Azwar Anas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 April 2013 15.21 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q4833142)
Azwar Anas
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia 5
Masa jabatan
17 Maret 1993 – Januari 1998
PresidenSoeharto
Menteri Perhubungan Republik Indonesia 21
Masa jabatan
23 Maret 1988 – 17 Maret 1993
PresidenSoeharto
Gubernur Sumatera Barat 4
Masa jabatan
1977 – 1987
Informasi pribadi
Lahir2 Agustus 1933 (umur 90)
Belanda Padang, Sumatera Barat, Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letjen (Purn) Ir. Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman (lahir 2 Agustus 1933) adalah mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998). Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Sebelumnya dia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-1987).

Kehidupan

Kehiduapan awal

Azwar Anas lahir pada 2 Agustus 1931 di Padang, yang ketika itu merupakan bagian dari Keresidenan Sumatera Barat, Hindia-Belanda. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Anas Malik Sutan Masabumi (ayah) dan Rakena Anas (ibu), yang memiliki sepuluh orang anak. Ayahnya yang masih memiki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung terakhir, yakni Sutan Bagagarsyah, bekerja sebagai kepala perbengkelan kereta api di Simpang Haru, Padang, sementara ibunya yang hanya tamatan SD berasal dari Koto Sani, Solok. Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya telah memperoleh seorang anak dari istri pertama yang kemudian diceraikannya, tetapi kehidupan mereka tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun telah bercerai.[1][2]

Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam dengan didikan ayah yang berwatak keras tetapi disiplin dan didampingi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberikan nasihat akan pentingnya agama dan tanggung jawab. Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarganya di Mato Aie dalam sebuah rumah yang dibangun di pinggang bukit di tepi Jalan Raya Padang–Teluk Bayur. Tidak seperti kebanyakan anak ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia-Belanda), ia bersama kakak dan adiknya tidak dimasukkan ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan dimasukkan ke HIS Adabiyah School, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.[3]

Kampung Jawa, Padang pada masa Hindia-Belanda

Ketika masih berusia kanak-kanak, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk membantu meringankan ekonomi keluarganya yang sedang sulit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia pernah berdagang kayu untuk kemudian dijual ke pasar Kampung Jawa dan berjualan ikan, bahkan sebelumnya ia juga pernah berjaja pisang goreng di Mato Aie setiap pagi.[4] Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, setelah tamat dari HIS Adabiyah, ia masih bisa meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi; ia masuk ke sekolah bentukan Jepang yang disebut Chu Gakko (setingkat SMP).[5]

Masa awal kemerdekaan

Berita diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru disebarluaskan ke Padang oleh Muhammad Sjafei sekitar akhir bulan Agustus.[6] Namun pada 10 Oktober 1945, tentara Sekutu, yang semula ditugaskan untuk melucuti serdadu Jepang dan mengambil para tawanan Jepang, telah merapat ke pelabuhan Teluk Bayur, tetapi kedatangan ini dicurigai oleh para pemuda di Padang ikut menyertakan tentara Belanda. Kecurigaan ini ternyata benar sehingga ketegangan mulai meningkat di Padang. Kantor-kantor pemerintahan di Padang mulai dipindahkan ke luar kota, termasuk kantor tempat ayahnya bekerja dipindahkan ke Kayu Tanam, sehingga keluarganya kemudian pindah ke tempat itu, sedangkan ia dan adiknya yang bernama Akil tetap menetap di Padang.[7] Namun karena Padang dirasakan tidak aman lagi setelah pembunuhan Bagindo Azizchan oleh tentara Belanda,[8] ia dan adiknya menyusul keluarganya yang ternyata telah berpindah ke Bukittinggi.[9] Di kota berhawa sejuk itu, ia tetap meneruskan sekolahnya; ia dimasukkan ke SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri III Bukittinggi dan setelah tamat ia masuk ke SMA Negeri 1 Bukittinggi.[9]

Tidak lama setelah ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama tokoh Minangkabau lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Pada saat itu, ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, keluarganya pindah ke Barulak, Tanah Datar, kemudian setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatera Barat pada 19 Agustus 1948, keluarganya kembali pindah ke Padang. Di Padang, ia bersekolah di SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951.[10] Setamat SMA, ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jawa, karena pada saat itu di Sumatera Barat belum ada perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya.[11] Oleh sebab itu, dalam suatu perundingan dengan keluarganya, ia menyampaikan keputusannya untuk merantau ke Jakarta.[12]

Merantau

Sesampai di Jakarta, sambil mencari pekerjaan, ia menumpang sementara waktu di rumah salah seorang kerabatnya. Setelah memperoleh informasi dari salah seorang temannya tentang lowongan pekerjaaan pegawai Balai Penyelidikan Kimia di Bogor, ia langsung melamarnya.[13] Pada awalnya ia hanya berkerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium yang dikepalai oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Nyhold,[14] kemudian dalam tahun-tahun berikutnya, ia menjadi asisten seorang insiyur bernama Ir. Dufont setelah membantunya membangun sebuah laboratorium di Burangrang, Bandung. Sambil bekerja, ia juga memperoleh beasiswa dari Departemen Perindustrian saat itu untuk mengikuti pendidikan kimia di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).[15]

Setelah sekitar dua tahun mengikuti kuliah di ITB, prestasi akademisnya mulai menurun.[16] Pada saat itu ia memutuskan untuk kembali ke Padang untuk menemui orang tuanya di Mato Aie dan meminta izin menikahi seorang gadis di Bandung. Namun keinginannya ini ternyata tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Ibunya justru menangis sewaktu ia meminta izin menikahi seorang gadis yang bukan Minang. Sebaliknya, ibunya mengajukan calon lain yang sudah disiapkannya sendiri sejak lama, yakni Djusmeini. Pada 12 Juli 1957, ia akhirnya menikah dengan Djusmeini, yang ketika itu berumur 23 tahun. Setelah pernikahan dilangsungkan di Lubuk Alung, ia bersama istrinya kemudin pindah ke Bandung.[17] Sesampai di Bandung, ia tetap melanjutkan kuliahnya di ITB sampai tamat.[18]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Yusra 2011, hlm. 5.
  2. ^ Yusra 2011, hlm. 3.
  3. ^ Yusra 2011, hlm. 10.
  4. ^ Yusra 2011, hlm. 17.
  5. ^ Yusra 2011, hlm. 18.
  6. ^ Yusra 2011, hlm. 19.
  7. ^ Yusra 2011, hlm. 20.
  8. ^ Yusra 2011, hlm. 23.
  9. ^ a b Yusra 2011, hlm. 24.
  10. ^ Yusra 2011, hlm. 30.
  11. ^ Yusra 2011, hlm. 33.
  12. ^ Yusra 2011, hlm. 35.
  13. ^ Yusra 2011, hlm. 36.
  14. ^ Yusra 2011, hlm. 37.
  15. ^ Yusra 2011, hlm. 39.
  16. ^ Yusra 2011, hlm. 42.
  17. ^ Yusra 2011, hlm. 43.
  18. ^ Yusra 2011, hlm. 44.
Daftar pustaka
  • Yusra, Abrar (2011). Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-709-585-7. 
  • Kahin, Audrey R (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926–1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5. 
  • Lesmana, Tjipta (2009). Dari Soekarno sampai SBY. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-224-267-6. 
  • Asnan, Gusti (2007). Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-640-6. 
  • Pandoe; Pour, J (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 9797094871. 

Pranala luar

Jabatan politik
Didahului oleh:
Soepardjo Roestam
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
1993–1998
Diteruskan oleh:
Haryono Suyono
Didahului oleh:
Rusmin Nuryadin
Menteri Perhubungan
19881993
Diteruskan oleh:
Haryanto Dhanutirto
Didahului oleh:
Harun Zain
Gubernur Sumatera Barat
19771987
Diteruskan oleh:
Hasan Basri Durin
Jabatan olahraga
Didahului oleh:
Kardono
Ketua Umum PSSI
1991–1999
Diteruskan oleh:
Agum Gumelar