Bahasa Sunda Klasik: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 1: | Baris 1: | ||
⚫ | |||
{{inuse}} |
|||
{{Infobox Bahasa |
|||
|name = Bahasa Sunda Klasik |
|||
|nativename = |
|||
|altname = ''{{lang|su|Basa Sunda Klasik}}''<br><span style="font-family:'Sundanese Unicode', 'crp v1';">ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮊᮣᮞᮤᮊ᮪</span><br>Bahasa Sunda Peralihan<br>''Basa Sunda Mangsa II'' |
|||
|familycolor = Bahasa Austronesia |
|||
|region = bagian barat pulau [[Jawa]] |
|||
|era = Berkembang menjadi [[Bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda|bahasa Sunda Modern Awal]] menjelang [[abad ke-19]]. |
|||
|fam1 = [[rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]] |
|||
|fam2 = [[Bahasa Melayu-Polinesia|Melayu-Polinesia]] |
|||
|script = {{list|[[Aksara Sunda Kuno|Sunda Kuno]]|[[Abjad Pegon|Pegon]]|''Cacarakan''|[[Alfabet Latin|Latin]]}} |
|||
|iso2 = |
|||
|iso3 = |
|||
|lingua = [http://www.hortensj-garden.org/index.php?tnc=1&tr=lsr&nid=31-MFN-aa 31-MFN-aa] |
|||
|image = Carita_Waruga_Guru.jpg |
|||
⚫ | |||
|notice = |
|||
|ancestor = [[Bahasa Sunda Kuno]] |
|||
}} |
|||
'''Bahasa Sunda Klasik{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}}{{sfnp|Sumarlina|2009|pp=70}}''' atau '''Bahasa Sunda Peralihan{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}}''' (juga disebut sebagai '''''Basa Sunda Mangsa II''''' atau dapat dialihbahasakan menjadi '''Bahasa Sunda Masa II'''){{sfnp|Prawirasumantri|1990|pp=13}} adalah sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara [[bahasa Sunda Kuno]] dengan [[Bahasa Sunda|bahasa Sunda Modern]]. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}} |
'''Bahasa Sunda Klasik{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}}{{sfnp|Sumarlina|2009|pp=70}}''' atau '''Bahasa Sunda Peralihan{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}}''' (juga disebut sebagai '''''Basa Sunda Mangsa II''''' atau dapat dialihbahasakan menjadi '''Bahasa Sunda Masa II'''){{sfnp|Prawirasumantri|1990|pp=13}} adalah sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara [[bahasa Sunda Kuno]] dengan [[Bahasa Sunda|bahasa Sunda Modern]]. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).{{sfnp|Sumarlina|Permana|Darsa|2019|pp=277}} |
Revisi per 27 April 2024 11.31
Bahasa Sunda Klasik[1][2] atau Bahasa Sunda Peralihan[1] (juga disebut sebagai Basa Sunda Mangsa II atau dapat dialihbahasakan menjadi Bahasa Sunda Masa II)[3] adalah sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara bahasa Sunda Kuno dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).[1]
Bahasa Sunda Zaman Klasik (Peralihan) merupakan tahapan lanjutan dari bahasa Sunda Kuno.[4] Hal ini dapat dilihat di antaranya dalam naskah Carita Waruga Guru. Kosakata yang digunakan dalam naskah tersebut bukanlah kosakata yang arkais (kuno) sebagaimana terdapat dalam bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda Klasik sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab sebagai akibat dari dominasi agama Islam pada masyarakat Sunda masa itu.[5]
Sejarah
Pra-Islam & Arab
Pengaruh Islam dan Arab setidaknya tidak pernah berkembang terlalu jauh sebelum kerajaan Sunda (Pajajaran), sebuah kerajaan bercorak Sunda-Hindu runtuh pada tahun 1579. Masa kerajaan ini merupakan masa bahasa Sunda Kuno. Pada waktu itu, bahasa Sunda Kuno merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat maupun orang-orang di lingkungan kerajaan untuk berkomunikasi satu sama lain dan digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bidang kenegaraan, keagamaan, kesenian, serta komunikasi bagi kepentingan kehidupan sehari-hari.[6]
Agama Islam terlebih dahulu berkembang di wilayah tetangga Sunda, seperti di Sumatra dan di sebelah timur Sunda. Walaupun begitu, pada awal abad ke-16, negeri-negeri Islam telah dikenal oleh para penganut agama Hindu di Kerajaan Sunda. Setidaknya mereka memiliki wawasan geografis dan hubungan ekonomi dengan negara-negara luar. Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang selesai dikarang pada tahun 1518 mengonfirmasi hal tersebut melalui isinya yang menunjukkan pengetahuan luas tentang wilayah geografis mancanegara (bahasa Sunda Kuno: paranusa) yang mencakup beberapa kawasan-kawasan di benua Asia, disebutkan pula adanya profesi duta bahasa yang disebut jurubasa darmamurcaya yang dituntut untuk menguasai berbagai bahasa asing, ini sesuai dengan uraian berikut:[7]
“ | Aya ma nu uraṅ dek cəta, ulah salah gəsan naña, lamun dek ñaho di carek para nusa ma, carek cina, kəliṅ, parasi, məsir, samudra, baṅgala, makasar, pahaṅ, kalantən, baṅka, buwun, beten, tulaṅbawaṅ, səla, pasay, parayaman, nagara dekan, dinah, andələs, tego, maloko, badan, pego, malangkabo, məkah, buretet, lawe, saksak, səmbawa, bali, jənggi, sabini, ṅogan, kanaṅən, kuməriṅ, simpaṅ tiga, gumantuṅ, manumbi, babu, ñiri, sapari, patukaṅan, surabaya, lampuṅ, jambudipa, seran, gədah, solot, solodoṅ, indragiri, tanjuṅ pura, sakampuṅ, cəmpa, baluk, jawa; sing sawatək para nusa ma saṅ jurubasa darmamurcaya taña.
Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru bahasa darmamurcaya.” |
” |
— Sanghyang Siksa Kandang Karesian bab XX[8] |
Dari uraian di atas, dapat dilihat pada nama-nama negeri dan kota yang dicetak tebal merupakan negeri dan kota Islam dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.[9] Manuskrip lain dari masa Sunda Kuno yang menyebutkan wilayah Islam yaitu Pendakian Sri Ajñana, yang menyebutkan Buana Mekah, salah satu pusat dan kota suci bagi umat Islam sebagai tempat yang disinggahi oleh tokoh utama dalam teks tersebut tatkala mencari kekasihnya di Kahyangan, selengkapnya dapat dibaca pada kutipan berikut:[10]
“ | Saləmpaṅ saṅ Sri Ajñana, diri ti sorga kancana, milaṅ-milaṅ kasorgaan, kaliwat na caturloka, katukaṅ buana Məkah, eta kasorgaan Siak.
Setelah Sri Ajnyana pergi, Berangkat dari surga kencana, dia melihat-lihat surga, Caturloka telah terlewati, buana Mekah telah dilalui, itulah surga bangsa Siak. |
” |
— Sri Ajñana, 916-921[10] |
Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa kedudukan Mekah dan Siak (sebutan untuk orang-orang yang telah memeluk Islam) diposisikan bersama-sama dengan ruang pikiran masyarakat Sunda-Hindu.[11] Naskah Sunda Kuno bernuansa Hindu lain yang cukup terkenal, Sewaka Darma juga menyebutkan Buana Mekah sebagai tempat di kahyangan. Berikut adalah petikannya:
“ | Mojarkən babu pərtiwi, ṅagapay tarajeəmas, dataṅ ka wəkasniṅ sabda, dina sunya liwat taya, hələt bəraṅ hələt pətiṅ, dataṅ ka banua məkah, ngadoṅkap ka catur loka, luput ti pada buana, dataṅ kana manarawaṅ, kateñjo para dewata.
Mengisahkan Ibu Pertiwi, meniti tangga emas, sampai pada akhir ucapan, dalam keadaan hampa melampaui ketiadaan, siang dan malam berselang, tibalah di benua Mekah, datang ke empat dunia, yang terlepas dari dunia, datang lalu memandang jauh, terlihat para dewata. |
” |
— Sewaka Darma, naskah B, fol. 46[12] |
Dari pembahasan mengenai tiga naskah di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan mengenai Islam dan Arab telah masuk ke dalam khazanah masyarakat Sunda-Hindu, terutama dari kalangan agamawan, sehingga kedudukannya cukup mendapat tempat tersendiri, meski bukan sesuatu hal yang diutamakan.[13]
Pasca-Pajajaran
Jika pada bagian di atas telah dipaparkan mengenai Islam yang mendapatkan tempat istimewa dalam ruang batin masyarakat Hindu-Sunda, hal ini menemui titik balik tatkala Kerajaan Sunda (Pajajaran) menuju masa kehancuran. Kronik Carita Parahiyangan merekam peristiwa demi peristiwa peperangan yang selalu berakhir dengan kekalahan pihak Sunda dan negara-negara bawahannya atas pihak Islam. Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terekam dengan dramatis:[14]
“ | Disilihan ku nusia mulya, lawasnya ratu sadəwidasa, təmbəy dataṅ na prəbeda, bwana alit sumurup riṅ ganal, mətu saṅhara ti səlam, praṅ ka rajagaluh, eleh na rajagaluh, praṅ ka kalapa, eleh na pakwan, praṅ ka galuh, praṅ ka datar, praṅ ka madiri, praṅ ka patege; praṅ ka jawakalapa, eleh na jawakalapa; prang ka gəgəlang, ñabraṅ, praṅ ka salajo, pahi eleh ku səlam, kitu, kawisesa ku dəmak dəng ti cirəbon, pun.
Diganti oleh Nusia Mulya, lamanya menjadi raja dua belas tahun. Mulai muncul perubahan. Dunia halus tenggelam oleh kasar, muncul prahara dari Islam. [Mereka] berperang ke Rajagaluh, kalah Rajagaluh; perang ke Kalapa, kalah Pakuan, perang ke Datar, perang ke Madiri, perang ke Patege, perang ke Jawakalapa, kalah Jawakalapa; perang ke Gegelang. Lalu menyeberang, perang ke Salajo. Semua kalah oleh Islam. Begitulah. [Semua] dikuasai oleh Demak dan Cirebon. Tamat. |
” |
— Carita Parahiyangan, 28a-29a[14] |
Terlihat dengan jelas dari rangkaian peristiwa di atas, səlam (Islam) dianggap sebagai ancaman dan musuh yang memunculkan perubahan yang membawa kesengsaraan.[15]
Penggunaan
Keruntuhan kerajaan Pajajaran membuat dimulainya periode transisi Hindu ke Islam yang membuat kosakata dalam bahasa Sunda pada masa itu mengalami perubahan, dari yang tadinya dibumbui dengan kosakata bahasa Sanskerta, menjadi digeser dan diisi oleh kosakata bahasa Arab, sehingga hal ini juga mempengaruhi struktur bahasa Sunda itu sendiri.[16] Penggunaan bahasa Sunda kuno yang dikatakan masih bersih hanya dijumpai di lingkungan pedesaan yang masih setia menggunakan bahasa tersebut. Sementara itu, di lingkungan pesantren, bahasa Arab mulai tumbuh subur dan berkembang.[17] Selain dalam kosakata dan struktur bahasa, dampak perkembangan Islam juga terlihat dari sistem tulisan yang mulai digantikan oleh penggunaan abjad Pegon (Arab-Sunda)[18] dalam naskah-naskah Sunda pada masa selanjutnya.[1]
Selama periode transisi ini, percampuran unsur Hindu dan Islam merupakan hal yang sangat lumrah dan dapat terasa sangat kuat, salah satunya dalam sebuah mantra bernama Pañukat Aji Cakra, yang berbunyi sebagai berikut:[19]
“ | Saṅ ratu Limbuṅ Gumur, Nu tumetes sakiṅ Məkah, Nu muṅguh sakiṅ kidul, Dat muliya sampurnahidattulah, Saṅ Ratu Kilat Barahma, Nu tumetes sakiṅ Məkah, Nu muṅguh sakiṅ kaler, Twa Darma Makilat, Tumurun sakiṅ Məkah.
Sang Ratu Limbung Gumur, Yang berasal dari Mekah, Yang berdiam di selatan, Zat mulia dan sempurna (dari) segala dzat Allah, Sang Ratu Kilat Barahma, Yang berasal dari Mekah, Yang berdiam di utara, Sesepuh Darma Makilat, Yang turun dari Mekah |
” |
— Pañukat Aji Cakra, 36-47[19] |
Mantra di atas menjelaskan tempat asal para makhluk mitologis yang dimuliakan yang ditulis berdasarkan arah mata angin, yang salah satu tempatnya adalah Mekah.[13]
Naskah
Naskah-naskah pada masa Sunda Klasik/Peralihan jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga dapat dikatakan sangat miskin akan sumber. Banyak di antara naskah-naskah Sunda Klasik berasal dari Kabuyutan, yang selain digunakan sebagai tempat peribadatan, juga difungsikan sebagai pusat pendidikan dan skriptorium. Jumlah naskah yang terselamatkan tidak lebih dari 100-an naskah, selain di Kabuyutan, beberapa tersimpan di perpustakaan dan museum. Dari seratusan naskah yang ada, sebagian besarnya belum dilakukan kajian filologis yang mendalam. Penelusuran dan inventarisasi serta penelitian termutakhir mendapatkan setidaknya delapan naskah yang baik secara parsial maupun secara total menggunakan bahasa Sunda dan semuanya menggunakan aksara Sunda Kuno yang dikatalogisasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).[20] Naskah-naskah tersebut adalah:
Carita Waruga Guru
Keberadaan naskah ini sudah tidak diketahui lagi dan telah hilang dari koleksi di Perpusnas sejak tahun 1990-an. Namun, Pleyte (1913) sempat menyunting dan mengusahakan naskah ini ke dalam bentuk faksimili bernomor KBG 74. Pleyte (1913) mengestimasi penggubahan naskah ini dilakukan antara tahun 1705-1709.[21]
Wirid Nur Muhammad
Bahasa Sunda digunakan dalam naskah ini hanya pada bagian kolofon. Naskah ini bernomor KBG 75, berbahan daluang, dan menunjukkan ciri-ciri kodikologis yang menarik. Penulis atau Penyalin naskah ini adalah Kai Raga. Naskah disalin pada Wulan Mukaram Sukra Kaliwon (bulan Muharam hari Jumat Kliwon), kombinasi penanggalan Hindu dan Islam.[22]
Doa Bacaan Shalat
Teks yang berisi doa ini tergabung dengan teks-teks lain pada naskah lontar bernomor L 421, berisi 15 lembir dengan lempir terpanjang berukuran 38,3 x 3,2 cm, teksnya berbentuk puisi dan kondisinya masih dalam keadaan baik, hanya ada beberapa kerusakan kecil akibat serangga. Bahasa yang digunakan lebih didominasi oleh bahasa Arab daripada bahasa Sunda.[22]
Pañukat Aji Cakra
Dalam katalog, teks ini berada pada nomor L 421, meski berada pada satu koropak dengan teks Doa Bacaan Shalat, isi teksnya berbeda.[23]
Pakeliṅ
Teks Pakeliṅ terdapat dalam dua naskah lontar bernomor L 413 dan L 414. Keduanya berasal dari pemberian R.A.A. Kusumadiningrat, bupati Galuh periode 1839-1886. Teksnya berbentuk puisi yang setiap barisnya berjumlah delapan suku kata.[24]
Jampe Sepi Gəni
Teks berada pada nomor L 413 dan L 414. Teks berupa mantra pendek yang hanya terdiri atas 6 baris.[24]
Catatan kaki
- ^ a b c d Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 277.
- ^ Sumarlina (2009), hlm. 70.
- ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 13.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 40.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 42.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 41.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 446.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 446-447.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 447.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 447-448.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 448.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 448-449.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 449.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 450-451.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 450.
- ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 275.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 41-42.
- ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 276.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 449-450.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 440.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 441-442.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 442.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 442-443.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 443.
Daftar pustaka
- Arisandi, I.B.; Ma'mun, T.N.; Darsa, U.A. (2021). "Babad Awak Salira: Intertekstualitas Naskah Sunda Islami". Jurnal Manuskrip Nusantara. Program Studi Ilmu Sastra Bidang Kajian Utama Filologi, Universitas Padjadjaran. 12 (1): 35–52. doi:10.37014/jumantara.v12i1.1151 . ISSN 2087-1074.
- Gunawan, A.; Kurnia, A. (2016). "Naskah-naskah Islam dari Kabuyutan". Jurnal Manuskrip Nusantara. 7 (2b): 437–468. doi:10.37014/jumantara.v7i2b.295 .
- D., Koswara; Isnendes, R.; Hyangsewu, P.; Suherman, A. (2021). Character Literature Learning Model Based on Classical Sundanese Literature Carita Pantun Mundinglaya di Kusumah (CPMdK) A Structural, Semiotic, and Ethno-pedagogic Study. Proceedings of the Fifth International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE 2021) (Paper). 595. Bandung: Department of Sundanese Language Education, Universitas Pendidikan Indonesia. hlm. 185–192. doi:10.2991/assehr.k.211119.029 . ISBN 978-94-6239-459-9. ISSN 2352-5398.
- Koswara, D. (2021). Sastra Sunda klasik. Bandung: UPI Press. ISBN 9786236988336. OCLC 1269216280.
- Prawirasumantri, A. (1990). Kamekaran, Adegan, jeung Kandaga Kecap Basa Sunda. Bandung: Geger Sunten. OCLC 222208971.
- Priyanto, Yayat (2019). Teks Dan Konteks Dalam Jejak Budaya Takbenda Studi Kasus: Babasan dan 'Paribasa' Sunda. Prosiding Seminar Nasional Arkeologi 2019 (Paper). 3. Bandung: Pasundan University. hlm. 37–48. doi:10.24164/prosiding.v3i1.24 .
- Ruhailah (2018). Wawacan Sebuah Genre Sastra Sunda. Bandung: Dunia Pustaka Jaya. ISBN 9789794194966. OCLC 1057673447.
- Sumarlina, E.S.N.; Permana, R.S.M.; Darsa, U.A. (2019). The Role of Sundanese Letters as the One of Identity and Language Preserver. Surakarta: European Alliance for Innovation. hlm. 273–279.
- Sumarlina, E.S.N. (2009). Mengungkap kearifan lokal budaya Sunda yang tercermin dalam naskah dan prasasti. Bandung. OCLC 680676827.
Pranala luar
Bahasa Sunda Klasik
- Naskah Sunda Klasik di Kairaga.com
Bahasa Sunda Umum
- Pedoman Ejaan Bahasa Sunda Yang Disempurnakan
- Kamus Sunda-Indonesia Repositori Kemdikbud
- Kamus Bahasa Sunda-Inggris oleh F.S. Eringa
- Konverter Aksara Latin-Aksara Sunda di kairaga.com
- Tabel Karakter Unicode Aksara Sunda di unicode-table.com