Industri olahraga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Industri olahraga adalah suatu pasar dengan dimensi ekonomi yang menawarkan produk, layanan, tempat, dan gagasan yang terkait dengan olahraga, aktivitas untuk kebugaran tubuh, dan juga waktu luang yang ditawarkan kepada konsumen.[1]

Pemangku kepentingan[sunting | sunting sumber]

Pemerintah[sunting | sunting sumber]

Dunia industri—tidak terkecuali dengan industri olahraga—membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana, serta dalam bentuk kebijakan fiskal. Kebijakan infrastruktur diperlukan untuk mendukung perkembangan industri, sementara kebijakan fiskal diperlukan sebagai insentif yang dapat dianggap sebagai bantuan modal atau investasi bagi industri.[2]

Secara umum, pemerintah mesti terlibat dalam bidang olahraga yang dapat menghasilkan manfaat secara sosial, ekonomi, serta politik. Sebagai contoh, kegiatan olahraga selain menyehatkan badan, juga dapat mempererat interaksi sosial. Hal tersebut pun dapat memacu aktivitas ekonomi. Bagi pemerintah, kegiatan olahraga mampu menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kesetiakawanan antar sesama warga negara. Dengan adanya ikatan sosial semacam itu diharapkan masyarakat dapat membantu pemerintah dalam menyukseskan program-program pembangunan negara. Kebijakan pemerintah dalam olahraga sangat dibutuhkan. Pemerintah dapat berperan aktif mendukung olahraga dengan berbagai cara. Pertama, pemerintah memberikan dukungan dari segi dana serta sarana dan prasarana olahraga. Perbaikan dan pembangunan sarana olahraga bukan hanya sebagai perbaikan fasilitas saja, tetapi sebagai persiapan menyambut kejuaraan olahraga. Kedua, pemerintah dapat terlibat dalam kegiatan pengembangan olahraga seperti pembangunan pusat pelatihan serta fasilitas kesehatan bagi atlet. Ketiga, pemerintah dapat menciptakan program-program yang mengarah kepada ajakan untuk menerapkan pola hidup sehat. Keempat, pemerintah melalui regulasinya dapat mengatur masalah penggunaan doping beserta sanksinya.[3]

Campur tangan pemerintah menyangkut kepentingan olahraga sangat dipengaruhi oleh ideologi negara, nilai, serta falsafah negara dan lembaga negara. Ideologi pertama adalah konservatisme. Ideologi konservatis menekankan kepada tradisi serta hal-hal yang sudah lumrah dan diterima secara umum. Pemerintahan yang konservatis cenderung membuat aturan bagaimana masyarakat seharusnya hidup, dan menyensor jika ada karya seni yang dinilai menyimpang dari aturan. Sisi positif dari pemerintahan yang konservatif dalam bidang olahraga adalah pemerintah tidak segan untuk memberikan sanksi dan hukuman kepada atlet yang melanggar aturan, semisal memakai doping. Selain itu, pemerintahan yang konservatif percaya bahwa sektor swasta merupakan salah satu kunci kemajuan sehingga mereka mendukung serta melindungi industri melalui regulasinya. Namun demikian, dalam pandangan pemerintah yang konservatif, olahraga merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial, tidak semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Ideologi yang kedua adalah reformisme, atau biasa disebut dengan sosial demokrasi. Kaum reformis berpedoman pada kesejahteraan sosial dan kesetaraan. Pemerintahan yang reformis berusaha keras untuk menjadi sentral dalam segala urusan, dan kekuatan dari sentralisasi tersebut digunakan untuk mencapai rekayasa sosial secara positif. Kaum reformis menganggap bahwa olahraga dapat menjadi alat untuk pengembangan sosial dan karena berpedoman pada kesetaraan, maka mereka ingin agar olahraga menjadi bidang yang inklusif sehingga olahraga dapat diikuti oleh penyandang disabilitas, kaum migran yang berbicara dengan banyak bahasa, dan juga kaum perempuan. Kebijakan kaum reformis lebih mengarah kepada pengembangan olahraga di tingkat akar rumput masyarakat, bukan dikendalikan oleh kaum elit. Ideologi ketiga adalah neoliberalisme. Pemerintahan yang neoliberal memberikan kebebasan pada warganya untuk mengorganisir kehidupan sosial mereka serta berusaha mencari keuntungan tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintahan neoliberal tidak mengutamakan perusahaan milik negara karena mereka menganggap bahwa privatisasi akan mencapai efisiensi dan keuntungan yang besar, terlebih lagi mereka pun menerapkan deregulasi industri. Pemerintahan yang berpaham neoliberal menganggap bahwa olahraga merupakan salah satu kendaraan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah membuat suatu kebijakan olahraga terkait dengan kepentingan kaum elit untuk mengembangkan industri olahraga yang keuntungannya disalurkan untuk pengembangan komunitas olahraga. Ideologi yang keempat adalah sosialisme. Kaum sosialis beranggapan bahwa privatisasi serta pasar yang regulasinya tidak diatur oleh pemerintah akan mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi serta keterasingan kaum pekerja terhadap pekerjaannya. Mereka menganggap bahwa olahraga merupakan lembaga sosial yang sangat penting, dan peraturan mengenai olahraga sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah untuk menciptakan keadilan. Selain itu, bantuan pemerintah pun sangat dibutuhkan dalam hal pengembangan serta perbaikan fasilitas olahraga.[4]

Agar industri olahraga dapat berkembang, maka dibutuhkan kolaborasi atau kerja sama dari berbagai pihak seperti pemerintah—baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah—dalam mendukung kegiatan olahraga dan menyokong infrastruktur olahraga; perusahaan swasta; organisasi induk olahraga; klub pendukung atau penggemar atlet; serta media massa sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.[5]

Organisasi nirlaba[sunting | sunting sumber]

Keberadaan organisasi nirlaba atau swadaya masyarakat dapat mengisi celah antara swasta yang berorientasi kepada keuntungan dan pemerintah. Organisasi nirlaba harus pandai mencari dana secara mandiri karena tidak disokong oleh pemerintah, dan dalam menjalankan kegiatannya, organisasi tersebut memberdayakan para relawan.[3]

Biar bagaimanapun juga, organisasi nirlaba membutuhkan dana agar program-program organisasi dapat berjalan. Pengertian nirlaba dalam konteks ini bukan berarti tidak mencari keuntungan, namun prioritas utama organisasi bukanlah mencari keuntungan pribadi.[6]

Induk Organisasi[sunting | sunting sumber]

Induk organisasi berperan sebagai fasiltator dalam hal pembinaan para atlet serta pengelolaan kompetisi olahraga; sebagai pelindung serta pendukung para atlet maupun pihak yang terlibat dalam industri olahraga agar klub-klub olahraga bermunculan dan dapat dikembangkan oleh masyarakat. Kehadiran klub-klub olahraga swasta yang dikelola dengan baik dapat berkontribusi terhadap perkembangan industri olahraga dengan menciptakan ekosistem kompettitif di lingkungan pendidikan dan pelatihan keolahragaan.[7]

Perusahaan swasta[sunting | sunting sumber]

Pihak swasta yang akan membantu mendukung kegiatan olahraga merupakan salah satu faktor penting agar industri olahraga dapat berkembang dengan baik. Dukungan dari pihak swasta tidak sebatas dalam bentuk pembiayaan kegiatan olahraga, tetapi juga dalam hal pembinaan serta pendidikan atlet.[8]

Perusahaan sponsor yang baik bukan hanya memberikan kontribusi berupa dana, tetapi juga membantu menciptakan nilai-nilai positif yang membentuk merek. Upaya seperti ini lebih bersifat jangka panjang, sementara dukungan yang berupa dana hanya bersifat jangka pendek. Dukungan dari sponsor merupakan komitmen kedua belah pihak serta investasi yang berarti.[9]

Dukungan dari perusahaan sponsor sebaiknya tidak berhenti sampai acara olahraga selesai karena itu bentuk kerjasama jangka pendek. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan berbasis sponsor mesti mampu mengembangkan kerjasama jangka panjang. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk membangun kemitraan jangka panjang. Pertama, membangun merek yang tepat untuk memastikan bahwa pemasran lebih tertarget dengan menyasar kelompok tertentu dengan cara yang benar. Kedua, menghitung nilai pengembalian investasi. Analisis ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencapai efisiensi pemasaran sehingga kemitraan dapat terus berjalan.[10]

Pendapatan dari bisnis olahraga[sunting | sunting sumber]

Penjualan tiket pada kejuaraan olahraga ataupun penjualan cendera mata merupakan sumber pendapatan di bidang olahraga. Namun demikian, perlu dipertimbangkan pemasukan yang lain sehingga riset pasar dibutuhkan agar dapat diketahui apa yang diinginkan oleh para penggemar olahraga. Entitas olahraga pada umumnya merupakan organisasi nirlaba yang mendapat sokongan dana dari banyak pihak, dan dana tersebut akan berguna demi keberlangsungan olahraga di masa mendatang.[11]

Adanya pandemi COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2000, menyebabkan kegiatan olahraga dibatasi dengan alasan untuk mencegah penyebaran virus corona, baik itu olahraga profesional yang dilakukan oleh para atlet maupun olahraga yang dilakukan oleh bukan atlet untuk menjaga kesehatan. Adanya peraturan mengenai pembatasan sosial menyebabkan pusat kebugaran, stadion olahraga, studio senam, serta kolam renang umum menjadi sepi pengunjung; namun di balik itu semua, angka penjualan alat-alat olahraga yang dipakai di rumah meningkat pesat.[12]

Ada beberapa karakteristik unik dari produk dan jasa olahraga. Pertama, Olahraga merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Olahraga merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang bergerak dinamis sehingga tidak bisa diandaikan seperti minuman penyegar yang dikemas dengan botol. Masing-masing penggemar olahraga memaknai pertandingan olahraga secara berbeda-beda sekalipun acaranya sama-sama ditonton. Kedua, Adanya keterikatan emosional antara tim olahraga dengan para penggemarnya. Produk olahraga yang dimiliki oleh para penggemar merefleksikan seberapa besar kecintaan mereka kepada atlet kebanggaannya. Ketiga, Komoditas yang mudah rusak. Setiap ada acara olahraga, maka cendera mata olahraga bernilai jual tinggi. Ketika acara olahraga sudah berlalu, maka nilai jualnya menjadi turun, terutama jika tim olahraga kebanggan penggemar mengalami kekalahan. Keempat, Tidak dapat diprediksi. Tim olahraga kebanggaan para penggemar suatu saat akan mengalami kekalahan, tidak akan terus berjaya sepanjang waktu.[13]

Program komunitas[sunting | sunting sumber]

Peluang komunitas untuk bisa berkembang terjadi karena adanya interaksi yang sehat, baik itu antar anggota komunitas sendiri maupun dengan pihak luar sehingga diharapkan komunitas yang sedang berkembang tersebut dapat berkontribusi di masyarakat. Beberapa contoh program komunitas olahraga adalah program edukasi, perkemahan olahraga, pengembangan olahraga di sekolah, penghargaan olahraga, acara perjamuan makan, turnamen olahraga.[14]

Keanggotaan/membership[sunting | sunting sumber]

Beberapa organisasi olahraga mendapatkan keuntungan dari keanggotaan aktif. Selain itu, lapangan golf dapat dipakai untuk acara turnamen ataupun acara piknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.[15]

Inventaris elektronik[sunting | sunting sumber]

Sumber pemasukan dari inventaris elektronik saat ini tidak sebatas hanya dari iklan di televisi maupun di radio, namun juga berasal dari pemanfaatan platform pemasaran digital seperti blog ataupun media online; semua kanal media sosial; periklanan digital, baik yang gratis dan dikembangkan secara organik maupun yang berbayar; pemasaran melalui video atau konten; pembuatan aplikasi olahraga.[15]

Pemasaran produk dan jasa olahraga melalui laman di internet dapat menjangkau konsumen dari berbagai penjuru, serta agar proses penyampaian produk dan jasa ke tangan konsumen menjadi lebih efektif, dan dengan catatan bahwa laman olahraga tersebut dilengkapi dengan platform pembayaran yang tidak rumit dan mempersulit konsumen.[16]

Sokongan dana[sunting | sunting sumber]

Sumber dana dapat berasal dari donatur, perusahaan, yayasan, maupun dukungan dari masyarakat. Sementara itu, metode pendanaan dapat berupa pengajuan proposal, hadiah tahunan, maupun penyelenggaraan kegiatan yang membutuhkan dukungan dari sponsor.[17]

Hak paten[sunting | sunting sumber]

Beberapa organisasi olahraga menjual hak patennya atas penamaan stadion atau arena olahraga, fasilitas latihan, baju sepakbola, kolam renang, taman komunitas, serta ruang publik.[17]

Inventaris[sunting | sunting sumber]

Meskipun sesuatu yang tercetak di era seperti sekarang ini bisa didapatkan dalam bentuk digital, tetapi beberapa organisasi olahraga masih mendapatkan pemasukan dari sesuatu yang tercetak seperti buletin atau majalah olahraga, tiket, brosur mengenai profil organisasi, dan sebagainya.[18]

Logo olahraga[sunting | sunting sumber]

Sering dijumpai logo olahraga berdampingan dengan logo dari perusahaan sponsor dalam bentuk spanduk, poster, papan iklan, dan sebagainya yang terdapat di stadion olahraga maupun di tempat-tempat umum.[18]

Tiket dan penginapan atlet[sunting | sunting sumber]

Pemasukan dari industri olahraga yang terbilang cukup besar meskipun bersifat musiman karena tiket dan penginapan atlet dipersiapkan terutama jika ada kejuaraan atau pertandingan, baik tingkat daerah, kota, provinsi, nasional, maupun internasional.[19]

Waralaba olahraga[sunting | sunting sumber]

Waralaba olahraga menjadi salah satu sumber pemasukan yang menjanjikan dalam industri olahraga karena potensi untuk balik modal cukup besar meskipun secara tidak langsung. Beberapa mitra waralaba menginvestasikan modal awal, lalu ada sistem bagi hasil dengan pemilik waralaba sehingga keuntungan yang didapat bersifat tidak langsung.[20]

Pemasaran Olahraga[sunting | sunting sumber]

Filosofi pemasaran olahraga[sunting | sunting sumber]

Filosofi pemasaran olahraga adalah tentang strategi menang-menang dengan menaruh kebutuhan dan keinginan konsumen di titik sentral pengambilan keputusan yang beririsan dengan target dari perusahaan atau industri olahraga.[21]

Ada sembilan prinsip dari pemasaran olahraga. Pertama, pemasaran lebih dari promosi, iklan atau taktik penjualan. Kedua, tujuan pemasaran adalah mengubah strategi saat konsumen sudah bosan dengan produk atau jasa. Ketiga, pemasaran olahraga merupakan perencanaan posisi merek dalam pasar, dan menciptakan keterikatan dengan konsuen melalui merek. Keempat, pemasaran olahraga dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pemasaran produk dan jasa olahraga, serta pemasaran melalui kegiatan olahraga. Kelima, filosofi pemasaran olahraga adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Keenam, pemasaran olahraga merupakan perpaduan antara menemukan peluang, merancang strategi, merencanakan taktik, serta melakukan dan mengevaluasi perencanaan pemasaran olahraga.· Ketujuh, pemasaran olahraga dapat dilihat secara filosofis karena berlandaskan nilai-nilai, prinsip, ataupun pedoman di dalam menjalankan fungsi pemasaran. Kedelapan, prinsip pemasaran olahraga untuk diimplementasikan ke dalam kerangka kerja pemasaran olahraga. Kesembilan, kerangka kerja pemasaran olahraga meliputi beberapa tahap yaitu mengidentifikasi peluang dari pemasaran olahraga; mengembangkan strategi pemasaran; merencanakan bauran pemasaran; melaksanakan rencana serta mengontolnya agar sesuai dengan rencana awal.[22]

Seorang pemasar olahraga yang cerdas tentu akan mempertimbangkan beberapa hal terkait pemasaran berdasarkan rumus 5W dan 1H (who/siapa, what/apa, when/di mana, where/kapan, why/mengapa, dan how/bagaimana)

  • WHO.

Siapa yang menjadi pelanggan, baik di masa lalu, sekarang, atau di masa mendatang berdasarkan faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, besarnya pendapatan; faktor geografis, serta faktor psikografis.[23]

  • WHERE, WHEN, HOW.

Di mana, kapan, dan bagaimana pelanggan memakai produk dan jasa olahraga.[23]

  • WHAT.

Apa media sosial yang sering dipakai oleh pelanggan. HOW, WHY. Bagaimana dan mengapa pelanggan merasa terikat dengan produk atau jasa yang ditawarkan.[23]

  • WHY.

Jika ada pelanggan yang loyal, mengapa ada pula yang tidak loyal/berpindah ke merek lain?[23]

Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunties, and threats) sangat berguna untuk memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, serta hambatan yang ada secara matang sebelum memulai menjalankan bisnis di bidang olahraga.[24]

Kekuatan mesti ditonjolkan; kelemahan harus dapat diatasi; peluang harus dicari sebaik mungkin; serta hambatan sebisa mungkin dihindari. Analisis SWOT ini dipakai untuk menentukan target yang akan dicapai dalam usaha pemasaran olahraga. Target pemasaran olahraga mencakup tiga hal. Pertama, besarnya keuntungan yang ingin didapat menentukan harga jual produk. Kedua, potensi pemasukan di masa mendatang harus dipikirkan secara matang agar dapat diketahui seperti apa produk dan jasa yang akan ditawarkan nantinya. Ketiga, untuk menentukan besarnya pangsa pasar yang akan disasar, maka harus dilakukan analisis pesaing usaha/kompetitor secara matang dan mendalam.[25]

Proses pemasaran olahraga[sunting | sunting sumber]

Proses pemasaran olahraga terdiri dari empat fase : analisis, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian. Informasi merupakan landasan awal dalam menganalisis pemasaran bisnis olahraga di mana pada fase ini data yang relevan dikumpulkan dan ditarik kesimpulan sebagai pedoman di tahap perencanaan. Tahap perencanaan merupakan fase di mana tujuan dari pemasaran olahraga ditentukan berdasarkan target. Tujuan dari pemasaran dibagi ke dalam dua jenis, ada tujuan jangka pendek (dalam waktu 1 tahun) dan tujuan jangka panjang (antara 2-3 tahun), dan ini sudah masuk ke dalam fase pelaksanaan di mana teori mengenai bauran pemasaran/marketing mix dijalankan. Fase pengendalian dibutuhkan agar target dicapai sesuai dengan rencana semula. Jika ada hal-hal yang terjadi di luar perencanaan, maka perlu dilakukan penyesuaian; namun hal-hal yang sudah sesuai dengan rencana awal, hanya perlu dilanjutkan saja.[26]

Bauran pemasaran/marketing mix[sunting | sunting sumber]

Ada tujuh macam bauran pemasaran/marketing mix yang dapat diterapkan dalam industri olahraga. Pertama, Product. Karakteristik dari produk harus sesuai dengan kebutuhan dari konsumen yang disasar. Kedua, Price. Harga produk harus sesuai dengan ekspektasi dari konsumen. Jika segmen pasarnya adalah konsumen kalangan menengah ke atas sementara harga produk terlalu murah, maka konsumen akan menganggap barang yang ditawarkan kurang berkualitas. Ketiga, Place. Produk harus disalurkan ke tempat yang cocok dan pada waktu yang sesuai sehingga terjadi transaksi penjualan. Keempat, Physical evidence. Ini terkait dengan kemasan untuk menaikkan nilai jual produk maupun jaminan terhadap produk itu sendiri. Kelima, Process. Proses harus selalu diperhatikan agar kualitas produk terjamin dan dikirim tepat waktu serta adanya garansi produk. Keenam, People. Adanya tanggungjawab untuk memastikan kualitas dari produk atau jasa olahraga. Ketujuh, Promotion. Mempromosikan produk dan jasa baik secara daring maupun luring.[27]

Segmentasi pasar[sunting | sunting sumber]

Penonton acara olahraga balap di televisi tentu berbeda dengan orang awam yang gemar bermain golf. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya menentukan segmentasi pasar sehigga dapat diketahui produk dan jasa seperti apa yang cocok dengan konsumen. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membidik konsumen khusus olahraga. Pertama, apa saja yang dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan. Kedua, seberapa sering produk olahraga digunakan. Ketiga, faktor demografis seperti usia; pendidikan; besarnya pendapatan; jenis kelamin; dan lain sebagainya. Keempat, faktor psikografik seperti gaya hidup; kegemaran; serta pola pikir.[28]

Ada empat macam segmentasi yang bisa diterapkan pada bidang pemasaran olahraga. Pertama, segmentasi demografis. Yang termasuk faktor-faktor demografis adalah usia, jenis kelamin, besarnya penghasilan, serta gaya hidup. Kedua, segmentasi geografis baik di tingkat daerah, provinsi, nasional, maupun internasional. Segmentasi geografis ini ditentukan bukan di mana orang tinggal, tetapi di mana orang bekerja. Ketiga, segmentasi psikografis meliputi aktivitas yang biasa dilakukan, kegemaran, serta pola pikir. Generasi Y yang lahir antara tahun 1982-2003 lebih menyukai olahraga secara fisik, sementara generasi setelahnya lebih menyukai permainan elektronik. Keempat, segmentasi perilaku untuk menganalisis seberapa sering konsumen memakai produk atau jasa olahraga, serta berapa banyak yang dibelanjakan untuk membeli produk dan jasa tersebut.[29]

Ekuitas Merek[sunting | sunting sumber]

Pemberian merek pada suatu produk sangat penting untuk membedakannya dari produk lain yang sejenis di pasaran. Suatu merek haruslah diingat oleh konsumen sehingga ekuitas merek didapatkan dari kemempuan sebuah merek untuk menciptakan kesan yang baik di benak konsumen.[30]

Ekuitas merek—dalam konteks olahraga—mengacu kepada nilai-nilai di mana para penggemar merasa terikat dengan nama dan simbol tim kebanggaannya. Jika mereka sudah merasa puas atau senang, harapannya adalah mereka menjadi pelanggan setia, dengan demikian diharapkan mereka akan melakukan order ulang. Ekuitas merek mencakup tiga hal yaitu kualitas, kesadaran dari penggemar atau memori tentang merek, asosiasi terhadap merek, dan kesetiaan terhadap merek.[31]

Salah satu hal yang paling krusial dan mendasar dalam membangun ekuitas merek adalah tim olahraga terlebih dahulu harus meningkatkan prestasinya, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Selain itu, nama baik dari manajer tim olahraga pun mempengaruhi ekuitas merek.[32]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Global, IGI. "What is Sports Industry". Diakses tanggal 1 Maret 2022. 
  2. ^ Nugroho, Sigit (2019). Industri_Olahraga. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. hlm. 27. ISBN 978-602-498-056-6. 
  3. ^ a b Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Routledge: New York. hlm. 20. ISBN 978-1-315-77676-7. 
  4. ^ Hoye, Rusell (2015). Sport Management (PDF). New York: Routledge. hlm. 21–23. ISBN 978-1-315-73337-1. 
  5. ^ Nugroho, Sigit (2019). Industri Olahraga. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. hlm. 16–17. ISBN 978-602-498-056-6. 
  6. ^ Hoye, Rusell (2015). Sport Management (PDF). New York: Routledge. hlm. 34. ISBN 978-1-315-73337-1. 
  7. ^ Nugroh, Sigit (2019). Industri_Olahraga. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. hlm. 18. ISBN 978-602-498-056-6. 
  8. ^ Nugroho, Sigit (2019). Industri Olahraga. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. hlm. 17–18. ISBN 978-602-498-056-6. 
  9. ^ New Zealand, Sport. "Sport Sponsorship" (PDF): 3. 
  10. ^ Shank, Matthew D (2015). Sports Marketing. New York: Routledge. hlm. 101. ISBN 978-1-315-79408-2. 
  11. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 8–9. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  12. ^ Vukasovic, Tina (2021). Analysis of Consumer Buying Behaviour When Buying Sports and Leisure Products During the COVID-19 Pandemic, dalam A. Faganel (ed) Impacts and Implications for the Sports Industry in the Post-COVID-19 Era. IGI Global. hlm. 74. ISBN 9781799867821. 
  13. ^ Mullin, Bernard J (2014). Sport Marketing. Human Kinetics. hlm. 20–21. ISBN 978-1-4504-2498-1. 
  14. ^ Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 11–12. ISBN 9781492594239. 
  15. ^ a b Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 13. ISBN 9781492594239. 
  16. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 61. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  17. ^ a b Shonk, david J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 17. ISBN 9781492594239. 
  18. ^ a b Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 18. ISBN 9781492594239. 
  19. ^ Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 20. ISBN 9781492594239. 
  20. ^ Zimbalist, Andrew (2011). Sport As Business, dalam S.R. Rosner (ed) The Business of Sports. Jones and Bartlett. ISBN 978-0-7637-8078-4. 
  21. ^ Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Routledge. hlm. 8. ISBN 978-1-315-77676-7. 
  22. ^ Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Human Kinetics: 978-1-315-77676-7. 
  23. ^ a b c d Dees, Windy (2022). Sport Marketing. Human Kinetics. hlm. 44. ISBN 978-1-4925-9462-8. 
  24. ^ Horrow, Rick (2020). The Sport Business Handbook. Human Kinetics. hlm. 14. ISBN 9781492543114. 
  25. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 52–53. ISBN 9780857250902. 
  26. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 9–10. ISBN 9780857250902. 
  27. ^ Shilbury, David (2020). Strategic Sport Marketing. New York: Routledge. hlm. 7. ISBN 9781743314777. 
  28. ^ Milne, George R (1999). Sport Marketing. Toronto: Jones and Bartlett Publishers Canada. hlm. 3. ISBN 0-7637-0873-9. 
  29. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 45–49. ISBN 9780857250902. 
  30. ^ Brumello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 2. 
  31. ^ Brunello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 4. 
  32. ^ Brunello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 4.