Lompat ke isi

Gajah Mada: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22: Baris 22:


== Awal karier ==
== Awal karier ==
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik ke tampuk kekuasaan karena kecerdasan, keberanian dan kesetiaan dalam awal karirnya sebagai Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-28) akan tapi diyakini bahwa nama tersebut bukan merupakan asli nama pemberian karena dalam masyarakat Jawa terkadang perlu adanya semacam ''ruwatan'' ketika seseorang diyakini memiliki banyak ketidakberuntungan atau bila terjadi perubahan status sosial dalam kehidupanya pada umumnya dilakukannya penambahan nama atau peubahan nama yang dianggap sesuai dengan status barunya, pemberian nama ini bisa dilakukan oleh orangtuanya atau orang yang berada dalam strata sosial yang lebih berpengaruh merupakan sebuah kehormatan misalkan pemberian oleh para raja. <ref>R. S. Subalidinata, Sumarti Suprayitno, Anung Tedjo Wirawan ''Sejarah dan perkembangan cerita murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa'', University of Michigan Press (1985)</ref>
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik ke tampuk kekuasaan karena kecerdasan, keberanian dan kesetiaan dalam awal karirnya sebagai Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-28) akan tapi diyakini bahwa nama tersebut bukan merupakan asli nama pemberian karena dalam masyarakat Jawa terkadang perlu adanya semacam ''ruwatan'' ketika seseorang diyakini memiliki banyak ketidakberuntungan atau bila terjadi perubahan status sosial dalam kehidupanya pada umumnya dilakukannya penambahan nama atau peubahan nama yang dianggap sesuai dengan status barunya, pemberian nama ini bisa dilakukan oleh orangtuanya atau orang yang berada dalam strata sosial yang lebih berpengaruh merupakan sebuah kehormatan misalkan pemberian oleh para raja. <ref>R. S. Subalidinata, Sumarti Suprayitno, Anung Tedjo Wirawan ''Sejarah dan perkembangan cerita murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa'', University of Michigan Press (1985)</ref> (''Lihat'': [[Sukarno#Latar belakang dan pendidikan|Sukarno]] <ref>{{cite book | first= | last=Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (Netherlands) | coauthors= | title=Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 59 | publisher=M. Nijhoff, | year=1971 | isbn=9024707811, 9789024707812 }}</ref>)


Dalam pupuh ''Désawarnana'' atau ''Nāgarakṛtāgama'' karya [[Prapanca]] yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun [[1894]] terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari [[Kerajaan Daha]] dan kemudian menjadi patih dari [[Kerajaan Daha]] dan [[Kerajaan Janggala]] yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat" <ref name="J.L.A. Brandes, 1902"/><ref>{{cite book | first=Hendrik | last=Kern | coauthors= | title=H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch |publisher=M. Nijhoff | year=1918 | isbn=}}</ref><ref>{{cite book | first=Stuart O. | last=Robson | coauthors= | title=Désawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca|publisher=Leiden: KITLV Press | year=1995 | isbn=}}</ref> sumber lain menunjukan bahwa menurut [[Pararaton]], Gajah Mada memulai kariernya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkari atau [[Bhayangkara]], yang berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan [[Jayanagara|Prabu Jayanagara]] ([[1309]]-[[1328]]) putra [[Raden Wijaya]] dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun [[1319]] ia diangkat sebagai Patih [[Kahuripan]], dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih [[Kediri]].
Dalam pupuh ''Désawarnana'' atau ''Nāgarakṛtāgama'' karya [[Prapanca]] yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun [[1894]] terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari [[Kerajaan Daha]] dan kemudian menjadi patih dari [[Kerajaan Daha]] dan [[Kerajaan Janggala]] yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat" <ref name="J.L.A. Brandes, 1902"/><ref>{{cite book | first=Hendrik | last=Kern | coauthors= | title=H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch |publisher=M. Nijhoff | year=1918 | isbn=}}</ref><ref>{{cite book | first=Stuart O. | last=Robson | coauthors= | title=Désawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca|publisher=Leiden: KITLV Press | year=1995 | isbn=}}</ref> sumber lain menunjukan bahwa menurut [[Pararaton]], Gajah Mada memulai kariernya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkari atau [[Bhayangkara]], yang berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan [[Jayanagara|Prabu Jayanagara]] ([[1309]]-[[1328]]) putra [[Raden Wijaya]] dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun [[1319]] ia diangkat sebagai Patih [[Kahuripan]], dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih [[Kediri]].

Revisi per 17 Januari 2010 12.18

Gajah Mada
Berkas:Gajah Mada.jpg
Mahapatih Majapahit
Masa jabatan
k.1334 – k.1359
Penguasa monarkiTribhuwana Wijayatunggadewi, Hayam Wuruk
Sebelum
Pendahulu
Aryo Tadah (Mpu Krewes)
Pengganti
6 mahamantri agung
Sebelum
Informasi pribadi
Meninggal1364
Belum teridentifikasi
KebangsaanMajapahit
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Gajah Mada adalah seorang panglima perang ulung serta ahli strategis merupakan salah satu tokoh besar dan sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[1][2] atau tokoh harapan [3] Menurut berbagai bersumberkan kitab dan prasasti dari zaman Jawa Kuno dituliskan bahwa ia memulai meniti karir mulai tahun 1313 kemudian karirnya mulai menanjak setelah adanya peristiwa pemberontakan tragis Ra Kuti masa pemerintahan Raja Jayanagara yang membawanya menjabat sebagai Patih [1] [4] Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi,[5] kemudian Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.[6]

Gajah Mada walaupun dikenal dengan sumpahnya yaitu Sumpah Palapa yang tercatat dalam Pararaton [7] yang menyatakan bahwa ia tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara sebagai salah satu tokoh sentral saat itu akan tetapi ternyata sangat sedikit sekali catatan-catatan sejarah mengenai dirinya bahkan wajah tokoh Gajah Mada yang dikenal saat sekarang ini masih meninggalkan kontroversial. [8] Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme[9] dan persatuan Nusantara[10]

Awal karier

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik ke tampuk kekuasaan karena kecerdasan, keberanian dan kesetiaan dalam awal karirnya sebagai Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-28) akan tapi diyakini bahwa nama tersebut bukan merupakan asli nama pemberian karena dalam masyarakat Jawa terkadang perlu adanya semacam ruwatan ketika seseorang diyakini memiliki banyak ketidakberuntungan atau bila terjadi perubahan status sosial dalam kehidupanya pada umumnya dilakukannya penambahan nama atau peubahan nama yang dianggap sesuai dengan status barunya, pemberian nama ini bisa dilakukan oleh orangtuanya atau orang yang berada dalam strata sosial yang lebih berpengaruh merupakan sebuah kehormatan misalkan pemberian oleh para raja. [11] (Lihat: Sukarno [12])

Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat" [6][13][14] sumber lain menunjukan bahwa menurut Pararaton, Gajah Mada memulai kariernya di Majapahit sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkari atau Bhayangkara, yang berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.

Sumpah Palapa

Pada waktu pengangkatannya, ia mengucapkan Sumpah Palapa, yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut:[15]

Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museum Trowulan, Mojokerto.

Arti

Gajah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada, "Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.

Invasi

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun (1343) bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Non-invasi

Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 [16] dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII [3] dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda[17] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup

Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Penghormatan

Lukisan kontemporer Gajah Mada karya I Nyoman Astika.

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

Ikhtiar

Karena minimnya sumber-sumber sejarah mengenai Gajah Mada membuat sementara pihak berusaha untuk mencoba mencari dari sumber-sumber sejarah alternatif lainnya akan tetapi sangat disayangkan karena dengan tidak menyebutkan rujukan pada sumber sejarah yang lazim dipergunakan sebagai rujukan maka kebenarannnya masih menjadi sebuah kontroversi.

Etimologi

Sempat diperdebatkan tentang arti "Gajah" pada nama Gajah Mada dikarenakan di pulau Jawa tidak ada gajah. Namun ada beberapa pendapat yang memastikan arti dari kata tersebut, diantaranya pendapat yang mengatakan bahwa Gajah Mada berasal dari luar pulau Jawa. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa kata tersebut sudah ada pada masa tersebut karena adanya ritual dalam agama Hindu yaitu dalam upacara ritual Pancamakarapuja yakni upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para penganut aliran Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu dan Buddha untuk dapat bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup karena pada umumnya mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat setelah meninggal sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas. Yang mana Pancamakarapuja adalah upacara ritual dengan melakukan 5 hal yang dilarang dikenal dengan 5 Ma[18]:

  • Mada atau mabuk-mabukan
  • Maudra atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan
  • Mamsa atau makan daging mayat dan minum darah
  • Matsya atau makan ikan gembung beracun
  • Maithuna atau bersetubuh secara berlebihan

Asal-usul

Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Berikut ini beberapa pendapat tentang asal Gajah Mada dari beberapa berita yang ada di kawasan nusantara:

Sumatera

Jika Gajah Mada dianggap berasal dari Sumatera, dimana kata Gajah dan Mada dapat dijumpai dalam tatabahasa Melayu terutama dari rumpun Bahasa Minang. Kata Gajah ditujukan pada binatang yang ada di pulau Sumatera, sedangkan kata Mada dianggap berarti berhati keras. Membandingkan dengan beberapa catatan sejarah terutama tentang berita Ekspedisi Pamalayu yang diperkirakan terjadi dalam tahun 1275-1293, dimana kepulangan tim tersebut membawa serta dua orang putri dari Kerajaan Melayu atau Kerajaan Dharmasraya yaitu Dara Jingga dan Dara Petak yang akan dipersembahkan kepada Raja Singhasari yaitu Kertanegara, namun di tanah Jawa saat itu telah berdiri Kerajaan Majapahit sebagai penganti dari kerajaan sebelumnya. Jadi dapat diasumsikan Gajah Mada merupakan salah seorang dari pengawal kedua putri kerajaan melayu tersebut.[butuh rujukan]

Jawa

Pendapat lain[siapa?] yang meyakini bahwa Gajah Mada berasal dari daerah Modo (Lamongan), karena di daerah ini banyak ditemukan prasasti-prasasti yang diduga kuat peninggalan Majapahit, termasuk adanya beberapa makam kuno prajurit dan makam kuno yang diduga masyarakat setempat sebagai makam ibunda Gajah Mada, yaitu Nyai Andong Sari. Selain itu daerah ini teratur rapi, sehingga seperti suatu bekas tanah perdikan.[butuh rujukan]

Nusa Tenggara Barat

Masyarakat Bima khususnya Dompu percaya kalau Gajah Mada berasal dari daerah ini, mengingat kemiripan dengan tokoh legenda masyarakat Dompu yaitu "ombu Mada Roo Fiko". Ombu artinya tebal/ besar. Mada artinya mata, Roo artinya dan. Fiko artinya telinga. Jadi ditafsirkan sebagi Tuan Mada bertelinga lebar (seperti gajah). Di daerah ini juga terdapat kuburan kuno yang diyakini sebagai makam Gajah Mada.[butuh rujukan]

Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Sabu-Raijua di Nusa Tenggara Timur juga meyakini Gajah Mada berasal dari daerah ini. Budayawan NTT, Robert Riwu Kaho, berpendapat adanya kemiripan dengan nama-nama di Sabu dan Raijua, misalnya seperti Gaja, Mada, Me'do, Mo'jo, Jaka. Selain itu, warna "merah-putih" yang diagungkan Gajah Mada dan Majapahit dianggap warna "gula-kelapa" dan "air ketuban", yaitu lambang orang Sabu sejak zaman dahulu.[19]. Syair-syair pada upacara adat Namata menyebut tokoh Gaja Med'o sebagai perantau Sabu yang menjadi Tuan Besar di tanah Jawa. Sabu-Raijua juga adalah pangkalan angkatan laut Majapahit untuk wilayah selatan Nusantara,[20] meskipun sebenarnya dapat saja di kepulauan Rote yang lebih ke selatan lagi.

Kalimantan Barat

Ada pula yang meyakini[siapa?] Gajah Mada itu merupakan orang Dayak, Kalimantan Barat, yaitu dari sebuah kampung di Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagian masyarakat Dayak mempercayai hal ini berkaitan dengan kisah masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio. Tokoh Gajah Mada di Dayak Krio dikenal dengan nama Jaga Mada, namun masyarakat Dayak lainnya menyebutnya Gajah Mada. Ia dianggap merupakan salah satu Demung Adat yang diutus kerajaan Kutai untuk menjajah Nusantara termasuk Jawa. [butuh rujukan]

Kepustakaan

  1. ^ a b Pigeaud, Theodore Gauthier Th. (1975). Javanese and Balinese manuscripts and some codices written in related idioms spoken in Java and Bali: descriptive catalogue, with examples of Javanese script, introductory chapters, a general index of names and subjects. Steiner. ISBN 3515019642, 9783515019644 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  2. ^ Pogadaev, V. A., 2001, Gajah Mada: The Greatest Commander of Indonesia. Historical Lexicon. XIV –XVI Century. Vol. 1. h.245-253, Мoscow: Znanie.
  3. ^ a b C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993
  4. ^ Lihat: Prasasti Blitar I (tahun jawa 1246 atau 1324) dan Prasasti Sarwadharma,
  5. ^ Lihat: Prasasti Singhasari
  6. ^ a b J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  7. ^ Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  8. ^ Gunawan, Restu (2005). Muhammad Yamin dan cita-cita persatuan Indonesia. University of Michigan Press. 
  9. ^ Memory of Majapahit: Gajah Mada
  10. ^ Yamin, Muhammad (1945). Gadjah Mada, pahlawan persatoean Noesantara. Balai Poestaka. ISBN 9794073237, 9789794073230 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  11. ^ R. S. Subalidinata, Sumarti Suprayitno, Anung Tedjo Wirawan Sejarah dan perkembangan cerita murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa, University of Michigan Press (1985)
  12. ^ Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (Netherlands) (1971). Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 59. M. Nijhoff,. ISBN 9024707811, 9789024707812 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  13. ^ Kern, Hendrik (1918). H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch. M. Nijhoff. 
  14. ^ Robson, Stuart O. (1995). Désawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden: KITLV Press. 
  15. ^ Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  16. ^ Prasasti Kudadu dibuat oleh Narrya Sanggramawijaya pada bulan Bhadrapada tahun Saka 1216 (sekitar Agutus s.d. September 1294 masehi)
  17. ^ Berg, C.C. 1927. Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. ‘s Grav., BKI.
  18. ^ Fakta Terbaru Gajah Mada
  19. ^ Robert Riwu Kaho. 2005. Orang Sabu dan Budayanya, Jogja: Global Media.
  20. ^ Nico L. Kana. 1983. Dunia orang Sawu, Jakarta: Sinar Harapan.

Lihat pula

Pranala luar

  • (Indonesia) Yamin, Muhammad (1945). Gadjah Mada, pahlawan persatoean Noesantara. Balai Poestaka. ISBN 9794073237, 9789794073230 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan).