Tsa'labah bin Hatib

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Nama lengkapnya adalah Tsa'labah bin Hatib bin Amr al-Ausiy (Arab: ثعلبة بن حاطب بن عمرو الأوسي), sayang tidak ditemukan nasab lengkap dalam berbagai buku dan kitab sejarah Islam. Dia adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Bani Umayyah bin Zaid, salah satu cabang suku Aus yang mendiami Madinah. Tsa'labah merupakan sosok sahabat Nabi yang menjadi bahan perdebatan dan perbincangan di kalangan ahli sejarah Islam.[1]

Kehidupan dan Kisah Keislaman[sunting | sunting sumber]

Ibnu Ishaq dan Ibnu al-Kalbi menyatakan bahwa Tsa'labah bin Hatib ini merupakan sahabat yang ikut serta dalam pertempuran Badar (ahlu badr) sehingga derajat keimanannya tidak perlu diragukan. Ibnu al-Kalbi juga menambahkan bahwa Tsa'labah meningga sebagai martir (syahid) dalam peristiwa perang Uhud pada tahun 3 Hijriyah. Pernyataan ini sekaligus membantah pendapat dan kisah yang mengatakan bahwa Tsa'labah meninggal pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.[2]

Tuduhan sebagai Pembangkang Zakat[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab tafsir karangan Ibnu Katsir disebutkan dalam pembahasan tafsir surat at-Taubah ayat 75-78 sebuah riwayat dari sahabat Abu Umamah al-Bahili bahwa ia mendengar Tsa'labah bin Hatib meminta Nabi supaya mendoakan dirinya diberikan harta yang banyak, Nabi bersabda "Harta sedikit yang kau syukuri itu lebih baik daripada banyak yang tak mampu kau tanggung (kewajiban atas) nya". Ketika Tsa'labah berjanji bahwa ia akan menginfakkan hartanya sesuai dengan kewajiban Nabipun mendoakan Tsa'labah sesuai dengan permintaannya. Singkat cerita dikatakan bahwa Tsa'labah kemudian dianugrahi harta berupa hewan ternak yang sangat banyak bagai jumlah rayap yang tinggal di sarangnya. Karena banyaknya hewan ternak yang ia miliki, ia kemudian membawa ternak tersebut ke lembah di luar Madinah, sehingga ia banyak tertinggal shalat fardu berjamaah kecuali Shalat Dhuhur dan Ashar. Selang beberapa waktu jumlah ternaknya semakin bertambah tidak terkendali sampai ia meninggalkan semua shalat fardhu secara berjamaaj kecuali shalat Jum'at. Semakin lama, ternaknya kembali bertambah yang membuatnya bahkan meninggalkan shalat Jum'at.[3]

Kabar tentang Tsa'labah yang menjadi seperti ini sampai kepada Nabi Muhammad, Nabi hanya berkata "celakalah wahai Tsa'labah" tiga kali. Setelah itu turun ayat yang memerintahkan pengambilan zakat yang menunjukkan kewajiban mutlak bagi semua muslim untuk membayarkan zakat harta mereka, Tsa'labah justru menganggap bahwa zakat itu serupa dengan jizyah (pajak yang berlaku kepada musuh). Tidak lama setelah kejadian itu turunlah surat at-Taubah ayat 75-78:

"Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib." (Q.S. At-Taubah 75-78).

Setelah turunnya ayat di atas, Tsa'labah sadar akan kesalahannya dan segera pergi menemui Nabi Muhammad dan meminta beliau untuk sedia menerima shadaqah/zakat hartanya, tetapi Nabi menolak untuk menerimanya. Hal ini terus berlaku hingga wafatnya Nabi pada tahun 11 Hijriyah. Sepeninggal Nabi, Tsa'labah kemudian menemui Abu Bakar yang merupakan khalifah pertama pengganti Nabi, tetapi Abu Bakar juga menolak karena beralasan Ia tidak dapat menerima zakat orang yang sudah ditolak oleh Nabi. Hal ini terjadi lagi pada masa pemerintahan Umar dan Utsman setelahnya. Mereka semua menolak harta sedekah dan zakat yang ingin diserahkan Tsa'labah. Hingga akhirnya Tsa'labah diceritakan meninggal pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.[3]

Pendapat Para Ulama[sunting | sunting sumber]

Banyak sekali para ulama yang mengingkari hadits panjang di atas yang menyatakan bahwa sahabat Tsa'labah meninggal dalam keadaan tidak menunaikan kewajiban atas hartanya. Diantara para ulama yang membantah pembangkangan Tsa'labah adalah Imam ad-Dzahabiy, Al-Qurthubi, al-Baihaqi, Al-Haitsami, al-'Iraqi, dan Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu hajar menjelaskan bahwa kisah di atas kemungkinan besar merupakan cerita yang salah karena sahabat Tsa'labah bin Hatib merupakan ahlu badar dan meninggal pada perang Uhud. Ibnu Hajar menambahkan bahwa Tsa'labah yang dimaksud dalam kisah di atas adalah Tsa'labah bin Abi Hatib dan bukan Tsa'labah bin Hatib yang disepakati para ulama sebagai salah satu Ahlu Badr yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad secara langsung.[4]

  1. ^ Al-Baghdadi, Ibnu Qani' (2004). Mu'jam As-Shahabah jilid III. Beirut: Dar el-Fikr. hlm. 929–930. 
  2. ^ Ibnu Sa'ad. Thabaqat Ibnu Sa'ad jilid III. hlm. 460. 
  3. ^ a b Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. Tafsir al-Qur`an al-'Azhim jilid II. hlm. 389. 
  4. ^ Al-'Asqalani, Ibnu Hajar. Al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah jilid I. hlm. 206.