Pembicaraan:Raden Wijaya

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Bagian baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Komentar terbaru: 6 bulan yang lalu oleh InternetArchiveBot pada topik External links found that need fixing (Oktober 2023)

Dyah dan Raden[sunting sumber]

Pada zaman Majapahit gelar dyah bukan khusus untuk kaum perempuan saja. Dalam Nagarakretagama yang dikarang abad ke-14, nama pendiri Majapahit ditulis DYAH WIJAYA, sedangkan dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, nama tersebut berubah menjadi RADEN WIJAYA. Ini berarti gelar Dyah sama dengan Raden.222.124.227.91 11:36, 20 Februari 2008 (UTC)

Pararaton vs. Nagarakretagama[sunting sumber]

Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari.
Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti.
Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.

Antara Pararaton dan Nagarakretagama ada gap satu generasi: ada & tidak ada Dyah Lembu Tal. Pararaton menyebut Wijaya putra Mahisa Campaka alias Narasinghamurti, sedangkan Nagarakretagama menyebut Wijaya cucu Narasinghamurti. Nagarakretagama sejalan dengan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dalam hal Dyah Lembu Tal sebagai orang tua Wijaya, namun tidak dalam hal jenis kelaminnya. Betul? --kandar (bicara) 18:53, 9 Desember 2008 (UTC)

Komentar: Dalam Nagarakretagama ditulis jelas kalau Lembu Tal seorang laki-laki, seorang perwira yuda yang gagah berani.– komentar tanpa tanda tangan oleh 110.138.208.167 (bk).

Sedikit informasi singkat[sunting sumber]

Berdasarkan catatan sejarah dari sumber lain yang mungkin tidak semua orang mengetahuinya bahwa Raden Wijaya atau Raden Jaka Tanduran atau Raden Sesuruh atau Prabu Brawana merupakan putra ke -7 pasangan Prabu Sundha Hanyakrawati/Prabu Harjakusuma atau Prabu Pamekas di Pajajaran dari Permaisuri Dewi Ambarsari yang merupakan putri dari Prabu Dewamantala di Kerajaan Galuh. Mengenai berita adanya perselisihan diantara para keturunan Prabu Pamekas adalah hal yang mungkin dapat dibenarkan dikarenakan masing-masing berambisi untuk meneruskan tahta. Diceritakan dari sumber lain dimana terjadi peselisihan diantara Raden Wijaya dengan saudaranya yaitu Raden Siyung Wanara atau Jaka Tambi atau Arya Banyakwidhe yang merupakan putra ke-9 dari pasangan Prabu Pamekas dengan selir dan kemudian Siyung Wanara menjadi Raja di Pajajaran dengan gelar Prabu Sri Maha Sekti. Mungkin rekan-rekan mempunyai data yang lebih akurat dan dapat di share dengan saya. Mohon maaf apabila ada kesalahan.– komentar tanpa tanda tangan oleh Bhreagus (bk). 06:06, 30 Maret 2009 (UTC)

Bung Bhreagus, yang anda bicarakan ini catatan/sumber apa ya? Babad Galuh? Naval Scene (bicara) 15:53, 13 Agustus 2011 (UTC)

Dyah Lembu Tal dalam Nagarakrtagama[sunting sumber]

dalam Nagarakrtagama (atau lebih tepatnya disebut kakawin Desa Warnnana) wirama (pupuh) 46 bait kedua, tertulis"...lawan sri nara singha murttyaweka ri dyah lebu tal susrama, sang wireng laga sang dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh" (...dengan sri Nara Singamurti ayah Dyah Lembu Tal yang terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud arca Budha). dalam wirama (pupuh) 47 bait pertama, termaktub "dyah lembu tal sira maputra ri sang narendra" (Dyah Lembu Tal berputra baginda raja/Kertarajasa)

dalam wirama (pupuh) 46 itu tidak disebutkan apakah Dyah Lembu Tal seorang laki-laki atau perempuan. kata-kata "sang wireng laga..." (sang pemberani dalam pertempuran...) jika dicermati bukanlah merujuk pada sosok Dyah Lembu Tal tetapi pada sosok Sri Nara Singamurti, ayah dari Lembu Tal. sedangkan dalam wirama (pupuh) 47 hanya disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal berputra Kertarajasa. jadi Nagarakrtagama tidak menjelaskan Dyah Lembu Tal itu seorang laki-laki atau seorang perempuan.

mengapa Prapanca tidak memberi uraian yang lugas soal Dyah Lembu Tal? Dalam (wirama) pupuh 46 dan 47, Prapanca memang ingin bercerita soal garis darah prabu kertarajasa (raden Wijaya). garis darah raja-raja. prabu pertama Wilwatikta itu/Kertarajasa (raja) merupakan keturunan nara Singamurti (raja/bersama dengan Wisnuwardana). jadi seolah Dyah lembu tal dilewati saja karena ia bukan raja penguasa.

jika semisal memang Dyah Lembu Tal adalah perempuan, mengapa Prapanca tidak menyebutkan siapa ayah Raden Wijaya? analisisnya jika mengacu pada Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara bahwa ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma dari Sunda, maka tidak mungkin Prapanca akan menyebut sesuatu tentangnya. mungkin sekali "Sunda" adalah sesuatu yang sensitif mengingat Prapanca juga tidak menyebut peristiwa Pasunda Bubat sama sekali. jadi nama Rakeyan Jayadarma (sebagai orang Sunda) tak mungkin dimasukkan Prapanca dalam kakawin puja-pujinya itu.

(sumber buku: I ketut Riana, Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama. masa keemasan Majapahit, Jakarta: Kompas, 2009, hlm230-232)

180.246.222.199 05:58, 3 Oktober 2011 (UTC)

Spekulasi yang menarik. Boleh-boleh saja misalnya I Ketut Riana menafsirkan pupuh 46 seperti itu. Umumnya ahli2 lainnya menganggap keterangan "sang wireng laga..." itu rujukan terhadap Lembu Tal. Yang jelas, pada Prasasti Balawi (1305 M), Raden Wijaya (Sri Maharaja Nararyya Sanggramawijaya) menyatakan bahwa dia asli keturunan Rajasa/Ken Arok ("rajasawangsamaniwrndakastena" = pelindung permata Wangsa Rajasa). Kalau ayahnya dari Sunda, tentu dia tidak mengklaim sedemikian itu, apalagi dia seorang pendiri kerajaan baru. Lihat dalam Pusponegoro dan Notosusanto, SNI: Jaman Kuna, Edisi Pemutakhiran, Cet. II, 2008, Jakarta: Balai Pustaka, hal 425. Salam, Naval Scene (bicara) 23:35, 3 Oktober 2011 (UTC)

bukankah tafsiran soal fakta lunak dalam kajian sejarah itu terus berkembang...secara umum memang tafsiran atas "sang wireng laga" itu selalu mengacu pada Lembu Tal, tetapi hal ini bukan tafsir final. bukan sebuah fakta yang validitasnya telah teruji benar. banyak tafsir soal isi dalam kakawin desa warnnana yang masih perlu diberdebatkan lagi. permasalahannya kita sering membaca kakawin desa warnnana dalam bentuk sudah terjemahan, semestinya kita membaca masih dalam bentuk bahasa aslinya atau setidaknya telah diubah dalam bahasa Jawa kawi. kembali ke permasalahan awal, memang betul bahwa raden Wijaya itu keturunan Arok-dedes. ia memang justru darah murni Arok Dedes, bukan seperti penguasa-penguasa Singosari terdahulu yang didominasi konflik keturunan Tunggul Ametung-dedes dengan Arok-Umang. tetapi bahwa Wijaya keturunan Arok hal itu tidak bisa menjadi bukti untuk mengambil kesimpulan bahwa Dyah Lembu Tal adalah Laki-laki karena dihubungkan dengan garis darah laki-laki yang dianut di Jawa. prasasti Balawi bukanlah rujukan valid untuk membuktikan bahwa Lembu Tal adalah laki-laki. prasasti itu keluar demi legitimasi kekuasaan dan tentunya telah disesuaikan kepentingan, sama halnya misalnya Balitung membuat prasasti Mantyasih yang menyebut pangkal penguasaan tanah Jawa (tengah) pada sosok Sanjaya. itu juga demi legitimasi. kenapa Wijaya (jika menganut tafsir bahwa ia keturunan Sunda )tidak menyebut sama sekali bahwa ia keturunan Sunda, hal ini juga bisa dianalisa bahwa jelas ia tak mungkin menyebut ia putra rakryan jayadara dari Sunda padahal ia mendirikan kerajaan di Jawa Timur. Wijaya jelas ingin menunjukkan bahwa ia pewaris sah negeri Singosari yang telah runtuh. untuk itulah ia menyebut Arok sebagai pangkal garis darahnya. sangat riskan ia menyebutkan sesuatu yang "berbau" Sunda kala itu karena mungkin sekali beberapa bawahannya akan "mempertanyakan" kekuasaannya atas tanah jawa (bagian timur). hal ini bisa dicontohkan (jika menarik waktu jauh ke belakang lagi)pada kasus Airlangga, menantu Darmawangsa, yang ikut terkena dampak "pralaya". kala Airlangga selamat dan mendirikan kerajaan Kahuripan, ia juga menarik garis pangkal pada "trah" Darmawangsa yang masih keturunan Mpu Sendok itu (lihat pada nama abiseka Airlangga saat diangkat jadi raja "Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa"). Airlangga tidak mungkin akan menyebutkan bahwa ia putra dari wangsa Marwadewa dari Bali. Hal itu juga demi legitimasi kekuasaan. jadi penyebutan nama raja (pendahulu)sebagai pangkal dari kekuasaan seorang raja itu selalu disesuaikan dengan kepentingan, dimana sang raja itu mendirikan kerajaannya.

Kesalahan Penerjemahan Ketut Riana (?)[sunting sumber]

Kalimat dalam Nagarakretagama yang berbunyi : “sri narasinghamurttyaweka ri dyah lembu tal susrama sang wireng laga dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh” diterjemahkan oleh Prof Ketut Riana begini : “Sri Narasinghamurti ayah Dyah Lembu Tal yang terpuji, pemberani dalam pertempuran diabadikan di mireng dalam wujud arca Buddha”.

Sehingga rancu, seolah-olah gelar Sang Wireng Laga adalah milik Narasinghamurti.

Padahal kata "aweka" itu artinya "berputra", bukan "ayah".

Harusnya, kalimat : “sri narasinghamurttyAWEKA ri dyah lembu tal susrama sang wireng laga dhinarmma ri mireng boddha pratista pageh”

diterjemahkan : “Sri Narasinghamurti BERPUTRA Dyah Lembu Tal terpuji yang pemberani dalam pertarungan dan didharmakan di Mireng dengan arca Buddha ditegakkan di sana.”

Dengan demikian, jelas sudah kalau "yang terpuji sebagai sang wireng laga" adalah Lembu Tal, bukan Narasinghamurti. Lagipula dalam tradisi Jawa, tidak ada perempuan yang diberi nama Lembu. Karena nama Lembu, Kebo, Mahisa, Gajah, Kuda, itu semua gelar kehormatan untuk laki-laki karena melambangkan kejantanan dan keberanian.

Lembu Tal, Lembu Sora, Lembu Nala, Lembu Amiluhur, Lembu Peteng, Lembu Amijaya, Kebo Anabrang, Kebo Hijo, Kebo Kanigara, Kebo Kenanga, Mahisa Mundarang, Mahisa Anengah, Kebo Arema, Gajah Mada, Gajah Pagon, Gajah Biru, Kuda Amerta, semuanya adalah laki-laki. Salam Antapurwa

Polemik Naskah Wangsakerta[sunting sumber]

Pada abad ke-20 ditemukan naskah berjudul Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara. Naskah ini terkenal pula dengan istilah Naskah Wangsakerta, karena konon ditulis oleh panitia yang dipimpin Pangeran Wangsakerta dari Cirebon. Adapun tahun penulisannya menurut mukadimah naskah tersebut adalah pada 1604 Saka atau 1682 Masehi.

Yang menjadi polemik dalam naskah ini adalah tentang pendiri Majapahit, yaitu Rahadyan Wijaya yang disebut sebagai putra pasangan Rakeyan Jayadarma dari Kerajaan Sunda Galuh dengan Dyah Lembu Tal dari Kerajaan Singhasari. Dengan kata lain, Dyah Lembu Tal disebut sebagai wanita yang memiliki nama lain Dewi Singhamurti. Anehnya, naskah tersebut secara tidak konsisten menyebut Dewi Singhamurti adalah putri Mahisa Campaka pada halaman 58, tapi kemudian berubah pada halaman 60, yaitu Mahisa Campaka disebut sebagai mertua Dewi Singhamurti. Syzyszune (bicara) 21 Februari 2019 13.19 (UTC)Balas

External links found that need fixing (Oktober 2023)[sunting sumber]

Hello fellow editors,

I have found one or more external links on Raden Wijaya that are in need of attention. Please take a moment to review the links I found and correct them on the article if necessary. I found the following problems:

When you have finished making the appropriate changes, please visit this simple FaQ for additional information to fix any issues with the URLs mentioned above.

This notice will only be made once for these URLs.

Cheers.—InternetArchiveBot (Melaporkan kesalahan) 13 Oktober 2023 19.02 (UTC)Balas