Iwan Dwiprahasto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Iwan Dwiprahasto
Lahir(1962-04-08)8 April 1962
Surabaya, Jawa Timur
Meninggal24 Maret 2020(2020-03-24) (umur 57)
Yogyakarta, DI Yogyakarta
Almamater
Pekerjaan
  • Dokter
  • Farmakolog
  • Dosen
  • Guru besar
  • Wakil rektor
Dikenal atas
  • Ahli farmakologi
  • Ahli farmakoepidemiologi
  • Ahli farmasi klinis

Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D. (8 April 1962 – 24 Maret 2020) adalah seorang Guru Besar Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM). Bidang penelitian yang ditekuninya adalah farmakologi dan farmakoepidemiologi.[1][2] Ia dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM pada 7 Januari 2008. Sebelumnya, Iwan merupakan Wakil Rektor UGM dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM. Iwan menjadi salah satu dokter yang meninggal akibat terinfeksi COVID-19 pada 24 Maret 2020 di RSUP Dr. Sardijito Yogyakarta.[3] Dalam pekan terakhir Maret 2020 tersebut, Ikatan Dokter Indonesia mengumumkan bahwa sembilan dokter meninggal dunia karena COVID-19.[4] Dia dimakamkan di Pemakaman Sawit Sari, kompleks Universitas Gadjah Mada.[5]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Iwan menempuh pendidikan kedokteran di instansi pendidikan berikut:[1]

  • S1: Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1987)
  • S2: Master degree on Pharmacoepidemiology, University of Newcastle, New South Wales, Australia (1994)
  • S3: London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), Inggris (2000)

Pemikiran[sunting | sunting sumber]

Iwan aktif menulis sejak tahun 1990-an. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah, seperti Berkala Ilmu Kedokteran (UGM), The Journal of Nutrition (American Society for Nutrition), Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (UGM), International Journal on Pharmaceutical and Clinical Research, Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, dan masih banyak lagi. Iwan memiliki keahlian di bidang ilmu medis dan kesehatan, farmakologi, dan dan farmasi klinis.[6] Topik-topik penelitian yang pernah ia lakukan antara lain medication error, tata kelola medis, faktor risiko kanker payudara, dan adverse drug reaction (reaksi obat yang tidak dikehendaki).[7]

Medication error[sunting | sunting sumber]

Medication error adalah permasalahan di dalam proses pengobatan sehingga menimbulkan risiko kepada pasien, dari skala ringan sampai berat, yang sering kali disebabkan karena permasalahan kolaborasi di antara para tenaga kesehatan (dokter, apoteker, dan perawat). Permasalahan ini tidak lepas dari kualitas sistem pelayanan kesehatan sehingga dapat memberikan dampak buruk secara medis maupun prosedural dalam level individual, juga kerugian biaya dalam skala nasional.[8][9][10] Topik ini adalah salah satu yang cukup banyak dan secara kontinu dikaji oleh Iwan. Tulisan-tulisannya yang dipublikasikan dalam jurnal antara lain "Intervensi Pelatihan untuk Meminimalkan Risiko Medication Error di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer" (2006), "Masalah dan Pencegahan Medication Error, Bagian Farmakologi dan Toksikologi" (2008),"Faktor Penyebab Medication Error di Instalasi Rawat Darurat" (2012), dan "Why Do Nursing Students Make Medication Errors? A Qualitative Study in Indonesia" (2019).[7]

Medication error dapat terjadi di berbagai fase, dari prescribing (kesalahan peresepan), transcribing (kesalahan menerjemahkan resep), dispensing (kesalahan menyiapkan dan meracik obat), dan administering (kesalahan penyerahan obat kepada pasien).[8] Permasalahan ini disinggungnya saat diresmikan menjadi Guru Besar UGM. Dia mengkritik soal tulisan tangan sebagai tradisi dalam peresepan. Ia berpendapat bahwa tulisan yang sulit dibaca seolah bagian dari sakralisasi peresepan. Resep yang sulit dibaca akan membuat apoteker menduga dan menebak berdasarkan kapasitasnya sendiri sehingga selalu memiliki risiko kekeliruan membacanya (permasalahan transcribing). Contohnya adalah Losec® yang berisi obat Omerprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai Lasix® yang berisi Furosemida (diuretika). Juga, Sotatic® yang berisi Metoclopramide (obat antimuntah) sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi Misoprostol).[2]

Berhubungan dengan hal di atas, pada 2011, Iwan dan dua peneliti lain melakukan riset tentang peran resep elektronik di unit rawat jalan. Peran utamanya adalah meminimalkan risiko fase prescribing dan transcribing, masing-masing yaitu mengurangi kesalahan baca dan pemilihan dosis terkecil atas tulisan tangan. Iwan dan kokeganya meneliti bagaimana pelaksanaan tersebut berpengaruh pada penerimaan dokter (secara deksriptif-kuantitatif) dan pemangkasan waktu tunggu resep terhadap apoteker (quasi eksperimen kuantitatif). Terdapat informasi bahwa sebanyak 62% pasien di empat RS umum di Yogyakarta mengaku kesulitan membaca resep miliknya. Kesulitan ini juga dialami oleh apoteker (25%) dan asisten apoteker (40%).[11] Bagaimana sikap pengguna terhadap resep elektronik ditelaah melalui perspektif manfaat (nilai 0,004) dan persepsi kemudahan (nilai 0,003). Dari sini dapat diartikan bahwa pengguna menerima bentuk inovasi teknologi yang ada. Dokter dan instalasi dalam penelitian ini merasakan manfaat resep elektronik, yang mengerucut pada kesesuaian formularium pada peresepan. Validasi resep oleh petugas farmasi juga tidak lagi diperlukan karena kesalahan input data dapat diberi peringatan oleh komputer. Dalam hal waktu tunggu pasien saat pengambilan obat, rata-rata waktu tunggu secara statistik berbeda makna (p < 0,001) dengan perbandingan waktu tunggu 13,9 ± 2,697 menit (resep elektronik) dengan 21,280 ± 6,612 menit (resep manual). Dapat disimpulkan bahwa waktu tunggu menjadi lebih pendek.[12]

Mekanisme resistensi antibiotik di dalam tubuh manusia

Dalam tesis buatannya pada 1992 di Universitas Newcastle yang dijadikan landasan analisa langkah-langkah pencegahan medication error, Iwan menemukan bahwa pemberian antibiotik pada infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di layanan kesehatan swasta Yogyakarta tidak tepat. Angkanya mencapai 82%, di mana tidak berbeda antara dokter umum dan spesialis. Pencegahan medication error, menurut Iwan, dapat dilakukan dengan memperbaiki tata kelola layanan rumah sakit, yang bermuara pada pengelolaan medik pasien secara terpadu.[13] Perlu diketahui sebelumnya bahwa sebagian besar ISPA umum disebabkan oleh virus (salesma, flu, bronkitis, dan pneumonia lainnya) dan dapat sembuh sendiri tanpa terapi medikamentosa (self limiting disease). Antibiotik hanya diberikan kepada ISPA yang disebabkan oleh bakteri, seperti kasus akut untuk rhinosinusitis dan bronkitis, serta bakteri penyebab otitis media dan faringitis/tonsilitis. Konsumsi antibiotik yang berlebihan justru dapat menyebabkan resistensi antibiotik.[14][15]

Besarnya pemberian antibiotika untuk ISPA diteliti kembali olehnya secara retrospektif dengan maksud menciptakan model intervensi pelatihan penggunaan obat yang rasional. Penelitian ini dipublikasikan pada 2006 dan turut menelusuri penggunaan injeksi pada penyakit mialgia. Lokus penelitiannya adalah 43 puskesmas di delapan kab/kota Prov. Sumatera Barat. Melalui penghitungan data resep, penelitian ini kembali mengkonfirmasi penggunaan obat berlebih untuk ISPA (antibiotik) dan mialgia (injeksi) berbentuk polifarmasi, yaitu penggunaan beberapa obat secara bersamaan dalam satu kondisi medis, baik kepada balita maupun dewasa. Peresepan seperti ini cenderung sama ditemui pada layanan dokter umum di layanan kesehatan swasta.[14]

Penelitian intervensi juga kembali diinisiasi Iwan atas penggunaan obat pada 20 puskemas di lima kab/kota di Kalimantan Timur. Survei yang mengidentifikasi medication error di sana menunjukkan bahwa kekeliruan sering terjadi di bagian pemilihan obat, cara pemberian obat, dan frekuensi pemberian obat. Maka, dari basis data ini, intervensi yang dilakukan berbentuk pelatihan kepada dokter dan perawat puskesmas. Masing-masing materinya adalah tentang penggunaan obat secara rasional dan on the job training menggunakan contoh kasus sehari-hari di puskesmas. Enam bulan setelah intervensi pelatihan, angka medication error turun. Penurunan kesalahan yang signifikan (dalam rasio metode riset: p < 0,05) terjadi pada aspek ketidaklengkapan resep, kekeliruan pemilihan obat, dan kekeliruan cara pemberian obat. Melalui penelitian ini, Iwan menunjukkan bagaimana intervensi yang berfokus pada farmakoterapi berbasis bukti dan penyuluhan tentang risikonya berhasil menurunkan angka medication error di puskesmas.[16]

Medication error juga diobservasi Iwan dari sisi salah satu pemangku kepentingan, yaitu perawat. Sebuah studi menyatakan bahwa di Indonesia, medication error oleh pelajar keperawatan selama masa rotasi klinik dapat mencapai 44,8%.[17] Penelitian lain juga memperlihatkan bahwa banyak perawat muda yang tidak yakin dengan kompetensinya sendiri dalam hal administrasi pengobatan yang aman karena minimnya pengetahuan tentang farmakologi dan aspek keamanan medis lainnya.[18] Pada 2019, bersama tiga peneliti lain, Iwan mempublikasikan jurnal tentang studi kualitatif pelajar keperawatan terhadap medication error. Dalam ilmu keperawatan, pokok keamanan medis lebih banyak dibahas dalam bentuk kuliah di kelas dibandingkan eksperimen lapangan yang bergantung pada pembelajaran individu. Ditambah lagi, pokok ini hanya diajarkan pada tahun ketiga dalam satu mata kuliah. Ketika rotasi klinik berlangsung, para pelajar keperawatan dituntut untuk siap siaga dalam memberikan pelayanan di berbagai layanan kesehatan. Identifikasi medication error yang ditemukan dalam penelitian ini adalah kesalahan pada waktu pengobatan, identifikasi pasien, dan persiapan obat yang tidak tepat. Penelitian ini menekankan pentingnya model bimbingan dan supervisi yang memadai di pendidikan klinis untuk perawat demi menjaga kompetensi keamanan medis.[9]

Kanker payudara[sunting | sunting sumber]

Iwan juga terlibat dalam penelitian kanker payudara. Sebagian dari penelitian bertopik kanker payudara tercatat sebagai studi meta-analisis, dengan asosiasi terhadap faktor risiko penyakit dan proses pengobatan beserta dampaknya.[7]

Bersama tiga peneliti lain, Iwan mengobservasi riwayat keluarga dan risiko atas kanker payudara dalam etnis Melayu di Malaysia dan Indonesia. Fokus etnis berangkat dari penelitian terdahulu yang membahas capaian kanker payudara yang berbeda-beda di tiap negara, di mana Amerika Utara dan Eropa Barat memiliki kasus yang lebih tinggi dibandingkan di Asia. Dari sini, faktor genetik, atas etnis Melayu, yang memengaruhi kemunculan neoplasma di payudara dieksplorasi lebih jauh dengan memanfaatkan kembali jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang dipublikasikan selama 1999-2018 dan identifikasi latar pasien (desain riset meta-analisis). Hasilnya, terdapat keterhubungan tinggi antara riwayat keluarga yang memiliki kanker payudara dengan potensi kanker dalam etnis Melayu di Malaysia dan Indonesia. Penelitian ini merekomendasikan perempuan untuk mengedukasi dirinya tentang kanker payudara sekaligus melakukan deteksi dini jika terdapat benjolan di payudara. Mengingat, penelitian terkait menunjukkan bahwa perempuan dengan kanker payudara—yang juga terjadi pada keluarganya—baru melakukan deteksi ketika neoplasma sudah memasuki perkembangan lanjut.[19]

Selain faktor genetik yang juga dikonfirmasi Iwan dkk. di atas, faktor risiko lain seperti usia, hormon, diet makan, dan merokok juga turut memicu kanker. Dalam hal diet makanan, beberapa penelitian mengobservasi korelasi risiko kanker payudara dengan rendahnya konsumsi ikan. Asam lemak omega-3 yang terkandung dalam ikan bermanfaat bagi pencegahan dan penanggulangan kanker payudara. Jenis ikan yang memiliki kandungan tinggi asam lemak omega-3 adalah salmon, mekarel, tuna, kakap merah, dan herring. Akan tetapi, penelitian lanjutan memperlihatkan temuan yang berkebalikan sehingga keberlanjutan riset-riset yang ada melahirkan temuan yang tidak konsisten. Iwan dan tiga peneliti lain lantas ingin mengetahui bagaimana efek pelindungan atas zat omega-3 khusus pasien-pasien orang Asia. Hal ini dianggap perlu karena faktor geografis dan pasar pangan menghasilkan pola diet yang berbeda-beda di tiap kawasan. Sebanyak 11 artikel jurnal, yang sesuai dengan identifikasi riset ini, ditelaah kembali dengan metode meta-analisis. Riset Iwan dkk. tersebut menemukan bahwa dalam kasus orang Asia, asam lemak omega-3 dalam kandungan ikan memproduksi efek pelindungan terhadap kanker payudara.[20] Adanya inkonsistensi hasil riset-riset yang juga meneliti topik ini diyakini disebabkan oleh perbedaan kebiasaan konsumsi ikan di tiap wilayah. Orang Asia didapati lebih banyak mengkonsumsi ikan dibandingkan orang-orang Eropa dan Amerika Utara.[21]

Model hitungan probabilitas kanker payudara berdasarkan rekam deteksi mammografi

Penyebab kanker payudara memang dipacu oleh berbagai faktor. Dari sinilah muncul gagasan bagaimana machine learning (pemelajaran mesin) dapat membantu menghitung faktor-faktor risiko sehingga dapat membantu seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan deteksi dini kanker payudara. Perhitungan risiko penyakit melalui machine learning dianggap dapat memperlihatkan apakah seseorang punya risiko yang aman dari kanker payudara, masuk dalam kriteria aksi pencegahan kanker payudara, atau bahkan masuk dalam risiko tinggi memiliki kanker payudara.[22][23] Iwan kembali berkolaborasi dengan tiga penelitian lain untuk mengulas machine learning mana yang memiliki akurasi paling tinggi dalam mendeteksi kanker payudara, yakni melalui pendekatan: Naive Bayes, Neural Network, Decision Tree, Logistic Regression, Linear Discriminant Analysis, Super Vector Machine (SVM), K-Nearest Neighbor. Penelitian kuantitatif dengan desain riset meta-analisis ini meneliti jurnal ilmiah dari 2000-2018 yang menggunakan tiap machine learning di atas untuk mendeteksi kanker payudara, dan berdasarkan pembatasan riset, terdapat sebelas studi yang sesuai dengan desain penelitian. Uji analisa diagnostik dilakukan dengan menghitung skala sensitivitas dan spesifisitas dari dataset penelitian yang bersangkutan ke dalam kriteria akurasi nilai Area Under Curve (AUC) melalui kurva Receiver Operating Characteristic (ROC). Dari olahan perbandingan skala nilai yang ada, dihasilkan bahwa pendekatan SVM menggambarkan perhitungan risiko kanker payudara dengan klasifikasi akurasi yang sangat baik dibandingkan algoritma machine learning lainnya (AUC > 90%). Para penelitinya, termasuk Iwan, berkata bahwa machine learning membantu mengurangi kemungkinan kesalahan yang dapat disebabkan oleh tenaga medis ataupun sebagai data medis yang dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Sistem ini juga potensial untuk dikembangkan dalam bentuk aplikasi seluler sehingga para perempuan dapat menggunakannya dengan mudah.[24]

Pengangkatan Guru Besar[sunting | sunting sumber]

Dalam pidato pengangkatan sebagai Guru Besar, Iwan Dwiprahasto menyampaikan permasalahan terbatasnya informasi bukti ilmiah terkini tentang obat dan farmakoterapi di kalangan tenaga kesehatan di Indonesia. Pidato tersebut berjudul, "Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan". Meski akses internet terbuka luas, namun kendala biaya, bahasa, dan fasilitas perangkat informasi teknologi dapat teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Tenaga kesehatan di daerah terpencil dikhawatirkan menjadi salah satu pihak yang terdampak. Kelemahan tersebut justru dimanfaatkan oleh duta-duta farmasi kepada para dokter, di mana informasi mereka cenderung berpihak pada kepentingan komersial.[2]

Ia merincikan permasalahan itu, "Dokter meresepkan obat-obat baru tanpa terlebih dahulu memahami sifat obat secara rinci apalagi mempelajari hasil-hasil uji klinik yang menyertainya dari waktu ke waktu. Jangankan mengetahui farmakologi obat dan profil farmakokinetika-nya, isi kandungan obat pun banyak yang tidak mengetahui. Nama dagang ternyata lebih enak untuk dilafal, sedangkan isi obat biarlah para farmakolog yang menghapal. Demikian mungkin yang terjadi (...) Obat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan efek terapi yang diharapkan, tetapi di sisi lain justru menimbulkan risiko yang mencelakakan. Sayangnya, bukti ilmiah mengenai efek obat yang merugikan sering datang sangat terlambat, di saat korban telah berjatuhan. Itu pun kadang tidak membuat pemegang kebijakan serta-merta menghentikan peredaran suatu obat. Pemegang kebijakan obat seolah tidak berdaya menghadapi hegemoni industri farmasi yang secara intens memberikan tekanan politik, psikologis, dan tidak jarang intimidatif dalam melanggengkan produk yang berbuah bencana."[25]

Terbatasnya informasi bukti ilmiah terkini lantas berkonsekuensi dengan praktik off-label use of drug atau penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Di Indonesia sendiri, badan yang berwenang atas peredaran makanan dan obat di masyarakat adalah Badan POM. Praktik off-label banyak terjadi di apotek-apotek. Menggeruskan tablet untuk dijadikan satu sediaan puyer atau sirup adalah bentuk off-label. Obat-obat yang kerap digunakan secara off-label antara lain antikonsulvan, antibiotika, obat flu dan batuk, dan obat-obatan kardiovaskuler. Misinformasi juga dilanggengkan melalui penyimpangan pembuatan resep yang ditirukan berulang-ulang.[2]

Iwan, bersama tiga peneliti lain, membahas bagaimana penggunaan off-label atas resep antikonsulvan terjadi pada ⅓ pasien rumah sakit swasta di Jawa, terutama pasien dengan gangguan saraf dan kejiwaan. Meskipun belum ada bukti ilmiah adanya efek samping yang berarti, kewaspadaan terhadap praktik ini dianggap perlu.[26] Iwan, saat berpidato, juga menyayangkan bagaimana vitamin menjadi bagian wajib dari peresepan. Hingga saat ini belum ada bukti bahwa pemberian vitamin mampu mencegah terjadinya penyakit maupun mempercepat penyembuhan orang sakit. Contohnya, hasil systematic review atas penggunaan vitamin C atau vitamin E tidak berkorelasi dengan pencegahan apalagi penyembuhan kanker.[25]

Aturan pemakaian obat dalam resep juga dikriitknya. Aturan "tiga kali sehari" seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi "dikonsumsi tiap 8 jam". Begitu juga dengan obat untuk "dua kali sehari", seharusnya ditulis menjadi "setiap 12 jam". Iwan berpesan agar para profesional kesehatan selalu berpacu pada bukti-bukti ilmiah (evidence-based medicine) terkini demi menjaga kesehatan masyarakat.[2] Isi pidato tersebut juga disampaikan oleh Rektor UGM, Prof. Panut Mulyana, kepada wartawan saat meliput kepulangan Iwan.[3]

Asosiasi lembaga[sunting | sunting sumber]

Selama menjadi dokter, dia terlibat dalam sejumlah lembaga:[27]

  1. Komite Nasional Formularium (Ketua)
  2. Komite Nasional Daftar Obat Esensial (Ketua)
  3. Komute Nasional Formularium Haji (Ketua)
  4. Penyusun Formularium Obat InHealth Indonesia (Ketua)
  5. Dewan Penasihat Medis BPJS
  6. Dewan Penasihat Medis InHealth Indonesia
  7. Komite Nasional Penilai Obat Jadi Badan POM
  8. Komite Nasional Informatorium Obat Nasional Indonesia
  9. Komite Nasional Obat Tradisional dan Suplemen Makanan
  10. Komite Nasional Penilaian Teknologi Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
  11. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan RI
  12. Indonesian Clinical Epidmiology & EBM Network (Direktur)
  13. Dewan Pemerintah International Clinical Epidemiology Network
  14. Dewan Pakar Asosiasi Rumah Sakit Daerah
  15. Dewan Pakar Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, Ph.D". ikd.ugm.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-16. Diakses tanggal 2020-06-16. 
  2. ^ a b c d e Humas UGM (07-01-2008). "Pengukuhan Prof Iwan Dwiprahasto: Tradisi Menulis Resep Obat Perlu Dikoreksi". Universitas Gajah Mada. Diakses tanggal 16-06-2020. 
  3. ^ a b Arief, Teuku Muhammad Valdy (ed.). "Rektor UGM Kenang Sumbangan Pemikiran Iwan Dwiprahasto dalam Bidang Kedokteran". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-06-16. 
  4. ^ dob. "Akibat Corona, 9 Dokter Indonesia Meninggal dalam Sepekan". CNBC Indonesia. Diakses tanggal 2020-06-28. 
  5. ^ News, Tagar (2017-12-23). "Sosok Guru Besar UGM Positif Covid-19 yang Meninggal". TAGAR. Diakses tanggal 2020-06-16. 
  6. ^ "ACADSTAFF UGM". acadstaff.ugm.ac.id. Diakses tanggal 2020-06-28. 
  7. ^ a b c "Iwan Dwiprahasto - Google Scholar Citations". scholar.google.co.id. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  8. ^ a b Ulfah, Siti Sahirah; Mita, Soraya Ratnawulan (2017). "Review Artikel: Medication Errors pada Tahap Prescribing, Transcribing, Dispensing, dan Administering". Farmaka. 15 (2): 233–240. doi:10.24198/jf.v15i2.13318.g6149. 
  9. ^ a b Musharyanti, M.Med.Ed, Lisa; Claramita, Ph.D, Mora; Haryanti, Ph.D, Fitri; Dwiprahasto, Ph.D, Iwan (2019). "Why Do Nursing Students Make Medication Errors? A Qualitative Study in Indonesia". Journal of Taibah University Medical Science. 14 (3): 282–288. doi:10.1016/j.jtumed.2019.04.002. 
  10. ^ Dwiprahasto, Iwan (2001). "Clinical Governance: Konsep Modern Pelayanan Kesehatan yang Bermutu". Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. 04 (04): 197–203. 
  11. ^ Widayati, Aris (2007-11). "Persepsi dokter, apoteker, dan pasien mengenai kelengkapan resep dan kemudahan pembacaan tulisan dalam resep (Legibility)di empat Rumah Sakit Umum di kota Yogyakarta periode Maret-April 2007". Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas. 3. 
  12. ^ Kusumarini, Putu; Dwiprahasto, Iwan; Wardani, PE (2011). "Penerimaan Dokter dan Waktu Tunggu pada Peresepan Elektronik Dibandingkan Peresepan Manual". Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 14 (03): 133–138. 
  13. ^ Dwiprahasto, Iwan (2004). "Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya untuk Meminimlkan Risiko". Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 7 (01): 13–17. 
  14. ^ a b Dwiprahasto, Iwan (2006). "Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokter dan Perawat". Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gajah Mada. 09 (02): 94–101. 
  15. ^ Redaksi Halodoc (13-03-2019). "Tidak Semua Infeksi Memerlukan Pengobatan Antibiotik". Halodoc. Diakses tanggal 18-06-2020. 
  16. ^ Dwiprahasto, Iwan (2006). "Intervensi Pelatihan untuk Meminimalkan Risiko Medication Error di Pusat Pelayanan KesehatanPrimer". Berkala Ilmu Kedokteran. 38 (1): 1–8. 
  17. ^ Khasanah, Uswatun (2012). "Nursing Procedural Error: Types and Causing Factor in Nursing Sstudents of Clinical Rotation in Nursing Study Program UIN Syarif Hidayatullah". Jurnal Ners. 7 (2): 186–195. doi:10.20473/jn.v7i2.4020. 
  18. ^ Adhikari, Radha; Tocher, Jennifer; Smith, Pam; Corcoran, Janet; MacArthur, Juliet (2014-02-01). "A multi-disciplinary approach to medication safety and the implication for nursing education and practice". Nurse Education Today. Patient Safety (dalam bahasa Inggris). 34 (2): 185–190. doi:10.1016/j.nedt.2013.10.008. ISSN 0260-6917. 
  19. ^ NINDREA, Ricvan Dana; ARYANDONO, Teguh; LAZUARDI, Lutfan; DWIPRAHASTO, Iwan (2019-05-08). "Family History of Breast Cancer and Breast Cancer Risk Between Malays Ethnicity in Malaysia and Indonesia: A Meta-Analysis". Iranian Journal of Public Health. doi:10.18502/ijph.v48i2.814. ISSN 2251-6093. 
  20. ^ Nindrea, Ricvan Dana; Aryandono, Teguh; Lazuardi, Lutfan; Dwiprahasto, Iwan (2019-02-01). "Protective Effect of Omega-3 Fatty Acids in Fish Consumption Against Breast Cancer in Asian Patients: A Meta-Analysis". Asian Pacific Journal of Cancer Prevention (dalam bahasa Inggris). 20 (2): 327–332. doi:10.31557/APJCP.2019.20.2.327. ISSN 2476-762X. PMC 6897018alt=Dapat diakses gratis. PMID 30803190. 
  21. ^ Fabian, Carol J.; Kimler, Bruce F.; Hursting, Stephen D. (2015-05-04). "Omega-3 fatty acids for breast cancer prevention and survivorship". Breast Cancer Research. 17 (1): 62. doi:10.1186/s13058-015-0571-6. ISSN 1465-542X. PMC 4418048alt=Dapat diakses gratis. PMID 25936773. 
  22. ^ Han, Jiawei. (2012). Data mining : concepts and techniques. Kamber, Micheline., Pei, Jian (Computer scientist) (edisi ke-3rd ed). Amsterdam: Elsevier/Morgan Kaufmann. ISBN 978-0-12-381480-7. OCLC 742421886. 
  23. ^ Chapman, W. W.; Fizman, M.; Chapman, B. E.; Haug, P. J. (2001-02). "A comparison of classification algorithms to automatically identify chest X-ray reports that support pneumonia". Journal of Biomedical Informatics. 34 (1): 4–14. doi:10.1006/jbin.2001.1000. ISSN 1532-0464. PMID 11376542. 
  24. ^ Nindrea, Ricvan Dana; Aryandono, Teguh; Lazuardi, Lutfan; Dwiprahasto, Iwan (2018-07). "Diagnostic Accuracy of Different Machine Learning Algorithms for Breast Cancer Risk Calculation: a Meta-Analysis". Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 19 (7). doi:10.22034/APJCP.2018.19.7.1747. PMC 6165638alt=Dapat diakses gratis. PMID 30049182. 
  25. ^ a b Dwiprahasto, Iwan (2008). "Farmokoterapi berbasis bukti: antara teori dan kenyataan". Universitas Gadjah Mada. 
  26. ^ Rahajeng, Bangunawati; Ikawati, Zullie; Andayani, Tri Murti; Dwiprahasto, Iwan (2017-07-01). "A Retrospective Study: The Off-Label Use of Anticonvulstants at a Private Hospital in Indonesia". International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 10 (5). doi:10.22159/ijpps.2018v10i5.25388. ISSN 0975-1491. 
  27. ^ "Strategi Efisiensi Penggunaan Obat di Era JKN" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-26.