Arsitektur Sumatera Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rumah Limas

Arsitektur Sumatera Selatan mengacu kepada yang berhubungan dengan tradisi dan desain arsitektur berbagai etnik yang ada di Sumatera Selatan. Secara garis besar, kelompok etnis/etnik di Sumatera Selatan terbagi menjadi 2 suku utama beserta sub-suku didalamnya, yaitu: Melayu & Komering. Selain pembagian suku bangsa, pembagian kelompok masyarakat serta kultural dan geo-budaya juga terbagi menjadi 2, yakni: orang Ulu (Uluan) & orang Ilir (Iliran). Uluan/orang Ulu adalah semua kelompok etnik yang tinggal di hulu sungai-sungai besar di Sumatera Selatan, yang dikenal sebagai Batanghari Sembilan. Sementara Iliran/orang Ilir adalah suku-suku yang mendiami wilayah hilir Batanghari Sembilan (Sungai Musi) hingga pesisir timur Sumatera Selatan seperti Kota Palembang dan sekitarnya, pesisir timur Kabupaten Banyuasin, serta sebagian pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir. Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat hilir ialah kebudayaan/budaya Melayu Palembang yang sudah mencakup sub-suku Melayu didalamnya seperti (Melayu Palembang & Melayu Banyuasin/Pesisir). Semua etnik di Sumatera Selatan saling terkait dan hidup berdampingan sehingga arsitektur antara satu etnik dengan etnik yang lain dapat saling mempengaruhi.[1][2][3]

Ragam arsitektur rumah tradisional di Sumatera Selatan antara lain: Rumah Baghi, Rumah Limas, Rumah Ulu, Rumah Lamban Tuha, dan Rumah Rakit.[1][4][5][6][2][3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Arsitektur tradisional di Sumatera Selatan dipengaruhi oleh persebaran etnis yang ada di dalam wilayahnya. Secara garis besar, komunitas masyarakat di Sumatera Selatan terbagi dua, yaitu orang Uluan dan orang Iliran. Penamaan tersebut berdasarkan persebaraan etnis yang ada. Uluan adalah sebutan yang sejak zaman Kesultanan Palembang dipergunakan untuk merujuk etnis yang berada di luar kota Palembang, diluar pesisir timur, terutama dari hulu sungai-sungai yang bermuara ke Palembang. Orang Uluan, disingkat Ulu, berasal dari pegunungan di barat Sumatera Selatan. Dari sini mengalir sungai-sungai yang bermuara ke Palembang.[7] Ada lima kebudayaan besar yang ada di hulu sungai-sungai tersebut, yaitu: budaya Melayu Tengah/Melayu Barisan Selatan, Komering, Melayu Musi, Rejang-Lembak, dan Lampung. Sementara Iliran adalah sebutan untuk kelompok etnik yang menghuni hilir sungai di sekitar Palembang dan pesisir timur, di antaranya Melayu Palembang & Melayu Pesisir Banyuasin.[2][3][8][9]

Kebudayaan Komering mencakup Suku Komering (termasuk Komering Kayuagung, Komering Aji, dan Komering Daya). Mulanya mereka menghuni dataran tinggi di sekitar Danau Ranau, lalu menuruni bukit mengikuti aliran Sungai Komering yang bertemu dengan aliran Sungai Ogan dan berhilir di Sungai Musi. Kebudayaan Komering menyebar di sekitar Sumatera Selatan bagian selatan yang sekarang berbatasan dengan Provinsi Lampung.[3][6][8][9]

Kebudayaan Melayu Tengah atau Melayu Bukit Barisan Selatan, berasal dari dataran tinggi sekitar Gunung Dempo. Masyarakat Melayu Tengah menyebar ke daerah Bengkulu di barat dan ke timur mengikuti aliran sungai Lematang, Sungai Ogan, dan beberapa sungai lainnya. Mereka yang telah menyebar membentuk satu kumpulan "Melayu" dengan sub-sukunya sendiri serta bahasa, adat dan budaya yang hampir sama/tidak berbeda jauh tetapi tetap mempunyai ciri khas masing-masing. Suku-suku/kelompok kecil yang terdapat didalam istilah "Melayu" dengan kebudayaan Melayu Tengah tersebut diantaranya ialah: Suku Besemah, Suku Lintang, Suku Semendo, dan Suku Ogan[3][8][9][10][11].

Kebudayaan Melayu Musi terdapat di Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, sebagian Kabupaten Ogan Ilir, serta sebagian Kota Lubuklinggau dan Kota Prabumulih. Suku-suku yang terdapat diantaranya ialah Melayu dengan kelompok didalamnya (Musi dan Penesak)

Kebudayaan Lampung terdapat di sebagian wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan tepatnya disekitar Danau Ranau yang berdekatan bahkan berbatasan langsung dengan provinsi tetangga (Lampung). Masyarakat etnis Lampung yang tinggal disekitar perbatasan (Danau Ranau) biasa disebut Orang Ranau/suku Ranau. suku Lampung Ranau juga merupakan sub-suku/bagian dari suku Lampung Peminggir dengan norma budaya serta hukum adat Lampung Saibatin yang adat-istiadat, budaya, serta bahasanya tidak berbeda jauh dengan masyarakat Lampung lainnya khususnya Masyarakat Lampung di Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Istilah "Ranau" bukan hanya diambil dari nama danau disekitar tempat mereka tinggal, tetapi "Ranau" juga merupakan sebuah marga/klan suku Lampung yakni (marga Ranau). Orang Lampung Ranau menuturkan bahasa Lampung dialek Ranau atau lebih tepatnya merupakan Sub-dialek/termasuk bahasa Lampung dialek A/Api/Pesisir.

Kebudayaan Rejang & Lembak berasal dari bukit barisan bagian utara Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Bengkulu. Kebudayaan Rejang menyebar ke sebagian wilayah Kabupaten Musi Rawas, sebagian Kabupaten Musi Rawas Utara, dan juga sebagian Kota Lubuklinggau bersamaan dengan kebudayaan Lembak.[3][8][9]

Tiap kebudayaan Uluan mempunyai corak arsitekturnya masing-masing. Secara umum, rumah tradisional orang Uluan disebut dengan Rumah Ulu dan kemudian dinamakan sesuai dengan etnisnya. Persamaan di antara rumah-rumah uluan adalah berbentuk rumah panggung dan berdiri di atas tiang-tiang kayu tinggi. Terdapat perbedaan pada bentuk atap, susunan ruang, tangga, hingga penyusunan tiang.[2][3][8][10][11][12]

Pada arsitektur Iliran, ada dua jenis rumah yaitu Rumah Rakit dan Rumah Limas. Rumah Rakit merupakan jenis rumah yang dibangun di atas permukaan sungai dan dapat berpindah-pindah dan umumnya dibangun rakyat biasa. Sementara Rumah Limas adalah rumah panggung yang dibangun di darat dan biasanya diperuntukan bagi kaum bangsawan. Pada masa dahulu, Kesultanan Palembang juga memiliki hubungan dengan daerah uluan dan menunjuk pejabat setempat, sehingga Rumah Limas juga masih dapat ditemui di daerah ulu.[2][3][8][13]

Rumah Uluan[sunting | sunting sumber]

Rumah Ulu adalah sebutan untuk semua rumah tradisional yang ada di dataran tinggi Sumatera Selatan. Walau bernama sama, tiap etnik memiliki ciri khas sendiri dalam membangun rumah ulu.[3][14]

Besemah[sunting | sunting sumber]

Rumah Baghi lama (atas) dan Rumah Baghi kini (bawah)

Rumah Ulu Besemah atau Ghumah Baghi adalah rumah tradisional Besemah di Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, dan sekitarnya. Rumah ini merupakan rumah panggung dengan bentuk bangunan persegi dengan ketinggian rata-rata lantai rumah dengan tanah mencapai 1,5 meter. Tiang-tiang penyangga rumah tidak tertanam ke dalam tanah melainkan didudukkan di atas umpak batu, disebut juga sebagai tiang duduk. Susunan tiang sedemikian rupa menyesuaikan dengan geografi Tanah Besemah yang berada pada pegunungan yang rawan gempa bumi. Rumah ini beratap tinggi dengan bentuk pelana kuda dan seperti trapesium serta sedikit melengkung yang dinamakan piabung, sepintas menyerupai atap lengkung pada Rumah Gadang (Minangkabau) atau Jabu Bolon (Batak). Rumah Besemah ini memiliki empat jenis, antara lain:[1][3][11][15]

  1. Rumah Tatahan, terbuat dari kayu dengan ukiran pada dinding luar rumah.
  2. Rumah Kilapan atau Gilapan, terbuat dari kayu dengan tidak memakai ukiran pada dinding luar rumah
  3. Rumah Padu Kingking atau Padu Tingking, terbuat dari kayu dan bambu pada bagian tertentu
  4. Rumah Padu Ampagh, terbuat dari bambu.

Denah rumah ini berbentuk bujur sangkar atau dengan rasio panjang dan lebar yang hampir sama. Terbagi dalam 3 ruangan, yaitu ruang beruge atau garang, sengkar bawah, dan sengkar atas. Ruang beruge merupakan ruangan yang berada diluar dinding rumah dan tidak terlindungi atap piabung.[1][15]

Ruang beruge atau garang merupakan ruang pertama yang diijumpai ketika menaiki tangga rumah. Ruang ini berperan sebagai teras rumah dan juga dapur. Pada acara adat ruangan ini berperan sebagai tempat duduk bagi kelas pekerja atau buruh. Antara ruang beruge dan sengkar bawah terpisah oleh dinding serta dihubungkan dengan sebuah pintu dan ventilasi. Pintu tersebut menggunakan sistem tusuk, tidak menggunakan engsel.[1][15]

Ruang kedua dan ketiga terletak dalam bujur sangkar rumah (dalam rumah). Sengkar bawah (ruang kedua) dan sengkar atas (ruang ketiga) terpisah berdasarkan ketinggian lantai. Lantai sengkar atas ditinggikan sekitar 15 cm. Ruang sengkar atas pada acara adat berfungsi sebagai tempat duduk bagi jurai tue atau para tetua adat. Pada sengkar atas terdapat ruang penyimpanan yang disebut pagu dan pagu hantu, yang terletak pada langit-langit rumah. Pagu berfungsi untuk menyimpan barang-barang harian, sedangkan pagu hantu, letaknya lebih tinggi dan lebih mendekati atap, digunakan untuk menyimpan benda pusaka seperti keris.[1][15]

Pada hari-hari biasa, rumah baghi hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Karena posisi daerah yang terletak pada ketinggian, rumah dibuat dengan ventilasi udara yang minim untuk menghangatkan ruangan pada saat tidur di malam hari. Sementara pada siang hari, rumah jarang difungsikan karena penghuni rumah bekerja di ladang atau sawah.[1][15]

Semende[sunting | sunting sumber]

Rumah Baghi lama di sekitar situs megalitikum Gunung Megang, Muara Enim

Rumah Ulu Semende atau disebut juga Rumah Baghi Semende adalah rumah tradisional masyarakat Semende yang masih dapat dijumpai di Kabupaten Muara Enim dan sekitarnya. Rumah Baghi Semende merupakan bentuk transformasi dari Rumah Baghi Besemah. Masih tampak kemiripan pada atapnya yang juga sedikit melengkung. Perbedaannya terlihat pada adanya bangunan tambahan serta sekat-sekat antar ruang pada ruang induk dan memiliki lebih banyak jendela. Rumah ini juga dinamai sebagai Rumah Tunggu Tabang karena rumah ini hanya dipindahtangankan berdasarkan adat Tunggu Tabang yang bercirikan sistem matrilineal.[3][8][12][14]

Rumah Ulu Ogan

Ogan[sunting | sunting sumber]

Rumah Ulu Ogan atau bisa juga disebut Khumah Bakhi/Rumah Bari (rumah tua/lama) adalah rumah tradisional Suku Ogan yang menyebar di tepian Sungai Ogan, terutama di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan sebagian Ogan Ilir[16]. Rumah ini juga bentuk transformasi dari Rumah Baghi Besemah-Semende. Pada rumah ini terdapat penambahan atap tritisan ke bagian depan rumah, maupun ke arah samping sesuai pertambahan ruang yang ada. Atap tritisan tersebut ditopang dengan tiang-tiang tinggi, sehingga jumlah tiang pada rumah Ogan lebih banyak dan seolah lebih tinggi daripada rumah Besemah. Perbedaan lainnya yaitu pada atap utama yang tidak melengkung seperti rumah Besemah, serta tidak memiliki perbedaan ketinggian pada lantai antar ruangnya.[3][10]

Rumah Ulu Komering di Padang Bindu, Ogan Komering Ulu Selatan

Komering[sunting | sunting sumber]

Rumah Ulu Komering[sunting | sunting sumber]

Rumah Ulu Komering adalah rumah tradisional suku Komering yang menyebar di tepian Sungai Komering khususnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, dan Ogan Komering Ulu Selatan di provinsi Sumatera Selatan. Rumah Ulu Komering masih banyak dijumpai di Daerah Minanga, Cempaka, Ogan Komering Ulu Timur. Rumah Komering memiliki perbedaan dengan Rumah Ulu Baghi, diantaranya terlihat pada bentuk atap. Rumah Ulu Komering memiliki atap pelana tanpa adanya lekukan atau patahan seperti atap Baghi Besemah atau Semende, selain itu terdapat persilangan listplank pada kedua ujung atap Ulu Komering. Selain itu, perbedaan lainnya pada tiang yang ditanam, tidak seperti Rumah Ulu lainnya.[3][17][18]

Rumah Lamban Tuha[sunting | sunting sumber]

Rumah Lamban Tuha atau Lambanan Tuha adalah rumah uluan suku Ranau atau "Marga Ranau" yang menjadi sub-suku/marga/klan dari suku Lampung di sebagian Ogan Komering Ulu Selatan (tepatnya disekitar Danau Ranau), Sumatera Selatan. Daerahnya yang merupakan daerah perbatasan antara dua provinsi, membuat rumah ini juga dapat ditemui di Provinsi Lampung, khususnya di Lampung Barat. Lamban tuha memiliki arti "rumah tua".[2][3][6][19]

Rumah Lamban Tuha dicirikan dengan rumah panggung beratap tinggi serta berlantai papan dengan bentuk memanjang ke arah belakang. Atap rumahnya yang tinggi berjenis pelana kuda dengan kemiringan 45 derajat. Kemudian rumah ini juga relatif tahan dari guncangan gempa bumi karena mempunyai dua sistem pondasi, yaitu sistem ari dan sistem kalindang. Sistem ari terdiri atas susunan tiang penyangga yang diletakan di atas permukaan tanah yang menjadi tumpuan untuak balok-balok rumah yang disusun horizontal. Sementara sistem kalindang, terletak diantara tiang-tiang ari dan berupa balok-balok kayu yang disusun horizontal sebanyak 9 hingga 13 lapis balok dan diletakkan di atas empat umpak batu yang akan menjadi tumpuan badan rumah.[6][19]

Rumah Lamban Tuha memiliki lebih banyak ruangan daripada rumah uluan lainnya. Terdapat 7 jenis ruangan berbeda pada rumah ini. Pertama adalah Kebik, yang merupakan ruangan pertama dengan pintu masuk dari tangga masuk rumah yang terletak pada sisi kanan rumah. Kebik menjadi teras dengan balkon berukiran kayu dan memiliki akses ke Parogan dan Lapang Unggak. Kedua adalah Parogan, yang merupakan ruang transisi antara Kebik dan ruangan lain dalam rumah, serta bersebelahan dengan ruang Lapang Unggak yang lebih luas. Ruang Parogan berfungsi sebagai ruangan untuk menerima tamu biasa atau tidak resmi. Sementara bagi tamu resmi akan segera dipersilakan masuk ke ruang ketiga, yaitu ruang Lapang Unggak. Ruang ini jauh lebih luas dari ruang Parogan dan memiliki akses ke hampir semua ruang. Lapang Unggak juga menjadi ruang serbaguna dalam rumah, sehingga kadang dapat pula dijumpai Lebing atau kamar tidur yang terbentuk dari sekat-sekat kain. Lebing pada Lapang Unggak biasanya diperuntukkan bagi laki-laki.[6][19]

Ruangan berikutnya yaitu ruang Lapang Tengah merupakan ruang yang lebih privat dan terpisah dari ruang Lapang Unggak dengan ketinggian lantai dan dinding. Ruang Lapang Tengah menjadi tempat kumpul keluarga dan juga lebing. Seperti kebanyakan rumah ulu, rumah lamban tuha juga memiliki pagu hantu untuk menyimpan barang penting. Pagu hantu letaknya pada lapang tengah. Ruang Lapang Tengah memiliki akses dengan ruang doh dan dapur, yang terpisah hanya berdasarkan fungsi saja tanpa ada sekat pembatas. Ruang Doh merupakan ruang makan keluarga. Ruang berikutnya adalah ruang garang lepau, yang merupakan teras samping yang berukuran lebih kecil, memiliki akses tangga yang menjadi penghubung langsung dengan ruang lapang tengah.[6][19]

Rumah Iliran[sunting | sunting sumber]

Rakit[sunting | sunting sumber]

Rumah Rakit lama (atas) dan Rumah Rakit sekarang yang dimiliki Ong Boen Tjiet, Palembang (bawah)

Rumah Rakit merupakan rumah khas daerah iliran yang dibangun terapung di atas sungai. Rumah ini memiliki atap tipe pelana dan terbuat dari bahan kayu atau bambu yang mudah terapung. Dahulunya rumah ini ditujukan bagi pendatang asing dari luar penduduk asli. Hal ini ditujukan supaya pihak kesultanan dapat dengan mudah memantau pergerakan pendatang. Walau begitu, penduduk setempat juga ada yang memiliki rumah ini.[1][2][3]

Rumah Rakit dapat mengapung dan mengikuti pasang surut sungai. Rumah ini dapat berpindah dan ditambatkan dengan pasak ketika sudah menemukan tempat yang diinginkan, sehingga pagi pemilik kebun tidak memerlukan jarak tempuh yang jauh antara rumah dan kebun. Sirkulasi udara dan pencahayaan pada rumah ini juga baik karena pintu dan jendela rumah menghadap ke arah sungai.[1][2][3]

Limas[sunting | sunting sumber]

Rumah Limas merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Mulanya rumah jenis ini dibangun di sekitar Kota Palembang dan menjadi rumah bagi para bangsawan Palembang. Lambat laun seiring meluasnya pengaruh Kesultanan Palembang ke daerah Ulu, rumah Limas juga dapat dijumpai di daerah ulu berdampingan dengan Rumah Ulu.[1][2]

Gudang[sunting | sunting sumber]

Rumah Gudang adalah rumah jenis panggung yang biasa dibangun di Sumatera Selatan. Rumah ini merupakan rumah pilihan bagi rakyat biasa dan banyak ditemui di banyak daerah. Rumah ini dibangun di atas tiang-tiang yang mempunyai ketinggian yang sama serta tidak memiliki perbedaan ketinggian lantai layaknya Rumah Limas. Perbedaan lainnya terlihat pada atapnya yang tidak berbentuk limas, tetapi berbentuk perisai. Walau begitu, ada juga perpaduan antara Rumah Limas dan Rumah Gudang yang disebut sebagai Rumah Limas Gudang.[3]

Dahulu kolong rumah dipakai untuk gudang perniagaan atau kandang ternak, tapi sekarang banyak yang dimodifikasi untuk menjadi ruang tempat tinggal tambahan sehingga tampak seperti rumah bertingkat dua. Walau begitu, pintu masuk utama tetap melalui tangga ke lantai kedua.[3]

Pola Permukiman[sunting | sunting sumber]

Pola permukiman di Indonesia pada umumnya adalah pola permukiman memusat. Pola permukiman memusat semacam ini juga terjadi di Sumatera Selatan. Pada masyarakat Besemah di Pelang Kenidai, Pagaralam, pola permukimannya melingkar dengan pusatnya adalah masjid. Hal ini tergambar pada ragam hias Rumah Baghi Besemah yang berbentuk seperti lingkaran pola melingkar di dalamnya yang disebut dengan mendali kencane mendulike. Pola melingkar ini berturut-turut menjauhi pusat permukiman adalah bangungan pemerintahan, rumah-rumah masyarakat elit, lalu dikelilingi oleh rumah-rumah masyarakat kelas terendah.[5]

Pada masyarakat Ogan, pola permukiman mereka berbentuk linear dan sejajar mengikuti aliran sungai, khususnya Sungai Ogan. Namun, adakalanya tidak menghadap sungai khususnya pada rumah-rumah yang susunannya berlapis. Jarak antar rumah dibuat berdekatan dan tidak berpagar, serta tidak ada susunan hierarkis di antar rumah-rumah yang ada.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j Alimansyur, Moh; Abdullah, Ma'moen; Djumiran, Djumiran; Makmur, Zainal; Sidin, Tabrani (1985). Siregar, Jhony; Abu, Rifai, ed. Arsitektur tradisional daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 
  2. ^ a b c d e f g h i Siswanto, Ari (2009). "KEARIFAN LOKAL ARSITEKTUR TRADISIONAL SUMATERA SELATAN BAGI PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BINAAN". Local Wisdom : Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 37–45. doi:10.26905/lw.v1i1.1365. ISSN 2615-4951. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Wazir, Zuber Angkasa (2018-01-15). "TIPOLOGI ATAP PADA ARSITEKTUR VERNAKULAR DI SUMATERA SELATAN". Jurnal Koridor (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 161–174. ISSN 2721-3463. 
  4. ^ Ibnu, Iwan (2016-10-19). "IDENTIFIKASI POLA TUMBUH RUANG HUNIAN MASA LAMPAU STUDI KASUS RUMAH BAGHI DI DESA PULAU PANGGUNG KABUPATEN MUARA ENIM". 
  5. ^ a b Arios, Rois (2014-08-02). "Permukiman Tradisional Orang Basemah di Kota Pagaralam". 19: 183–198. 
  6. ^ a b c d e f Anwar, Widya Fransiska Febriati; Setiawan, Wisnu (2006). "Rumah Lamban Tuha, Provinsi Sumatera Selatan". Indonesia Design (dalam bahasa Inggris). 3: 104–107. ISSN 1829-6602. 
  7. ^ Irwanto, Dedi (2018-12-31). Historiografi dan Identitas Ulu di Sumatera Selatan. Faculty of Humanities, Universitas Airlangga. OCLC 1089952286. 
  8. ^ a b c d e f g Oktarini, Maya Fitri (2019-12-31). "The Role of Riverway in The Spreading of Vernacular Architecture in South Sumatra, Indonesia". Indonesian Journal of Geography. 51 (3): 385. doi:10.22146/ijg.43923. ISSN 2354-9114. 
  9. ^ a b c d Barendregt, B. (2004). Processes of migration and mobility in the South Sumatran highlands. Indonesian Houses: Tradition and transformation in vernacular architecture, 207, 99.
  10. ^ a b c d Hidayat, Husnul (2018-06-05). "ARSITEKTUR RUMAH ULU MELAYU OGAN". NALARs. 17 (2): 129. doi:10.24853/nalars.17.2.129-134. ISSN 2549-6832. 
  11. ^ a b c Harum, Oktarine Melly Aminah; Febryano, Indra Gumay; Wulandari, Christine; Hidayat, Wahyu (2019-10-30). "PELESTARIAN GHUMAH BAGHI (RUMAH TRADISIONAL BERBAHAN DASAR KAYU) DI KELURAHAN PELANG KENIDAI, KOTA PAGARALAM". Jurnal Hutan Tropis (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 216–224. doi:10.20527/jht.v7i2.7325. ISSN 2337-7992. 
  12. ^ a b Hanum, Meiverina; Harrini, Hapsari; Adiyanto, Johannes; Oktarini, Maya Fitri; Akbar, Joeda; Cahyasyam, Dwi; Farras, Muhammad (2019). "KONSERVASI RUMAH BAGHI SEBAGAI OBJEK WISATA DARI DESA PERAPAU, SEMENDO DARAT LAUT, SUMATERA SELATAN". Prosiding Applicable Innovation of Engineering and Science Research (dalam bahasa Inggris). 2019: 633–638. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-06. Diakses tanggal 2020-04-14. 
  13. ^ Bambang, Wicaksono; Ari, Siswanto; Susilo, Kusdiwanggo; Widya Fransiska Febriati, Anwar (2016-12-01). "CULTURAL APPROACH OF SUSTAINABILITY IN DWELLINGS CULTURE RIPARIAN COMMUNITY MUSI RIVER PALEMBANG". DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment). 43 (2): 85–92. doi:10.9744/dimensi.43.2.85-92. ISSN 2338-7858. 
  14. ^ a b Barendregt, B. (2008). ‘The house that was built overnight’: Guidelines on the construction and use of the southern Sumatran rumah uluan. In Indonesian Houses (pp. 429-464). Brill.
  15. ^ a b c d e Jumhari, Jumhari; Hariadi, Hariadi (2014-12). Ientitas kultural orang Besemah di Kota Pagaralam (dalam bahasa Inggris). Nurmatias Nurmatias. Padang: Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat. ISBN 978-602-8742-76-4. 
  16. ^ FAJRI, ZAINAL ARIFIN; SYAFNIL, RAHMAN. BERMUKIM DI TEPIAN SUNGAIETNOGRAFI MASYARAKAT DAN BUDAYA KOMUNITAS OGAN DI PENGANDONAN. IRDH. ISBN 978-623-7343-44-8. 
  17. ^ Murod, C. (2002). LANGGAM ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL DAERAH MINANGA DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU Diarsipkan 2019-02-14 di Wayback Machine..
  18. ^ Suryanegara, A. E. (2012). Ulu Komering Traditional House[pranala nonaktif permanen]. Ambiance, 1(2).
  19. ^ a b c d Ibrahim, W. (2011). ARSITEKTUR TRADISIONAL KENALI SALAH SATU KEARIFAN LOKAL DAERAH LAMPUNG[pranala nonaktif permanen]. Rekayasa: Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas Lampung, 15(1), 69-76.