Upuh Ulen-ulen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerawang Gayo
Modifikasi Baju Koko dengan Kerawang Gayo

Upuh Ulen-ulen adalah busana tradisional Gayo yang Biasanya dipakai saat melangsungkan acara Resepsi Pernikahan, acara tarian adat dan budaya secara turun-temurun. Kerawang Itu Sendiri Merupakan hasil cipta karsa dari manusia yang menjadi nilai estetika dalam prilaku kehidupan yang kemudian menjadi budaya. Sedangkan budaya itu sendiri adalah hasil refleksi manusia dengan alam.[1]

Sejarah Kerawang Gayo[sunting | sunting sumber]

Umat manusia pernah memlalui dua zaman Paleolitikum dan Neoletikum. Pada zaman Paleotikum dan awal Neoletikum manusia mulai mengenal dan membuat benda-benda atau peralatan dari tanah liat atau tembikar. Pada masa itu kelompok-kelompok manusianya telah menetap dan melakukan kegiatan pertanian atau hortikultura. Di luar Indonesia tembikar tertua ditemukan berusia sekitar 6500 SM (Haryono, T dan Priyanti Pakan, 1991: 216-217). Di Gayo sendiri telah berkembang kepandaian membuat tembikar yang berbentuk bermacam-macam wadah seperti keni (Keni) labu (sejenis kendi dengan ukuran yang lebih kecil), wadah menyerupai baskom (buke), tempat mengabil air dan menyimpan air (buyung), periuk, belanga dan lain-lain.[2]

Tembikar pada masa bercocok tanam di Indonesia ada yang polos yang berhias. Seperti tembikar di Indonesia lainnya, teknik hiasan tembikar Gayo ada yang menunjukan Teknik Gores (incided), teknik tekan (impressed) dan teknik dengan cairan berwarna. Motif hiasannya umumnya motif geometrik, flora dan fauna. Wadah-wadah itu masih dibuat orang Gayo sampai sekarang tahun 40-an. Pembuatan tembikar berangsur-angsur terhenti karena masuknya wadah-wadah teknologi baru dengan fungsi yang sama. Adapun yang belum jelas, kapan orang gayo mulai mengembangkan kepandaian membuat tembikar itu, yang keseluruhannya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mereka juga memakainya dalam rangka upacara perkawinan sebagai salah satu unsur tempah, yang mirip dengan maskawin.[3]

Sehubungan dengan masa lalu orang gayo, ada yang mencoba menganalis hasil ragam hias kerawang. Meskipun pendekatan ini tidak dipelajari secara mendalam, ragam hias kerawang di Gayo ini terpahat pada bagian-bagian tertentu dari rumah; berupa dari lambang-lambang bahagian tubuh dari binatang, yang mengingatkan pada pada zaman batu muda (neolitik). Lambang-lambang itu sebagai selain hiasan, juga terkait pada sistem kepercayaan mereka, seni hias yang semakin berkembang, terlihat pada ukiran-ukiran geometris yang ada pada dinding atau tangga rumah. Selanjutnya pengaruh islam membendung mereka untuk membuat patung-patung, yang diangap bertentang dengan norma agama yang mereka anut (Harun, 1962: 8 – 11).[4]

Sehubungan dengan ragam hias ini, sebenarnya ada ragam corak hias yang dikenal dan hidup dalam kehidupan masyarakat Gayo. Ragam hias ini terwujud pada barang anyaman seperti tikar, bermacam-macam wadah yang dianyam misalnya apa yang disebut tape, sentong, bebalun. Semua ini merupakan benda upacara. Ada pula ragam hias pada tembikar dengan berbagai motif dan nama-nama hiasan seperti: kekukut, memayang, kekuyang, gegenit, tapak tikus, dan lain-lain. Ragam hias itu juga terdapat pada pakaian dengan motif dan nama sendiri pula. Nama-nama hiasan itu pada umumnya diambil dari nama unsur tubuh binatang, seperti telapak kaki tikus, kaki lipan disamping gejala alam minsalnya awan berarak (emun berangkat) semua itu tentu mengandung pesan budaya sehubungan dengan kehidupan mereka dimasa lalu.

Pertama sekali ukiran kerawang ditemukan pada ornamen umah pitu ruang (rumah adat suku Gayo) sehingga memperindah nilai bentuk umah pitu ruang itu sendiri.

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Sedangkan umah pitu ruang itu sendiri adalah mahar atau permintaan dari seorang putri dari kerajaan Johor yang dipinang oleh Adi Genali raja Linge Pertama pada abad ke 10. Bangunan umah pitu ruang sangat erat kaitannya dengan ukiran kerawang sehingga mengandung nilai-nilai filsafat dalam kehidupan masyarakat. Angka pitu ruang (tujuh ruang) merupakan pondasi iman dalam kehidupan yang memhubungkan manusia dengan Allah SWT. Ruang pertama diidentik dengan Alqur’an, ruang kedua merupakan hadist, ruang ketika adalah ijma', ruang keempat adalah kias, ruang kelima adalah edet, ruang ke enam adalah resam dan ruang ketujuh adalah atur. Dengan arti lain pitu ruang merupakan konsep pertikal antara manusia dengan Allah. Sedangkan kerawang merupakan Konsep horizontal antara sesama manusia edet, resam dan atur merupakan konsep horizontal antara sesama manusia. Sedangkan hasil refleksi manusia dengan alam melahirkan sebuah budaya yang terangkum dalam kehidupan kebudayaan manusia. Salah satunya adalah kerawang. Nama atau bentuk ukiran kerawang adalah ornamen alam yang menjadi simbul dan identitas dari mansyarakat yang lahir dari karsa dan cipta manusia itu sendiri.[5]

Filosofi kehidupan orang gayo direfleksikan kepada ukiran kerawang yang menjadi adat dan budaya bagi orang gayo itu sendiri. Kerawang adalah hasil cipta karsa dari manusia yang menjadi nilai estetika dalam prilaku kehidupan yang kemudian menjadi budaya. Sedangkan budaya itu sendiri adalah hasil refleksi manusia dengan alam. Bahkan motif kerawang tercermin pada resam peraturan negeri Linge yaitu sarak opat. Filosofi kehidupan yang tercermin dalam motif kerawang yaitu: Sarak opat ; reje musuket sipet (raja yang adil) petue musidik sasat (cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas) imem muperlu sunet (iman memahami betul antara yang haram dan halal, yang wajib dan sunat ) rakyat genap mupakat (segala persoalan masyarakat diselesaikan dengan musyawarah)[6]

Embun berangkat ; beluh sara loloten mewen sara tamunen (sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam persatuan dalam membangun negeri)
Pucuk rebung: Kuatas mupucuk lemi kutuyuh mujantan tegep (peningkatan kualitas manusia ddengan pondasi iman)
Puter tali ; ratif musara nanguk nyawa musara peluk (sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah harus bersama-sama)

Ukiran kerawang yang ada pada umah pitu ruang adalah pase pertama keberadaan kerawang selanjutnya ukiran kerawang berkebang kepada gerabah dan kendi, kemudian berkembang pada tembikar. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi menjadikan kerawang sebagai industri rumah tangga. Berbasis ekonomi rakyat. Namun perkembangan kerawang sebagai usaha kerajinan banyak mengalami kendala dari dalam dan dari luar. Untuk membangkitkan potensi ekonomi berbasiskan budaya sangat diperlukan pengkajian yang lebih mendalam salah satunya adalah menciptakan alternatif-alternatif dengan pendekatan teknologi agar kerawang sesuai dengan kehendak pasar dan kebutuhan masyarakat Gayo sendiri. Serta sangat diperlukan perhatian pemerintah dengan komitmen yang terarah dan terprogram dalam membina kerajinan kerawang sebagai potensi daerah.[7]

Motif Kerawang Gayo[sunting | sunting sumber]

Salah Satu Contoh Kerajinan Tangan Kerawang Gayo
Kerawang Gayo

Seiring Perkembangan Kehidupan Budaya yang turun-temurun dalam hal melestarikan budaya kini Kerawang Gayo Telah Menjadi Salah satu Seni Ukir bagi kalangan orang Gayo itu sendiri. Ukiran Kerawang saat ini menjadi salah satu ukiran yang paling diminati oleh masyarakat lokal bahkan luar daerah Gayo. Ukiran yang terdapat di kerawang Gayo kerap di desain menjadi pakaian yang sedang ngetren saat ini, khususnya pakaian wanita baik anak-anak, remaja dan dewasa.

Motif Kerawang Gayo yang khas setiap warna dan ukiran memiliki makna dan arti tersendiri, juga yang membedakan baju adat satu daerah dengan daerah lain adalah warna dan motif yang terdapat pada baju adat.[8]

Berikut beberapa keterangan tentang motif pakaian kebanggaan masyarakat Negeri Diatas Awan tersebut yang ditulis oleh DRS. Isma Tantawi, M.A dan DRS. Buniyamin S dalam bukunya berjudul Pilar-Pilar Kebudayaan Gayo. Motif-motif yg terdapat pada adat Gayo adalah: mata itik, pucuk rebung, sesirung, leladu, mun berangkat, tulen iken, puter tali, bunge kipes, gegaping, panah dan motif selalu. Untuk warna dasar kerawang Gayo memakai kain warna item (hitam, Gayo: Red) sedangkan untuk motifnya menggunakan campuran warna ilang (merah), putih (putih), ijo (hijau) dan using (kuning).[9]

Berikut keterangan atau makna dari warna-warna yang digunakan dalam motif Kerawang Gayo:

  1. Hitam: merupakan hasil keputusan adat,
  2. Merah: sebagai tanda berani (mersik) bertindak dalam kebenaran,
  3. Putih: sebagai tanda suci dalam tindakan lahir dan batin,
  4. Hijau: sebagai tanda kejayaan dan kerajinan (lisik) di dalam kehidupan sehari-hari,
  5. Kuning: sebagai tanda hati-hati (urik) dalam bertindak.[10]

Jadi, berdasarkan keterangan dari warna-warna kerawang, Masyarakat Gayo dilambangkan sebagai masyarakat yang Mersik (berani), Lisik (rajin) dan Urik (teliti). Makna Motif yang terdapat pada pakaian adat Gayo sendiri adalah sebagai berikut:[11]

  • Mata Itik, mempunyai makna bahwa yg ikut menentukan dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues, adalah penghulu, ulama dan golongan cerdik pandai.
  • Pucuk Rebung, mempunyai makna masyarakat Gayo Lues mencintai keadilan dan kedamaian.
  • Sesirung, mempunyai makna bahwa dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues selalu salaing membantu.
  • Leladu, bermakna bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki harkat dan martabat dan berwibawa.
  • Mun Berangkat, bermakna bahwa masyarakata Gayo Lues mempunyai cita-cita dan tata cara dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Tulenni Iken, bermakna masyarakat Gayo Lues memiliki sifat untuk membela diri dalam kebenaran. Takut karena salah dan berani karena benar.
  • Puter tali, bermakna dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues terdapat kesatuan dan persatuan.[12]
  • Bunge kipes, mempunyai makna bahwa Masyarakat Gayo Lues mempunyai harmonis antara manusia dengan Tuhan ( Hablumminallah), manusia dengan manusia ( Hablumminannas) dan manusia dengan lingkungannya.
  • Gegaping, mempunyai makan bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki ketaatan terhadap pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Murip Ikanung edet mate ikanung ukum (agama).
  • Bunge panah, memilki makna bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki sifat keterbukaan dalam menerima dan menjalankan ketentuan tang tidka bertentanagan dengan agama dan adat.
  • Motif selalu, bermakna bahwa masyarakat Gayo memiliki sifat kejujuran dan ketulusan hati dalam menjalani kehidupan sehari-hari.[13]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kompasiana.com. "Pesona Kain Kerawang Gayo". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  2. ^ Motif Kerawang Gayo Pada Busana Adat Pengantin Di Aceh Tengah
  3. ^ mohammadwildan (2016-10-06). "Nurlaila, Maestro Seni Sulam Kain Kerawang Gayo". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  4. ^ Winsyah (2019-04-10). "Pakaian Adat Kerawang Gayo Rambah Pasar Internasional". Digtara. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  5. ^ Fadhilah (2018-09-02). Bordiran Kerawang Gayo Edisi Revisi. Syiah Kuala University Press. ISBN 978-602-5679-49-0. 
  6. ^ traveladmin (2018-09-27). "Budaya Kerawang Gayo". Travelink Magazine. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  7. ^ "Fitinline.com: Keistimewaan Kain Kerawang Gayo Khas Aceh Tengah dan Filosofi Yang Tersimpan di Dalamnya". fitinline.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  8. ^ "Kerawang Gayo / Dr. Joni MN, M.Pd.B.I. | OPAC Perpustakaan Nasional RI." opac.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  9. ^ "Pemerintah Aceh | Kerawang Gayo Curi Perhatian Pengunjung Vietnam Cafe Show". acehprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  10. ^ Ningsih, Juliawati; Selian, Rida Safuan; Palawi, Ari (2018). "PERBEDAAN MOTIF KERAWANG GAYO LUES DAN ACEH TENGAH". Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Seni, Drama, Tari & Musik. 3 (4). 
  11. ^ "Pemkab Gayo Lues akan Patenkan Kerawang Gayo". Suara.com. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  12. ^ RRI 2020, LPP. "MAG Aceh Tengah Ajak Publik Gemar Pakai Kerawang". rri.co.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-17. Diakses tanggal 2020-06-17. 
  13. ^ Motif Ukiran Kerawang Gayo Pada Rumah Adat Gayo Di Kabupaten Aceh Tengah Provinsi Aceh