiskinan yang mereka dapatkan? Jawabannya adalah sistem yang membuat kemiskinan di tubuh mereka. Sistem tersebut baik berasal dari pemerintahan seperti kolonialisme atau konsep adat seperti feodalisme. Hal ini berbeda dengan Marx yang beranggapan bahwa proletar adalah orang yang seolah direbut alatnya oleh kapitalis dan diharuskan bekerja sebagai orang yang digaji. Memang dalam perjalanannya, Marhaenisme tidak mau disamakan dengan Marxisme karena dalam konsep mereka merasa berbeda.

H.O.S. Tjokroaminoto[sunting | sunting sumber]

H.O.S. Tjokroaminoto adalah tokoh pergerakan Indonesia di bawah bendera Sarekat Islam. Pemikirannya mungkin lahir dari gabungan antara banjirnya pemikiran sosialisme Marxisme baik di Indonesia maupun Internasional dan bangkitnya gerakan pembaharuan islam atau yang biasa disebut dengan Pan Islamisme.

Bagi Tjokroaminoto dan beberapa pengikut Sarekat Islam, sosialisme yang terbenar adalah sosialisme yang berjalan dan menganut agama Islam. Mereka percaya bahwa gerakan awal Islam yang dimulai dari Nabi Muhammad dan Khalifah Rasyidin adalah sebuah zaman emas terbesar dalam sejarah islam terbesar di keseluruhan zaman Islam. Berbeda dengan Marxisme yang berpikir bahwa Kapitalis selalu menginjak-injak harga diri kaum proletar, Islam memberi suatu rangka peraturan kewajiban dan hak antara keduanya. Keadilan, saling memberi dan saling memahami menjadi bagian yang wajib mereka lakukan. Kaum pemodal tak bisa seenaknya mengatur buruhnya, dan buruh tak bisa menolak apa yang menjadi kewajibannya. Hubungan timbal balik ini diatur dalam Al Qur'an, kitab suci kaum muslimin.

Pandangan Kaum Komunis Indonesia[sunting | sunting sumber]

Berawal dari ISDV, lalu ke SI Semarang dan kemudian ke Partai Komunisme India atau Partai Komunis Indonesia (PKI), pandangan kaum komunis di Indonesia cukup beragam dalam menghadapi apa arti dari proletariat. Setidaknya hal ini terjadi karena akar yang kuat dan sulit untuk di patahkan dari adat dan agama Islam di setiap insan orang Indonesia yang beraliran komunis. Ada beberapa tokoh yang berpengaruh dalam PKI, antara lain Tan Malaka dan Semaoen pada era awal PKI, Muso pada zaman Revolusi Indonesia, dan D.N. Aidit pada era pasca perang kemerdekaan. Dari tokoh-tokoh tersebut, Tan Malaka memiliki pandangan yang berbeda tentang komunisme di Indonesia tentang bagaimana proletar bergerak. Tan Malaka memandang perlu adanya ikut serta kaum priyayi yang mempunyai streotip sama dengan kaum borjuis, sedang kaum fanatik Uni Soviet setuju kalau proletar harus bergerak sendiri karena priyayi atau borjuis akan mendukung pemerintah (dalam hal ini Kolonial Belanda). Namun tentang bagaimana mereka mendeskripsikan tentang kaum proletar adalah sama.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Hal Draper, Karl Marx's Theory of Revolution, Vol. 2; The Politics of Social Classes. Monthly Review Press.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]