Djoko Suryo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Djoko Suryo atau KRT Suryohadibroto (lahir 30 Desember 1939) adalah guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Namanya dikenal sebagai sejarawan yang telah berkiprah melalui penelitiannya, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Djoko Suryo merupakan salah satu tim perumus kurikulum pendidikan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, baik dalam lingkungan direktorat pendidikan tinggi/Dikti untuk kurikulum universitas, maupun kurikulum dasar dan menengah, termasuk untuk mata pelajaran sejarah. Atas pengabdiannya kepada Keraton Yogyakarta, dia mendapatkan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).

Masa kecil[sunting | sunting sumber]

Djoko Suryo lahir di Karanganyar, Pekalongan, Jawa Tengah, pada 30 Desember 1939. Pekalongan merupakan daerah yang identik dengan kultur santrinya, selain sebagai daerah penghasil batik. Di sana banyak berdiri pesantren. Kondisi itu turut memberikan pengaruh terhadap keseharian Djoko. Tidur di masjid, saling berebut alas kepala untuk tidur seusai mendaras kitab di malam hari, tinggal di pondok pesantren dan menyalami tangan kiai, adalah pengalaman-pengalaman yang menghiasi dunia masa kecilnya. Setiap pagi hari, Djoko kecil bersekolah di sekolah umum dan dilanjutkan di madrasah pada sore harinya.

Djoko mengikuti sekolah di sekolah umum karena dorongan sang ayah, Sjaba’an, dan ibunda, Siti Chodidjah. Sang ayah menekankan kepadanya untuk mengikuti sekolah umum dan juga sekolah madrasah karena memang sejak awal ia diharapkan dapat menjadi seorang guru yang berpendidikan. Sang ayah yang berprofesi sebagai petani merangkap pamong desa, selalu mendorongnya, satu dari enam anaknya, untuk terus belajar guna merealisasikan harapan mulia sang ayah.

Menuju Yogyakarta[sunting | sunting sumber]

Riwayat pendidikan Djoko Suryo dimulai di Sekolah Rakyat Karanganyar yang ditamatkan pada 1953. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, ia melanjutkan ke Sekolah Guru B (SGB) selama empat tahun di Wiradesa, Pekalongan, dan lulus pada 1956. Nilainya saat lulus dari SGB tergolong baik sehingga disarankan untuk melanjutkan ke Sekolah Guru A (SGA) di Yogyakarta. Ia berhasrat sekali melanjutkan belajar ke kota ini. Ia kemudian lulus dari SGA Yogyakarta yang saat itu bertempat di Jetis (kini menjadi SMA 11) pada tahun 1959. Segera setelah kelulusan ia memutuskan untuk mengajar.

Pengalaman mengajar pertama kali diperolehnya dengan menjadi guru Sekolah Dasar di Widoro, sebuah desa yang terletak di bukit di daerah Wates pada 1959-1962. Sekolah itu terletak di sebuah lereng bukit yang harus ditempuhnya dengan bersepeda sejauh sekitar 10 km dari kota Wates, ditambah 2 kilo berjalan kaki sambil menyeberangi sungai. Di daerah inilah ia menyelami benar kehidupan anak-anak dari keluarga miskin, yang meski dalam kondisi semacam itu, mereka sangat bersemangat belajar. Hal yang membanggakannya adalah ia mampu meluluskan 100% muridnya. Keberhasilan itu bukanlah hal yang mudah. Dengan menambah jam belajar hingga siang agar dapat menyampaikan pelajaran secara mendalam dan detail, serta penyampaian dibuat semenarik mungkin, adalah beberapa strategi yang dilakukannya.

Hanya dua tahun mengabdi di Widoro, Djoko Kemudian pindah ke Sekolah Dasar di Kulon Progo pada 1962-1964. Pada 1964 ia pindah tugas ke daerah Payak, Piyungan, Bantul, sekitar setahun setelah pernikahannya. Niatnya untuk pindah itu sempat menuai kesulitan. Saat ia mengajukan proposal kepindahan ke inspektur pendidikan, ternyata inspektur tersebut menerimanya dengan kurang baik. Padahal telah dijelaskan olehnya bahwa niatan itu muncul karena ia berniat melanjutkan kuliah dan berharap bisa dekat dengan kota Yogyakarta untuk kepentingannya itu. Inspektur tersebut malah berkata bahwa jika alasannya karena sakit, misalnya TBC, mungkin saja bisa diterima. Lebih jauh lagi, inspektur tersebut menantang Djoko untuk memilih salah satu, bersekolah atau bekerja.

Peristiwa itu sangat membekas dalam hati Djoko muda. Ia menjadi berpikir apakah demikian seharusnya sikap seorang pembesar terhadap bawahannya yang justru berniat melanjutkan sekolah. Dalam hati ia berujar untuk tidak akan bersikap seperti itu jika nantinya menjadi “orang besar”. Kejadian itu tidak membuatnya menyerah. Ia tetap mengajukan proposal tersebut, dan akhirnya ia dapat pindah mengajar di Sekolah Dasar di Payak, Piyungan, Bantul.

Selama mengajar di sekolah, ia sekaligus belajar di bangku kuliah. Jurusan sejarah dipilihnya sebab alasan senang. Tiga mata pelajaran yang disukainya semasa sekolah adalah sejarah, sastra Indonesia, dan ilmu pendidikan. Ia sempat dihadapkan atas dua pilihan, sejarah ataukah sastra Indonesia, ketika hendak masuk ke UGM. Namun segera dipilihnya sejarah.

Ia mula-mula masuk di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan selama satu tahun, selanjutnya pindah ke jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Selama menjadi guru-mahasiswa, ia sangat setia mengayunkan sepeda sebagai alat transportasinya ulang-alik menuju sekolah-kampus. Ia berangkat subuh ke Sekolahnya di Wates, segera selepas mengajar melesatkan sepedanya ke Yogyakarta guna mengikuti kuliah. Sore harinya ia kembali lagi ke Wates agar esok paginya dapat menjumpai murid-muridnya yang ceria di sekolah. Enam puluh kilometer pulang-pergi ditempuhnya setiap hari. Demikian juga saat mengajar di Payak, Piyungan. Beristirahat di tengah jalan sambil menikmati semilir angin di pinggir sawah, makan di sebelah irigasi, dimanfaatkannya juga untuk membaca buku. Ia berusaha memanfaatkan waktu dengan cermat di tengah kesibukan belajar-mengajarnya.

Gelar sarjana muda diperolehnya pada tahun 1965, dan dengan ijazah itu ia diangkat menjadi asisten dosen di jurusan tersebut bersamaan dengan Kuntowijoyo. Sementara Suhartono yang dua angkatan sebelum mereka juga bersamaan menjadi asisten di jurusan Sejarah, yang kala itu berkampus di Yudonegaran. Lulus Sarjana pada tahun 1970 Djoko menulis tugas akhirnya dengan judul “Perdagangan Candu di Indonesia pada Abad XIX”, Kuntowijoyo menulis tentang Borjuasi Eropa, dan Suhartono sejarah Indonesia periode Jepang. Tiga orang generasi muda inilah yang selalu “runtang-runtung” dan dikader benar oleh Sartono Kartodirdjo. Bersama dosen-dosen yang lain seperti Ibrahim Alfian, Darsiti, Tjipto, dan Sudharmono, mereka memiliki tradisi diskusi setiap bulan terutama dari buku-buku baru yang dibawa oleh Sartono setiba dari studinya di Belanda tahun 1966.

Ketika pada awal tahun 1970-an berdiri Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan yang diprakarsai oleh Sartono, Djoko ditarik ke lembaga tersebut guna membantunya dalam penelitian. Di lembaga inilah ia diarahkan mendalami sejarah Pedesaan, sejarah Pembangunan, dan sejenisnya. Beberapa nama seangkatannya di lembaga ini adalah Nasikun, Nopirin, dan Suhardjo dari Fakultas Sospol. Mereka ini kemudian diorientasikan meneruskan studinya keluar negeri.

Pengalaman Djoko dalam mengasisteni Sartono semakin intens ketika pada tahun 1972 dilaksanakan Kongres Sejarah. Ia bertugas di bagian reproduksi. Kelanjutan dari itu adalah penulisan buku berjilid Sejarah Nasional Indonesia yang dikoordinatori oleh Sartono. Kembali dalam proses penyusunan buku tersebut, Djoko membantunya. Di sinilah ia belajar bagaimana menyusun program, menyusun paradigma, visi sejarah, dan bagaimana semua desain itu diterapkan dalam penulisan. Demikian juga saat Sartono menulis buku Protest Movement in Rural Java, Djoko diminta untuk membantu mencarikan bahan-bahannya di berbagai perpustakaan.

Studi ke luar negeri[sunting | sunting sumber]

Masuknya Djoko ke dalam jaringan internasional para sejarawan bermula dari sebuah seminar International Association of Historians of Asia (IAHA) pada tahun 1974. Ia menyajikan paper yang kemudian diterbitkan oleh LIPI dengan judul, “Some Notes on the Tiga Daerah Affair: a Local Event in The Early Indonesian Revolution”. Paper ini merupakan hasil risetnya ketika mendampingi Anton Lucas meneliti untuk kepentingan disertasi. Sartono lah yang memintanya mendampingi ketika Anton Lucas meminta saran kepadanya dalam pemilihan tema tentang “Peristiwa Tiga Daerah” itu. Paper itu menarik perhatian Prof. John D. Legge sehingga menawarinya agar mendaftar studi ke Monash, Australia.

Kurun waktu 1977 hingga 1982 Djoko menjalani studi di Monash University untuk S2 sekaligus diteruskan S3. Ia mengambil topik sosial ekonomi dalam sejarah Semarang, tidak terlepas dari perhatiannya ketika berada di lembaga asuhan Sartono, LSPK. Pada periode inilah beberapa staf LSPK meneruskan studinya ke luar negeri dengan beasiswa dari Rockefeller Foundation, yang tentu saja tidak terlepas dari prakarsa Sartono. Di antaranya adalah Moeljarto Tjokrowinoto (Pittsburg), Loekman Soetrisno (Cornell), Kuntowijoyo (Yale), Nasikun (Michigan), Djoko Suryo (Monash), Soegijanto Padmo (ANU), dan Soegihardjo (Paris).

Kontribusi untuk UGM dan dunia keilmuwan[sunting | sunting sumber]

Sekembali dari Australia, Djoko mengabdi kembali di UGM. Sekitar setahun aktif lagi di Jurusan, ia langsung menjabat sebagai Ketua Jurusan Sejarah UGM hingga tahun 1991. Keberadaannya sebagai staf LSPK masih bertahan. Saat itu juga ia menjadi staf ahli di Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial. Di lembaga inilah ia bertemu (kembali) dengan beberapa koleganya, seperti Ichlasul Amal, Nasikun, dan Mochtar Masoed. Pada tahun 1984-1994 ia menjadi ketua Divisi studi Pedesaan PAU, bertanggung jawab dalam mengorganisasi latihan penelitian para dosen muda dan penelitian-penelitian yang diselenggarakan di lembaga itu.

Di bawah naungan lembaga PAU itulah, pada tahun 1988 disertasinya di diterbitkan dengan judul Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang, 1830-1900. Penerjemahannya dilakukan oleh kolega mudanya di Jurusan Sejarah UGM, Andry L Nurtjahjo dan Machmoed Effendhie. Disertasi itu satu dari beberapa disertasi para sejarawan di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada dalam bidang sosial(-ekonomi). Selain pendekatan multidimensional, aspek ini memberi ciri khas pada studi sejarah di UGM.

Untuk menyebut beberapa nama mereka yang telah mengembang-tradisikan studi sejarah sosial-ekonomi atau secara umum sejarah agraria adalah dimulai dari Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (alm), berlanjut dengan Prof. Dr. Djoko Suryo, Prof. Dr. Suhartono, Prof. Dr. Kuntowijoyo (alm), Prof. Dr. Soegijanto Padmo (alm), dan beberapa penerus mudanya, Dr. Harlem Siahaan, Prof. Dr. Bambang Purwanto, Dr. Nur Aini Setyawati, Dr. Sri Margana dan Drs. Machmoed Effendhie, M.Hum.

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo telah membawa perubahan baru dalam historiografi Indonesiasentris. Tidak hanya mengajukan pendekatan dan perspektif baru, namun tema-tema kajiannya juga dinilai rintisan dalam sejarah kaum tani di Indonesia. Prof. Dr. Djoko Suryo melihat bagaimana pengaruh ekonomi modern dan segenap modus kapital masuk dan mengubah sebuah wilayah (Semarang), penduduk dan kehidupan sosial-ekonominya. Prof. Dr. Kuntowijoyo menunjukkan pentingnya geographic-historical process (perpaduan politik dan ekologi) di atas ranah spesifik agraria Madura. Prof. Dr. Suhartono berkonsentrasi pada hubungan antara struktur penguasaan tanah dalam model tradisional dan apa perubahannya terhadap struktur kekuasaan desa ketika sistem penguasaan tanah model modern diterapkan. Sementara Prof. Dr. Soegijanto Padmo telah menyajikan narasi sejarah tentang dinamika gerakan sosial (kaum tani) dalam merespon kebijakan agraria level lokal. Dalam perkembangannya, status pengetahuan (state of the art) disiplin ilmu sejarah di UGM telah demikian berkembang melalui berbagai tema/aspek, perspektif, dan pendekatan yang berbeda-beda.

Pada tahun 1991 ia mendapat amanat menjadi Dekan Fakultas Sastra UGM. Ia menjabat dalam dua periode hingga tahun 1997. Kesemua wakilnya di dekanat saat itu untuk periode berikutnya juga menjadi dekan. Mereka adalah Prof. Dr. Chamamah Soeratno, Prof. Dr. Sjafri Sairin, dan Prof. Dr. Syamsul Hadi. Prof. Dr. Djoko Suryo memilih stafnya berurutan dari yang muda di bawahnya, hingga yang lebih muda lagi. Dengan pemilihan semacam itu regenerasi yang diharapkannya dapat berjalan baik.

Untuk mendukung dan memperluas perkuliahan, pada periode ketika ia menjadi dekan, dibukalah perkuliahan bahasa Korea pada tahun 1995. Mengingat bahwa Fakultas Sastra sebenarnya telah mempunyai hubungan lama dengan Hankuk University sejak 1966, maka kerja sama membuka program studi Korea relatif tidak mendapat kendala bahkan memperoleh dukungan positif. Tenaga pengajar dari Korea diperbantukan di program studi yang masih baru ini. Selepas menjadi dekan, pada tahun 1998 ia menempati posisi sebagai ketua pada Pusat Studi Korea, UGM, lembaga yang ikut didirikannya pada tahun 1996.

Sejak tahun 2003 Djoko Suryo dipercaya sebagai Ketua Bidang Humaniora Pascasarjana UGM. Ia bertanggung jawab atas penyelenggaraan studi mahasiswa S2-S3 dalam berbagai program yang tercakup dalam bidang humaniora: sejarah, antropologi, arkeologi, lingustik, sastra, filsafat, seni pertunjukan, American Studies.

Di tingkat rektorat ia terpilih menjadi anggota Majelis Wali Amanah (MWA) ketika status kelembagaan UGM ditetapkan sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Periode transisi ini memberi tantangan yang cukup berat bagaimana di satu sisi mempertahankan visi sebagai universitas nasional yang berorientasi kerakyatan dan di sisi lain UGM tumbuh sebagai universitas yang mandiri. Salah satu kontribusi Prof. Dr. Djoko Suryo dalam kelembagaan ini adalah menjadi ketua panitia seminar pelurusan reformasi.

Keterlibatannya di level nasional adalah dalam penyusunan kurikulum pendidikan di Depdiknas, baik yang ada di dalam direktorat pendidikan tinggi/DIKTI untuk kurikulum universitas maupun kurikulum dasar (termasuk untuk mata pelajaran sejarah). Untuk pendidikan dasar hingga SMA ia telah aktif sejak tahun 1980-an hingga 1990-an. Ia misalnya turut bertanggung jawab dalam penyusunan kurikulum pendidikan 1994 untuk mata pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA. Dalam penyempurnaan kurikulum 2004 terkait bidang sejarah pula, ia diminta dan ditunjuk kembali agar terlibat oleh Depdiknas. Beberapa tema/isu dalam mata pelajaran itu tidak henti-hentinya memunculkan kontroversi.

Untuk perguruan tinggi, ia menjadi anggota konsorsium bidang sastra dan filsafat sejak tahun 1988. Kelembagaan ini, yang kemudian namanya berubah menjadi Dewan Disiplin llmu, menangani masalah kurikulum di perguruan tinggi khususnya bidang filsafat dan sejarah. Penyusunan (kembali) buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV yang dilakukan sejak 2003 juga merupakan tanggung jawab yang diembannya. Ia duduk sebagai editor sekaligus penulis.

Gelar kehormatan[sunting | sunting sumber]

Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat menganugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) kepada Prof. Dr. Djoko Suryo atas jasa dan kontribusinya terhadap Keraton dan Yogyakarta. Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat memberikan nama paringan (pemberian) KRT Suryohadibroto.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]