Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 30: Baris 30:
Transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut sejumlah studi, perempuan berpotensi menjadi objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender dalam mengenalkan energi terbarukan di masyarakat negara berkembang.<ref name=":6" />
Transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut sejumlah studi, perempuan berpotensi menjadi objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender dalam mengenalkan energi terbarukan di masyarakat negara berkembang.<ref name=":6" />


== Persepsi gender mengenai perubahan iklim ==
== Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklim ==
Pandangan mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender. Terkadang juga ditambah dengan pandangan politik. Faktor-faktor tersebut dapat secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kolektif dalam mengatasinya.<ref>{{Cite web|last=Pearson|first=Adam R.|last2=Ballew|first2=Matthew T.|date=2017-04-26|title=Race, Class, Gender and Climate Change Communication|url=https://oxfordre.com/climatescience/view/10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|website=Oxford Research Encyclopedia of Climate Science|language=en|doi=10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|access-date=2021-06-05|last3=Naiman|first3=Sarah|last4=Schuldt|first4=Jonathon P.}}</ref>
Pandangan mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender. Terkadang juga ditambah dengan pandangan politik. Faktor-faktor tersebut dapat secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kolektif dalam mengatasinya.<ref>{{Cite web|last=Pearson|first=Adam R.|last2=Ballew|first2=Matthew T.|date=2017-04-26|title=Race, Class, Gender and Climate Change Communication|url=https://oxfordre.com/climatescience/view/10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|website=Oxford Research Encyclopedia of Climate Science|language=en|doi=10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|access-date=2021-06-05|last3=Naiman|first3=Sarah|last4=Schuldt|first4=Jonathon P.}}</ref>


Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Penelitian menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.<ref name=":7">{{Cite web|last=Ballew|first=Matthew|last2=Marlon|first2=Jennifer|date=2019-11-20|title=Gender Differences in Public Understanding of Climate Change|url=https://climatecommunication.yale.edu/publications/gender-differences-in-public-understanding-of-climate-change/|website=Yale program on climate change communication|access-date=2021-06-05|last3=Leiserowitz|first3=Anthony|last4=Maibach|first4=Edward}}</ref> Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, perempuan sedikit lebih ragu tentang pandangan bahwa sebagian besar ilmuwan meyakini perubahan iklim tengah berlangsung saat ini.<ref name=":7" />
Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Penelitian menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.<ref name=":7">{{Cite web|last=Ballew|first=Matthew|last2=Marlon|first2=Jennifer|date=2019-11-20|title=Gender Differences in Public Understanding of Climate Change|url=https://climatecommunication.yale.edu/publications/gender-differences-in-public-understanding-of-climate-change/|website=Yale program on climate change communication|access-date=2021-06-05|last3=Leiserowitz|first3=Anthony|last4=Maibach|first4=Edward}}</ref> Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, perempuan sedikit lebih ragu tentang pandangan bahwa sebagian besar ilmuwan meyakini perubahan iklim telah terjadi saat ini.<ref name=":7" />

== Perbedaan gender tentang kebijakan perubahan iklim ==
Menurut sejumlah penelitian, keterwakilan perempuan dalam parlemen memengaruhi sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Data dari sampel banyak negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan membawa negara mereka mengadopsi kebijakan perubahan iklim yang lebih ketat.<ref>{{Cite journal|last=Mavisakalyan|first=Astghik|last2=Tarverdi|first2=Yashar|date=2019-01-01|title=Gender and climate change: Do female parliamentarians make difference?|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0176268017304500|journal=European Journal of Political Economy|language=en|volume=56|pages=151–164|doi=10.1016/j.ejpoleco.2018.08.001|issn=0176-2680}}</ref> Studi di AS menemukan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan dibandingkan anggota laki-laki.<ref>{{Cite journal|last=Fredriksson|first=Per G.|last2=Wang|first2=Le|date=2011-12-01|title=Sex and environmental policy in the U.S. House of Representatives|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165176511002862|journal=Economics Letters|language=en|volume=113|issue=3|pages=228–230|doi=10.1016/j.econlet.2011.07.019|issn=0165-1765}}</ref>

=== Partisipasi perempuan dalam kebijakan penanganan bencana alam ===
Kajian mengenai [[Riskscapes]] di tiga daerah di Indonesia, yaitu [[Aceh]], [[Bantul]], dan [[Gunung Merapi|Merapi]] mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "Ketika perempuan diberdayakan, mempunyai partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, dan memiliki peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, para perempuan tersebut bersama keluarganya, serta komunitas mereka akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai Riskscapes bencana".<ref name=":8">{{Cite journal|last=Tickamyer|first=Ann R|last2=Kusujiarti|first2=Siti|date=2020-07-01|title=Riskscapes of gender, disaster and climate change in Indonesia|url=https://doi.org/10.1093/cjres/rsaa006|journal=Cambridge Journal of Regions, Economy and Society|volume=13|issue=2|pages=233–251|doi=10.1093/cjres/rsaa006|issn=1752-1378}}</ref> Mereka juga merekomendasikan peneliti Riskspaces untuk memasukkan aspek gender dalam riset, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim.<ref name=":8" />


== Daftar rujukan ==
== Daftar rujukan ==

Revisi per 5 Juni 2021 06.04

Perempuan bekerja di persawahan di Gujarat, India

Perubahan iklim dan gender merupakan cara untuk menganalisis dampak gender akibat perubahan iklim. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada masyarakat bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial, termasuk pada konstruksi sosial mengenai peran dan relasi gender laki-laki dan perempuan.[1] Perempuan umumnya lebih rentan terhadap risiko dampak perubahan iklim dan memikul beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki[2]. Hal ini disebabkan karena proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia dan ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam untuk mata pencaharian dan kelangsungan hidup keluarganya.[3] Dari 1,3 miliar penduduk negara berkembang yang hidup di bawah ambang kemiskinan sebanyak 70 persennya adalah perempuan.[4] Para perempuan yang paling terdampak tersebut hidup di negara berkembang dan miskin yang memiliki kemampuan respon perubahan iklim yang rendah.[2][5]

Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah bencana alam, antara lain berupa peningkatan permukaan air laut, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai. Sedangkan efek jangka panjangnya berupa kerusakan lingkungan secara bertahap.[3] Keduanya sama-sama memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kekuasaan, politik, dan sosial yang tidak setara yang seringkali memposisikan mereka sekadar sebagai objek kebijakan dan implementasinya.[1] Perempuan tidak mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.[3] Sehingga, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang telah ada selama ini.[6][7]

Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim.[8][9] Selain itu, kesadaran mengenai peran dan kontribusi perempuan dalam mitigasi perubahan iklim juga diperlukan dalam menyusun kebijakan adaptasinya. Sejumlah organisasi dan pemerintah telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. Persetujuan Paris menekankan pentingnya keadilan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.[10] Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.[11]

Perubahan iklim mungkin tidak hanya memengaruhi perempuan dan laki-laki, tapi juga sistem biner yang lain. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa jadi memperburuk kondisi masyarakat gender non-biner di tengah-tengah isu perubahan iklim. Sampai saat ini, belum banyak studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner.[12] Isu gender dalam perubahan iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang juga turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, seperti usia, kelas sosial, status perkawinan, dan kelompok etnik.[13]

Dampak gender perubahan iklim

Perubahan iklim memengaruhi berbagai aspek penting dalam kehidupan, antara lain air, energi, transportasi, margasatwa, pertanian, ekosistem, dan kesehatan manusia.[14] Dampak gender perubahan iklim dalam aspek-aspek tersebut mungkin saja berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada bidang kesehatan, misalnya, laki-laki di negara maju dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa yang bisa mengarah pada aksi bunuh diri dan isolasi sosial.[15] Berdasarkan penelitian The Lancet pada 2019, perempuan mengalami kerentanan tertinggi dalam perubahan iklim di antara gender yang lain.[16]

Bidang kesehatan

Perubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan gender dalam bidang kesehatan yang telah lama ada.[17] Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan, antara lain berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara yang buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi penyakit tular vektor, penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan.[17] Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.[17] Asia tenggara diperkirakan menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak di antara bagian bumi yang lain.[18] Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi membuat bekerja di luar ruangan tidak lagi aman dilakukan di negara-negara Asia Tenggara pada 2050.[19]

Perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap paparan panas berlebih.[17] Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan.[17] Panas yang ekstrem juga dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya.[17] Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir, dan kekeringan yang akhirnya mengakibatkan gagal panen berkontribusi pada kenaikan angka bunuh diri di kalangan petani di India.[20] Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani perempuan.[21] Bencana alam juga memicu kecemasan dan depresi pada perempuan.[22] Selain itu, perempuan yang melahirkan saat bencana juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan, seperti pre-eklampsia, perdarahan, dan kelahiran bayi dengan bobot kurang.[23]

Bidang pertanian

Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Perempuan perdesaan dalam hal ini merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Mereka umumnya bekerja membantu di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.[24] Perempuan dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan ternak dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.[24] Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berat.[25]

Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen. Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, peralatan pertanian, pupuk, tenaga buruh tani, dan akses ke pelatihan. Akibatnya, perempuan nampak kurang memiliki peran dalam produksi pangan secara keseluruhan. FAO meyakini bahwa kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses dan sumber daya tersebut.[24]

Bidang transportasi

Transportasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 24,5% di seluruh dunia.[26] Laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda. Berdasarkan hasil penelitian di lima negara (Brazil, Tiongkok, Britania Raya, Italia, dan Spanyol), perempuan lebih berminat mengubah pilihan transportasi jika tersedia informasi mengenai jejak karbon yang mereka hasilkan.[27] Penelitian di Skandinavia menunjukkan bahwa perempuan berpendapatan tinggi berpotensi menjadi pengguna kendaraan listrik.[28] Studi kasus di Swedia[29] dan Selandia Baru[30] menemukan bahwa perempuan melakukan perjalanan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pria dan mereka lebih mempertimbangkan isu keberlanjutan dalam pola transportasi mereka.[29]

Bidang energi

Kemiskinan energi (energy poverty) menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Para ilmuwan meyakini bahwa masalah akses ke energi ini adalah masalah interseksional.[31] Di perdesaan Asia dan Afrika, perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan energi untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, terutama energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.[3][32] Akibat perubahan iklim, biodiversitas terancam dan manusia pun kesulitan untuk mendapatkan sumber energi tersebut.[3]

Transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut sejumlah studi, perempuan berpotensi menjadi objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender dalam mengenalkan energi terbarukan di masyarakat negara berkembang.[31]

Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklim

Pandangan mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender. Terkadang juga ditambah dengan pandangan politik. Faktor-faktor tersebut dapat secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kolektif dalam mengatasinya.[33]

Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Penelitian menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.[34] Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, perempuan sedikit lebih ragu tentang pandangan bahwa sebagian besar ilmuwan meyakini perubahan iklim telah terjadi saat ini.[34]

Perbedaan gender tentang kebijakan perubahan iklim

Menurut sejumlah penelitian, keterwakilan perempuan dalam parlemen memengaruhi sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Data dari sampel banyak negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan membawa negara mereka mengadopsi kebijakan perubahan iklim yang lebih ketat.[35] Studi di AS menemukan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan dibandingkan anggota laki-laki.[36]

Partisipasi perempuan dalam kebijakan penanganan bencana alam

Kajian mengenai Riskscapes di tiga daerah di Indonesia, yaitu Aceh, Bantul, dan Merapi mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "Ketika perempuan diberdayakan, mempunyai partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, dan memiliki peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, para perempuan tersebut bersama keluarganya, serta komunitas mereka akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai Riskscapes bencana".[37] Mereka juga merekomendasikan peneliti Riskspaces untuk memasukkan aspek gender dalam riset, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim.[37]

Daftar rujukan

  1. ^ a b Djoudi, Houria; Locatelli, Bruno; Vaast, Chloe; Asher, Kiran; Brockhaus, Maria; Basnett Sijapati, Bimbika (2016-12-01). "Beyond dichotomies: Gender and intersecting inequalities in climate change studies". Ambio (dalam bahasa Inggris). 45 (3): 248–262. doi:10.1007/s13280-016-0825-2. ISSN 1654-7209. PMC 5120018alt=Dapat diakses gratis. PMID 27878531. 
  2. ^ a b "Introduction to Gender and Climate Change". unfccc.int. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  3. ^ a b c d e "WomenWatch: Women, Gender Equality and Climate Change". www.un.org. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  4. ^ Denton, Fatma (2002-07-01). "Climate change vulnerability, impacts, and adaptation: Why does gender matter?". Gender & Development. 10 (2): 10–20. doi:10.1080/13552070215903. ISSN 1355-2074. 
  5. ^ Arora-Jonsson, Seema (2011-05-01). "Virtue and vulnerability: Discourses on women, gender and climate change". Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 21 (2): 744–751. doi:10.1016/j.gloenvcha.2011.01.005. ISSN 0959-3780. 
  6. ^ UNDP (2012). "Overview of linkages between gender and climate change". Gender and Climate Change. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  7. ^ Rusmadi, Rusmadi (2017-07-06). "Pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia". Sawwa: Jurnal Studi Gender. 12 (1): 91–110. ISSN 2581-1215. 
  8. ^ Terry, Geraldine (2009-03-01). "No climate justice without gender justice: an overview of the issues". Gender & Development. 17 (1): 5–18. doi:10.1080/13552070802696839. ISSN 1355-2074. 
  9. ^ Buckingham, Susan; Masson, Virginie Le (2017-05-08). Understanding Climate Change through Gender Relations (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-1-317-34061-4. 
  10. ^ "Climate change and the environment | How we work: Intergovernmental support". UN Women (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-03. 
  11. ^ Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2015). "Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender" (PDF). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  12. ^ The Lancet (Februari 2020). "Climate change and gender-based health disparities" (PDF). The Lancet. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  13. ^ "Gender is one of many social factors influencing responses to climate change | Adaptation at Scale in Semi-Arid Regions". www.assar.uct.ac.za (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  14. ^ "Climate change impacts | National Oceanic and Atmospheric Administration". www.noaa.gov. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  15. ^ WHO (2014). (acce "Gender, climate change and health" Periksa nilai |url= (bantuan). WHO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  16. ^ Watts, Nick; Amann, Markus; Arnell, Nigel; Ayeb-Karlsson, Sonja; Belesova, Kristine; Boykoff, Maxwell; Byass, Peter; Cai, Wenjia; Campbell-Lendrum, Diarmid (2019-11-16). "The 2019 report of The Lancet Countdown on health and climate change: ensuring that the health of a child born today is not defined by a changing climate". The Lancet (dalam bahasa English). 394 (10211): 1836–1878. doi:10.1016/S0140-6736(19)32596-6. ISSN 0140-6736. PMID 31733928. 
  17. ^ a b c d e f Sorensen, Cecilia; Murray, Virginia; Lemery, Jay; Balbus, John (2018-07-10). "Climate change and women's health: Impacts and policy directions". PLoS Medicine. 15 (7). doi:10.1371/journal.pmed.1002603. ISSN 1549-1277. PMC 6038986alt=Dapat diakses gratis. PMID 29990343. 
  18. ^ Choudhury, Saheli Roy (2020-08-17). "Southeast Asia faces more severe effects of climate change than the rest of the world, McKinsey says". CNBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  19. ^ Tempomedia. "2050, Paparan Panas Ekstrem Naik Empat Kali - koran.tempo.co". koran.tempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  20. ^ "Extreme rains lead to more rural farmer suicides than droughts: Study". Hindustan Times (dalam bahasa Inggris). 2020-09-11. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  21. ^ Saini, Yashobanta Parida/Swati. "Weather woes add to farmer-suicide cases". @businessline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  22. ^ Norris, Fran H.; Friedman, Matthew J.; Watson, Patricia J.; Byrne, Christopher M.; Diaz, Eolia; Kaniasty, Krzysztof (2002). "60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981-2001". Psychiatry. 65 (3): 207–239. doi:10.1521/psyc.65.3.207.20173. ISSN 0033-2747. PMID 12405079. 
  23. ^ Tong, Van T.; Zotti, Marianne E.; Hsia, Jason (2011-04). "Impact of the Red River Catastrophic Flood on Women Giving Birth in North Dakota, 1994–2000". Maternal and Child Health Journal (dalam bahasa Inggris). 15 (3): 281–288. doi:10.1007/s10995-010-0576-9. ISSN 1092-7875. 
  24. ^ a b c FAO (2012). "Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide" (PDF). FAO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  25. ^ "C6 - 1 Gender-differentiated impacts of climate change | Climate Smart Agriculture Sourcebook | Food and Agriculture Organization of the United Nations". www.fao.org. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  26. ^ "gender cc - women for climate justice". www.gendercc.net. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  27. ^ Waygood, E. O. D.; Avineri, E. (2016-10-01). "Communicating transportation carbon dioxide emissions information: Does gender impact behavioral response?". Transportation Research Part D: Transport and Environment (dalam bahasa Inggris). 48: 187–202. doi:10.1016/j.trd.2016.08.026. ISSN 1361-9209. 
  28. ^ Sovacool, Benjamin K.; Kester, Johannes; Noel, Noel; de Rubens, Gerardo Zarazua (2018-09-01). "The demographics of decarbonizing transport: The influence of gender, education, occupation, age, and household size on electric mobility preferences in the Nordic region". Global Environmental Change (dalam bahasa Inggris). 52: 86–100. doi:10.1016/j.gloenvcha.2018.06.008. ISSN 0959-3780. 
  29. ^ a b Kronsell, Annica; Rosqvist, Lena Smidfelt; Hiselius, Lena Winslott (2016-09-13). "Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case". International Journal of Sustainable Transportation. 10 (8): 703–711. doi:10.1080/15568318.2015.1129653. ISSN 1556-8318. 
  30. ^ Shaw, Caroline; Russell, Marie; Keall, Michael; MacBride-Stewart, Sara; Wild, Kirsty (2020-09-01). "Beyond the bicycle: Seeing the context of the gender gap in cycling". Journal of Transport & Health (dalam bahasa Inggris). 18: 100871. doi:10.1016/j.jth.2020.100871. ISSN 2214-1405. 
  31. ^ a b Johnson, Oliver W.; Han, Jenny Yi-Chen; Knight, Anne-Louise; Mortensen, Sofie; Aung, May Thazin; Boyland, Michael; Resurreccióne, Bernadette P. (2020-12-01). "Intersectionality and energy transitions: A review of gender, social equity and low-carbon energy". Energy Research & Social Science (dalam bahasa Inggris). 70: 101774. doi:10.1016/j.erss.2020.101774. ISSN 2214-6296. 
  32. ^ Antwi, Sarpong Hammond (2020-06-25). "The trade-off between gender, energy and climate change in Africa: the case of Niger Republic". GeoJournal (dalam bahasa Inggris). doi:10.1007/s10708-020-10246-9. ISSN 1572-9893. 
  33. ^ Pearson, Adam R.; Ballew, Matthew T.; Naiman, Sarah; Schuldt, Jonathon P. (2017-04-26). "Race, Class, Gender and Climate Change Communication". Oxford Research Encyclopedia of Climate Science (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  34. ^ a b Ballew, Matthew; Marlon, Jennifer; Leiserowitz, Anthony; Maibach, Edward (2019-11-20). "Gender Differences in Public Understanding of Climate Change". Yale program on climate change communication. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  35. ^ Mavisakalyan, Astghik; Tarverdi, Yashar (2019-01-01). "Gender and climate change: Do female parliamentarians make difference?". European Journal of Political Economy (dalam bahasa Inggris). 56: 151–164. doi:10.1016/j.ejpoleco.2018.08.001. ISSN 0176-2680. 
  36. ^ Fredriksson, Per G.; Wang, Le (2011-12-01). "Sex and environmental policy in the U.S. House of Representatives". Economics Letters (dalam bahasa Inggris). 113 (3): 228–230. doi:10.1016/j.econlet.2011.07.019. ISSN 0165-1765. 
  37. ^ a b Tickamyer, Ann R; Kusujiarti, Siti (2020-07-01). "Riskscapes of gender, disaster and climate change in Indonesia". Cambridge Journal of Regions, Economy and Society. 13 (2): 233–251. doi:10.1093/cjres/rsaa006. ISSN 1752-1378.