Suku Palembang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Melayu Palembang
  • Uwong Pelémbang
ملايو ڤاليمبڠ
Jumlah populasi
± 4.040.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sumatera Selatan)
 Malaysia
 Singapura
 Brunei
 Belanda
 Britania Raya
 Perancis
 Suriname
 Amerika Serikat
Bahasa
Agama
Kelompok etnik terkait

Suku Palembang atau Melayu Palembang (Jawi: ملايو ڤاليمبڠ)[2][3] merupakan suku bangsa Melayu yang mendiami Palembang dan juga beberapa wilayah Sumatera Selatan yang lain.[4][5] Berdasarkan statistik, penduduk suku Melayu Palembang berjumlah sekitar 3.800.000[1] populasi yang hidup di Indonesia.[6][7][8] Suku Melayu Palembang pada dasarnya adalah suku Melayu yang telah melebur dan berasimilasi dengan budaya bangsa Arab, Tiongkok, India dan Jawa dikarenakan dahulu kala Palembang merupakan tempat pusat perdagangan antarbangsa, sehingga Palembang menghasilkan budaya dan bahasa yang unik. Bahasa Melayu Palembang sendiri memiliki dua ragam bahasa yaitu Baso Palembang Alus dan Baso Palembang Sari-Sari.

Meski sebagian menganggap suku Melayu Palembang adalah bagian dari subetnik Melayu, namun Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang mengkategorikan suku Melayu Palembang sebagai bagian dari Melayu, dan jauh sebelum itu, sensus Hindia Belanda tahun 1930 juga yang mengkategorikan suku Melayu Palembang sebagai bagian dari Melayu.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarah orang Melayu Palembang erat kaitannya dengan sejarah Palembang itu sendiri sebagai tempat asal dan wilayah utama bagi masyarakat Palembang. Palembang merupakan salah satu kota yang telah ada sejak zaman kuno di Sumatra yang berperan penting utamanya dalam bidang perdagangan dalam kawasan Asia Tenggara. Pada awal abad ke-6, sebuah kemaharajaan bernama Sriwijaya lahir di Palembang yang mengindikasikan bahwa masyarakat Palembang merupakan masyarakat yang memiliki mutu peradaban yang tinggi.

Secara historis, berdasarkan salah satu prasasti kuno yang ditemukan di Palembang menyebutkan bahwa Dapunta Hyang (sang pendiri dinasti kemaharajaan Sriwijaya) merupakan seorang tokoh yang berasal dari daerah Minanga di belahan barat Sumatra atau dikenal sekarang Sumatera barat:

Namun beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Sriwijaya lahir dari peradaban tanah Sumatera Selatan itu sendiri, sejarawan menyebutkan bahwa Minanga berada di muara Sungai Komering Purba.[10] Memasuki masa abad selanjutnya, kira-kira pada pertengahan abad ke-9, Jawa dan Sumatra (termasuk juga Palembang) dipersatukan di bawah kekuasaan dinasti Sailendra yang memerintah di Jawa, dengan pusatnya yang berlokasi di Palembang.[11]:92

Memasuki abad ke-14, Palembang berada dalam kekuasaan Kerajaan di Jawa Majapahit yang tercantum dalam Sumpah Palapa sebagai taklukan dari Majapahit. Memasuki awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Susuhunan Abdurrahman, bangsawan Palembang pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa masyarakat Palembang memiliki pengaruh unsur Jawa terutama dalam hal linguistik, sistem kebangsawanan dan lain sebagainya. [butuh rujukan]

Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Rumah Tradisional[sunting | sunting sumber]

Dua perempuan Melayu Palembang mempersembahkan tarian adat Melayu Palembang di depan bangunan kantor Belanda pada zaman kolonialisme (masa kini telah bertransformasi menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II), bangunan ini dibangun berdasarkan bentuk salah satu rumah adat Melayu Palembang yang bernama Caro Godang alias Cara Gudang

Secara tradisional, rumah-rumah adat Melayu Palembang memiliki karakteristik dan simbolisme sendiri yang dicerminkan dalam bentuk khazanah arsitektural. Setiap rumah tradisional memiliki makna historis dan pengaruhnya tersendiri.

Rumah Bari[sunting | sunting sumber]

Rumah Bari di Palembang

Rumah Bari adalah salah satu rumah tradisional atau rumah adat masyarakat Palembang yang telah terpelihara dengan baik sejak dahulu kala. Rumah Bari tidak dapat dipisahkan dengan sejarah etnis Melayu Palembang itu sendiri, dan rumah tradisional ini dianggap sebagai salah satu arsitektur khas Melayu Palembang yang paling menonjol.

Atap rumah Bari tergambar dalam lambang provinsi Sumatera Selatan

Aspek arsitektur Rumah Bari digambarkan pada lambang provinsi Sumatera Selatan untuk menggambarkan Palembang sebagai ibu kota Sumatera Selatan yang juga sebagai bentuk simbolisasi keharmonisan dan keamanan kota Palembang dan provinsi Sumatera Selatan secara umum yang telah terjaga dengan baik sejak zaman dahulu. Pada tahun 2021, Rumah Bari secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[12]

Rumah Caro Godang[sunting | sunting sumber]

Rumah Cara Gudang pada zaman kolonial dijadikan sebagai kantor residen Belanda

Secara etimologi, kata godang mungkin mengacu pada gudang (bangsal tempat menyimpan barang) karena bentuknya yang memanjang seperti gudang, akan tapi mungkin juga berasal dari perkataan gadang dalam bahasa Minangkabau yang berarti 'besar'. Tapi bagaimanapun juga, Rumah Cara Gudang (alias Cara Gudang) tidak serupa dengan Rumah Gadang khas Minangkabau yang terkenal.

Bentuk rumah ini seperti panggung dan memanjang dengan tiang setinggi 2 meter. Bahan utama untuk membangun rumah adat ini adalah kayu. Kayu yang digunakan berasal dari jenis kayu tembesu, unglen, dan petanang. Kayu ini digunakan karena selain kuat juga kokoh. Rumah Cara Gudang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian belakang, bagian tengah, dan bagian depan. Bagian belakang memiliki ruangan yang berfungsi sebagai ruangan indoor, dapur, atau kamar tidur. Bagian tengah terdapat ruangan yang berfungsi sebagai ruangan untuk tamu terhormat ataupun tetua adat. Sedangkan bagian depan memiliki ruangan yang difungsikan sebagai tempat beristirahat, berkumpul, atau digunakan sebagai tempat mengadakan pesta.

Pada tahun 2010, Rumah Caro Godang alias Cara Gudang secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[13]

Rumah Limas[sunting | sunting sumber]

Rumah Limas tergambar pada pecahan uang 10.000 Rupiah, Rumah Limas ini berlokasi di Museum Balaputradewa
Rumah Limas di Pavilion Sumatera Selatan Taman Mini Indonesia Indah

Rumah Limas tak dapat terbantahkan merupakan rumah adat Melayu Palembang. Bagi masyarakat etnis Melayu Palembang, Rumah Limas kerap kali diasosiasikan dengan golongab bangsawan dan golongan lain yang berstatus tinggi.[14] Pada tahun 2010, Rumah Limas secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda asli Palembang maupun Sumatera Selatan dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[15]

Rumah Rakit[sunting | sunting sumber]

Rumah Rakit di Palembang, c. 1850an

Sungai Musi merupakan urat nadi kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Dalam catatan Belanda, pada awal abad ke 19, kota ini disebut "Venesia Dari Timur" atau kota air, karena lebih dari 100 sungai dan anak sungai mengalir di dalam kota ini. Bagi masyarakat Palembang, keberadaan sungai-sungai berfungsi sebagai sumber makanan, mata pencaharian, dan terutama sumber air. Dalam arsitektur yang mempunyai konsep built environment, bangunan selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Dengan kata lain, kondisi alam secara langsung akan mempengaruhi perilaku manusia termasuk dalam merancang bentuk arsitektur rumahnya.

Rumah Rakit adalah bentuk rumah yang tertua di kota Palembang dan mungkin telah ada jauh sebelum masa kemaharajaan Sriwijaya. Rumah Rakit juga menjadi ciri khas masyarakat yang hidup di sungai sebagai tempat tinggal menetap terapung yang pertama dikenal oleh masyarakat etnis Komering dan juga etnis Musi, hanya saja pada Rumah Rakit khas etnis Melayu Palembang biasanya memiliki hiasan ukiran timbul (berupa stilisasi daun dan kembang) dengan warna merah hati dan emas yang mencolok. Pada tahun 2010, Rumah Rakit secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek arsitektural oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[16]

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Pedoman Ejaan Bahasa Palembang oleh Balai Bahasa Palembang terbitan 2007[17]

Bahasa Melayu Palembang ialah bahasa Palembang (dikenal sebagai Baso Palembang),[18] yang merupakan sebuah bentuk amalgamasi linguistik antara bahasa Melayu Pesisir dan Jawa yang lahir disebabkan oleh faktor kontak perdagangan antar etnis di tanah Palembang yang telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Pernyataan tersebut didukung oleh McDonnell (2016), yang menyebutkan bahwa bahasa Palembang adalah sebuah koiné language (terj. 'bahasa campuran') yang lahir di Palembang dan wilayah sekitarnya.[19]

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Palembang terbitan 1981[20]

Penggunaan bahasa Melayu Palembang diakui secara resmi oleh pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu bahasa Melayu asli di Sumatera Selatan yang wajib dijaga kelestariannya. Sebagai salah satu upaya penggiatan sosialisasi dan pelestarian bahasa Palembang, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang didukung oleh Kementerian Agama Republik Indonesia mengadakan peluncuran Al-Qur'an (kitab suci umat Islam) dengan terjemahan bahasa Palembang Alus yang dirilis oleh Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan[21] pada tahun 2019.[22][23][24] Bahasa Palembang tingkatan Palembang Jegho (alias Palembang Alus) juga masuk sebagai muatan lokal (kegiatan kurikulum) bagi sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah di wilayah Palembang sejak 2021.[25]

Gelar[sunting | sunting sumber]

Mahkota tembaga bermotif khas Palembang dipamerkan di Museum Seni Asia (San Francisco) di California, salah satu pusaka ini berkemungkinan dicuri atau diambil dari etnis pribumi Palembang pada masa c. 1880-1930 M

Menurut peranannya yang menonjol, masyarakat Palembang digolongkan kedalam dua kelompok utama, yakni Wong Jero alias Wong Jeroo (terj. har. 'golongan bangsawan') dan Wong Jabo (terj. har. 'golongan masyarakat umum'). Gelar-gelar kebangsawanan masyarakat Palembang sangat dipengaruhi oleh sistem kebangsawanan atau ningrat etnis Jawa karena hubungan erat antar kedua entitas kebangsawanan yang dipengaruhi faktor hubungan Palembang dan Jawa di masa lampau terkhusus pada masa Kesultanan Palembang.

Pria[sunting | sunting sumber]

  • Ki, Kie, Ke, atau Kyai
    • Kimas/Ki Mas, Kiemas/Kie Mas, Kemas, atau Kyai Mas, gelar kebangsawanan lelaki yang bersusur galur utama dari Kemas Anom Dipati.
    • Ki Gede atau Kyai Gede, termasuk salah satu gelar kebangsawanan paling awal yang digunakan oleh masyarakat Palembang yang dipengaruhi oleh sistem ningrat atau kebangsawanan etnis Jawa. Dalam struktur masyarakat etnis Jawa, gelar Ki atau Kyai merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijaksana ataupun juga memiliki asal usul aristokrat.
    • Kiagus atau Kyai Agus.
  • Mas
    • Masagus
  • Pangeran
    • Pangeran Adipati
    • Pangeran Ratu
  • Prabu
    • Prabu Anom
  • Raden
  • Raja
    • Raja Madang

Wanita[sunting | sunting sumber]

  • Mas
    • Masayu
  • Nyayu ° Nyai Ayu
  • Nyi atau Nyai
    • Nyi Gede atau Nyai Gede
    • Nyimas atau Nyai Mas
  • Raden
    • Raden Ayu, gelar wanita bangsawan yang telah bersuami.
  • Ratu
    • Ratu Agung
    • Ratu Gading
    • Ratu Ilir atau Ratu Ilèr
    • Ratu Mas
    • Ratu Sepuh
      • Ratu Sepuh Asma
    • Ratu Ulu

Hidangan[sunting | sunting sumber]

Adat dan budaya[sunting | sunting sumber]

Aesan Gede merupakan salah satu pakaian adat Melayu Palembang yang paling tersohor

Aesan[sunting | sunting sumber]

Pasangan Melayu Palembang mengenakan pakaian adat Melayu Palembang yang bernama Aesan, c. 1850an-1900an

Aesan adalah pakaian adat etnis Melayu Palembang. Aesan memiliki beberapa macam jenis, yang paling populer adalah Aesan Gede dan Aesan Paksangko alias Aesan Pasangkong. Pada zaman dahulu, Aesan hanya dikenakan oleh para bangsawan atau anggota keluarga kerajaan Palembang (Wong Jero/Wong Jeroo), namun pada masa kini masyarakat umum Palembang (Wong Jabo) juga dapat mengenakannya sebagai simbol budaya Melayu Palembang. Aesan juga kerap dikenakan pada acara-acara adat Budaya Melayu Palembang, termasuk juga upacara pernikahan adat Melayu Palembang. Pada tahun 2021, Aesan secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda dalam aspek pakaian adat etnis pribumi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[26]

Pertunjukan Tradisional[sunting | sunting sumber]

Gadis Palembang[sunting | sunting sumber]

Pertunjukan Tari Gadis Palembang di Sumatera Selatan, c. 1860an

Gadis Palembang adalah merupakan tarian tradisional masyarakat Palembang yang biasanya dibawakan oleh para remaja putri dengan mengenakan pakaian adat Melayu Palembang dan diiringi oleh lantunan musik tradisional khas Melayu Palembang.

Gending Sriwijaya[sunting | sunting sumber]

Tari Gending Sriwijaya pada perangko Republik Indonesia tahun edisi 1992
Tari Gending Sriwijaya pada perangko Republik Indonesia tahun edisi 1993
Tari Gending Sriwijaya pada perangko Republik Indonesia

Gending Sriwijaya umumnya mengacu pada pertunjukan tradisional Palembang yang berkiblat pada budaya Sriwijaya atau Pra-Islam baik itu berupa lagu, gaya musik, maupun pertunjukan tari. Secara historis, Palembang adalah pusat kemaharajaan Sriwijaya (Melayu Palembang: Kadatuan Sriwijaya), pertunjukan tari Gending Sriwijaya yang diciptakan oleh masyarakat Palembang ini secara khusus mempunyai makna filosofis untuk menggambarkan kemegahan, kemurnian budaya, kejayaan, dan kemegahan kemaharajaan Sriwijaya yang pernah berjaya dalam menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 2010, Gending Sriwijaya secara resmi disahkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[27]

Pagar Pengantin[sunting | sunting sumber]

Tari Pagar Pengantin biasanya dibawakan dalam acara-acara yang mengusung nuadat Palembang, salah satunya yakni dalam upacara pernikahan

Pagar Pengantin adalah tarian tradisional masyarakat Palembang yang biasanya dibawakan oleh para penari wanita dalam acara-acara sakral adat Melayu Palembang, salah satu contohnya yakni dalam upacara pernikahan adat budaya Melayu Palembang. Tarian ini dipercaya oleh masyarakat Palembang dapat membawa keberuntungan atau rejeki yang baik bagi pasangan yang baru menikah. Ini adalah salah satu tarian tradisional Palembang yang paling umum dilakukan dalam pernikahan Adat Melayu Palembang.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Palembang of Indonesia". peoplegroups.org. Diakses tanggal 15 January 2021. 
  2. ^ Kanwil Sumsel (2019). "Sosialisasi SP2020 "Partisipasi Aktif Lembaga Pemerintah dan Swasta Dalam Menyukseskan Sensus Penduduk 2020"". sumsel.kemenkumham.go.id (dalam bahasa Indonesian). Kantor Wilayah Sumatera Selatan - Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia. Diakses tanggal 7 June 2022. 
  3. ^ Sakai, Minako (2017). Kacang Tidak Lupa Kulitnya. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Indonesia: Wong Palembang Asli atau orang Palembang asli adalah suku yang berasal dari Palembang [The indigenous Wong Palembang or the Palembang people are the indigenous or ethnic group native to Palembang] 
  4. ^ Sosial Budaya Kota Palembang Dari Turun Temurun[pranala nonaktif permanen]
  5. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
  6. ^ "Yuk Kenali Suku-Suku di Sumatera Selatan (Part-1)" [Let's Get To Know About Ethnic Groups in South Sumatra]. okezone.com. 
  7. ^ "Mari Mengenal 12 Suku yang Mendiami Bumi Sriwijaya" [Let's Get To Know About 12 Ethnic Groups Native To Srivijaya Land (South Sumatra)]. akurat.co. Akurat Sentra Media. 
  8. ^ Badan Pusat Statistik (21 Januari 2021), Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Penduduk 2020), Jakarta: Badan Pusat Statistik 
  9. ^ "Kewarganegaraan Suku Bangsa Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia", BPS 
  10. ^ Ismail, H.M Arian (2002). Periodisasi sejarah Sriwijaya bermula di Menanga Komering Ulu Sumatera Selatan berjaya di Palembang berakhir di Jambi. Unanti Press. 
  11. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  12. ^ "Rumah Bari" [Bari house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 
  13. ^ "Rumah Gudang" [Gudang house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  14. ^ Taal 2008, hlm. 363.
  15. ^ "Rumah Limas" [Limas house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  16. ^ "Rumah Rakit" [Rakit house]. Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  17. ^ Trisman, Bambang; Amalia, Dora; Susilawati, Dyah (2007). Twilovita, Nursis, ed. Pedoman Ejaan Bahasa Palembang [Palembang Spelling System Guidelines]. Palembang: Balai Bahasa Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. OCLC 697282757. 
  18. ^ "Bahasa Palembang", Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 
  19. ^ McDonnell 2016, hlm. 35.
  20. ^ Arif, R. M. (1981). Kedudukan dan Fungsi Bahasa Palembang. 74. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  21. ^ "Alquran dengan Terjemahan Bahasa Palembang". IDXchannel.com. 2022. 
  22. ^ "Al Quran terjemahan Bahasa Palembang dan Sunda". 2019. 
  23. ^ "Alquran Terjemahan Bahasa Palembang Hanya Dicetak 100 Eksemplar". liputan6.com. 2020. 
  24. ^ "UIN Raden Fatah Serahkan Alquran Terjemahan Bahasa Palembang ke Sumeks.co". sumeks.co. Sumatera Ekspres. 2022. 
  25. ^ "Alhamdulillah, Bahasa Palembang Jegho (Alus) Masuk Muatan Lokal Pada Sekolah Dasar Di Kota Palembang". Pustipd UIN Raden Fatah. 2021. 
  26. ^ "Aesan". Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022. 
  27. ^ "Gending Sriwijaya". Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia. Diakses tanggal 5 February 2022.