Lompat ke isi

Media massa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seorang gadis kecil membaca berita melalui surat kabar (koran) yang diantarkan ke rumahnya tentang pendaratan di bulan pada tahun 1969

Media massa atau Pers adalah sebuah istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.[1]

Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas.[2] Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

Pengertian Pers menurut para ahli

UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
R Eep Saefulloh Fatah
Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah. Yang dimaksud pers sebagai pilar ke-4 adalah pers memiliki fungsi yaitu sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan demokrasi. Fungsi kontrol tersebut menjadikan fungsi pers dalam masyarakat semakin menguat. Pers diharapkan dapat berfungsi melakukan cover both side (melihat sudut pandang berita dari dua sisi) yang harus dipertahankan karena pers merupakan alat kontrol sosial bagi pemerintah sehingga pers menjadi media penyampaian aspirasi masyarakat terhadap pemerintah. Serta pers juga harus memiliki fungsi gate keeper dimana harus menyaring dalam setiap pemberitannya. Diharapkan fungsi pers tersebut dapat mendidik yang baik bagi masyarakat serta dapat menjadi penjembatan yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
Oemar Seno Adji
  1. Pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis
  2. Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pers berarti:
  1. alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
  2. alat untuk menjepit atau memadatkan
  3. surat kabar dan majalah yang berisi berita
  4. orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
Kustadi Suhandang
Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya
Wilbur Schramm
Dalam bukunya Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat
McLuhan
Pers sebagai the extended man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada moment yang bersamaan
Raden Mas Djokomono
Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda

Sejarah Pers Di Indonesia

Masa Penjajahan Belanda

Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. Fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda.

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, pada zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.[3]

Masa Revolusi Fisik

Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.[4]

Masa Demokrasi Liberal

Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers, yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.

Masa Demokrasi Terpimpin

Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.[5]

Masa Orde Baru

Seperti yang kita ketahui bahwa keadaan pers di Indonesia pada masa Orde Baru merupakan bersifat otoriter, hal itu dapat diketahui bahwa pers selalu mendapatkan tekanan dari pemerintah. Pers tidak diperbolehkan untuk berita-berita miring seputar pemerintah. Sistem pers model otoriter tersebut memaksa pers untuk selalu tunduk kepada pemerintah, keberadaan pers di Indonesia, diawasi secara ketat oleh pemerintah dibawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan mengantisipasi hal-hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai ditelinga masyarakat. Pers tidak dapat melakukan apapun selain patuh kepada pemeintah. Dengan demikian, hal yang terjadi adalah aspirasi dari masyarakat untuk pemerintah tidak dapat tersalurkan sama sekali. Kehidupan pers pada masa orba sangat memprihatinkan karena selalu diawasi oleh pemerintah. Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi pemerintah melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pers.[6]

Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[7]

Masa Reformasi

Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.[8]

Perkembangan Pers Di Indonesia

  • Perkembangan pers di Indonesia berawal pada penerbitan surat kabar pertama, yaitu Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan yang terbit 7 Agustus 1774.
  • Kemudian muncul beberapa surat kabar berbahasa Melayu, antara lain Slompet Melajoe, Bintang Soerabaja (1861), dan Medan Prijaji (1907).
  • Majalah tertua ialah Panji Islam (1912-an)
  • Surat kabar terbitan peranakan Tionghoa pertama kali muncul adalah Li Po (1901), kemudian Sin Po (1910).
  • Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah surat kabar Soeara Asia.
  • Sesudah itu, surat kabar nasional yang memuat teks proklamasi adalah surat kabar Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang).
  • Corak kehidupan politik, ideologi, kebudayaan, tingkat kemajuan suatu bangsa sangat mempengaruhi sistem pers di suatu negara.

Secara umum, di seluruh dunia terdapat pola kebijakan pemerintah terhadap pers yang otoriter dan demokratis. Di antarakeduanya terdapat variasi dan kombinasi, bergantung tingkat perkembangan masing-masing negara. Ada yang quasi otoriter, ada yang quasi demokratis, dan sebagainya.[9]

Jenis-jenis media massa

Media massa tradisional

Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar).[10] Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:

  1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
  2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
  3. Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
  4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.

Media massa modern

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon seluler.[11] Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:

  1. Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
  2. Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
  3. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
  4. Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
  5. Penerima yang menentukan waktu interaksi

Fungsi Pers

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu Pasal 6 UU Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut ;

  • Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar melakukan pengawasan.[12]
  • Sebagai pelaku Media Informasi

Pers itu memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi kepada masyarakat, dan masyarakat membeli surat kabar karena memerlukan informasi.

  • Fungsi Pendidikan

Pers itu sebagi sarana pendidikan massa, pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannya.

  • Fungsi Hiburan

Pers juga memuat hal-hal yang bersifat hiburan untuk mengimbangi berita-berita berat dan artikel-artikel yang berbobot. Berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, dan karikatur.

  • Fungsi Kontrol Sosial

Fungsi ini terkandung makna demokratis yang didalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

  1. keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan
  2. pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat
  3. dukungan rakyat terhadap pemerintah
  4. kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah
  • Sebagai Lembaga Ekonomi

Pers adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan di sekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri.

Distorsi kebebasan media massa

Distorsi kebebasan media massa dalam menjalankan fungsinya antara lain:

  1. Melalui regulasi media massa: menurut peraturan perundang-undangan pasal 28 UUD 1945 dan UU No.11 tahun 1996 tentang pers sebenarnya telah menjamin kebebasan pers. Pasal 4 dan 8 UU tersebut memberikan jaminan tidak ada sensor, tidak ada larangan setiap warga negara yang ingin mendirikan perusahaan pers. Hal tersebut merupakan indikator penting adanya kebebasan pers. Contoh: pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh salah satu stasiun TV. Kasusnya disini karena mereka cuma menggunakan narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama. Pasal yang dilanggar adalah pasal 3 yang berbunyi "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah".
  2. Birokrasi atau aparat kekuasaan: selain karena distorsi peraturan perundang-undangan, pengendalian kebebasan pers oleh pemerintahan juga bisa terjadi melalui perilaku aparat. Pada masa orba, ada beragam perilaku aparat yang berusaha mengendalikan kebebasan pers, antara lain dilakukan dengan cara mengirimkan teguran kepada redaksi, melakukan kekerasan fisik kepada wartawan, hingga pembunuhan wartawan. Contoh: anggota DPRD kota Cirebon Udin Saefullah mengamuk di gedung wakil rakyat yang tak terima usai muncul pemberitaan di media massa lokal yang menyebut dirinya tidak kunjung mundur meski sudah mendaftarkan sebagai salah satu bakal calon legeslatif dari partai Hanura. Dia bahkan mengancam akan memukul wartawan jika tetap mengungkit-ungkit posisinya sebagai anggota DPRD.
  3. Tindakan main hakim sendiri masyarakat kepada media: kebebasan pers yang dijamin oleh UU No.40 tahun 1999 ternyata digunakan secara tidak bertanggungjawab oleh sebagian media massa. Kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk mengumbar sensasi. Sejumlah individu atau kelompok masyarakat merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut. mereka menghukum pers dengan cara mendatangi kantor media kemudian melakukan ancaman dan teror, melakukan pemganiayaan terhadap wartawan, hingga perusakan kantor media. Contoh: pada saat pemilu presiden berlangsung pada tahun 2014 yang lalu, hasil pemungutan suara yang diberitakan pada stasiun TVOne dengan stasiun TV yang lain mengalami perbedaan hasil polling suara. Sehingga masyarakat mengalami kebingungan dalam perhitungan cepat tersebut, dan pada akhirnya terdapat masyarakat yang melakukan aksi protes kepada stasiun TVOne dengan mengkritiknya.
  4. Perilaku pers sendiri. dalam praktiknya, ternyata tidak hanya faktor diluar pers yang potensial mengendalikan kekerasan pers, seperti perundang-undangan, tindakaan aparat, pengendalian kebebasan pers ternyata bersumber dari perusahaan pers itu sendiri. Media tersebut cenderung menyajikan sisi hiburan daripada memberikan informasi, berita politik cenderung disajikan mengupas pribadi politisi ketimbang pemikiran dan kinerjanya, berita yang disajikan cenderung miskin makna dan menjadikan pembaca bersikap sinis terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Contoh: seperti media elektronik MNCTV, pada media tersebut selalu menyajikan mengenai kelebihan pemilik dari media tersebut yaitu Harry Tanoesodibjo, hal tersebut dilakukan oleh media tersebut karena sang pemilik ingin mencalonkan presiden pada periode pemilihan berikutnya. Namun setelah terkuat kasus Antasari yang menyeret namanya, maka citra baik dari Harry Tanoesodibjo di masyarakat sedikit tercoreng. Hal tersebut dapat dipastikan bahwa media tersebut kurang adanya profesionalisme dalam hal penyiaran iklan dan selalu memihak kepada pemiliknya sendiri dan tidak bersikap netral.

Pengaruh media massa pada budaya

Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampak bisa dilihat dari:

  1. skala kecil (individu) dan luas (masyarakat)
  2. kecepatannya, yaitu cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.

Pengaruh media bisa ditelusuri dari fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model komunikasi hingga sekarang, yaitu:

  1. Siapa
  2. Pesannya apa
  3. Saluran yang digunakan
  4. Kepada siapa
  5. Apa dampaknya

Model ini adalah garis besar dari elemen-elemen dasar komunikasi. Dari model tersebut, Laswell mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media.

Fungsi-fungsi media massa pada budaya

  1. Fungsi pengawasan, penyediaan informasi tentang lingkungan.
  2. Fungsi penghubungan, di mana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.
  3. Fungsi pentransferan budaya, adanya sosialisasi dan pendidikan.
  4. Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).

Pengaruh media massa pada pribadi

Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari [13]

  • Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media.
  • Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, di mana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.
  • Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "Catatan si Boy".
  • Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", di mana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.

Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain.

Kebebasan Pers di Indonesia

Dengan adanya kebebasan media massa maka akhirnya mengalami pergeseran ke arah liberal pada beberapa tahun belakangan ini. Ini merupakan kebebasan pers yang terdiri dari dua jenis: Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif.

  • Kebebasan negatif merupakan kebebasan yang berkaitan dengan masyarakat di mana media massa itu hidup. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari interfensi pihak luar organisasi media massa yang berusaha mengendalikan, membatasi atau mengarahkan media massa tersebut.
  • Kebebasan positif merupakan kebebasan yang dimiliki media massa secara organisasi dalam menentukan isi media. Hal ini berkaitan dengan pengendalian yang dijalankan oleh pemilik media dan manajer media terhadap para produser, penyunting serta kontrol yang dikenakan oleh para penyunting terhadap karyawannya.[14]

Kedua jenis kebebasan tersebut, bila melihat kondisi media massa Indonesia saat ini pada dasarnya bisa dikatakan telah diperoleh oleh media massa kita. Memang kebebasan yang diperoleh pada kenyataannya tidak bersifat mutlak, dalam arti media massa memiliki kebebasan positif dan kebebasan negatif yang kadarnya kadang-kadang tinggi atau bisa dikatakan bebas yang bebas-sebebasnya tanpa kontrol sedikitpun.

Hubungan antara Pers dan Jurnalistik

Pers dan jurnalistik merupakan suatu kesatuan yang bergerak dalam bidang penyiaran informasi, hiburan, keterangan, dan penerangan. Artinya adalah bahwa antara pers dan jurnalistik mempunyai hubungan yang erat. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermanfaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak (Kustadi Suhandang, 2004:40).

Referensi

  1. ^ "Peranan Pers dalam Pergerakan Nasional Indonesia | Website Resmi Pemerintah Kabupaten Pati". www.patikab.go.id. Diakses tanggal 2021-12-08. 
  2. ^ Sucahya, Media (2013). "Ruang Publik dan Ekonomi Politik Media". Jurnal Komunikasi. 2 (2): 15–22. 
  3. ^ Yuliati, Dewi; et al. (1999). Pengawasan terhadap Pers Bumiputera di Jawa pada masa Pendudukan Jepang 1942-1945 (PDF). Semarang: Universitas Diponegoro. hlm. 1–5. 
  4. ^ Samsudin, Dafrizal; Ibrahim, Faridah (2021). "Indonesian and Malaysian Press Policy: Pre and Post-Independence". International Journal of Media and Communication Research (IJMCR). 2 (2): 01–06. ISSN 2722-1423. 
  5. ^ Suwirta, Andi (2008). "Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia pada Tahun 1950–1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional" (PDF). Sosiohumanika. 1 (2): 48–71. doi:10.2121/sosiohumanika.v1i2.336. 
  6. ^ Rb, Ribell. "Kebebasan Pers" (dalam bahasa Inggris). 
  7. ^ Imron (2016). "Pembredelan Pers Pada Masa Pemerintahan Orde Baru Dan Relevansinya Bagi Mata Kuliah Sejarah Indonesia Mutakhir". Jurnal Candi. 13 (1): 144–148. 
  8. ^ Syam, Nia Kurniati (2006). "Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif Teori Normatif Media Massa". Mediator. 7 (1): 71–75. doi:10.29313/mediator.v7i1.1224. 
  9. ^ "Sejarah Pers di Indonesia – Momentum" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-08. 
  10. ^ Stefanone, Michael A.; et al. (2010). "The Relationship between Traditional Mass Media and "Social Media": Reality Television as a Model for Social Network Site Behavior". Journal of Broadcasting & Electronic Media. 54 (3): 508–525. doi:10.1080/08838151.2010.498851. 
  11. ^ AIKAT, DEB (2009). "TRADITIONAL AND MODERN MEDIA" (PDF). Journalism and mass communication: Encyclopedia of life support systems. 1. 
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-21. Diakses tanggal 2012-04-11. 
  13. ^ (Inggris) Gamble, Teri and Michael. Communication works. Seventh edition.
  14. ^ Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Yogyakarta

Pranala luar