Lompat ke isi

Surat perintah penghentian penyidikan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Surat Perintah Penghentian Penyidikan, atau SP3, adalah surat pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap seseorang telah dihentikan. Terbitnya SP3 diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yang menyatakan bahwa penyidik dapat menghentikan penyidikan jika tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum.[1][2][3]

Alasan Terbitnya SP3

[sunting | sunting sumber]
  1. Tidak Cukup Bukti. Penyidik dapat menghentikan penyidikan jika tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. Untuk dapat memproses kasus pidana, penyidik harus memiliki minimal dua alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan ahli. Jika hasil pemeriksaan tidak menemukan minimal dua alat bukti, maka kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.[1][3][4]
  2. Peristiwa Tidak Merupakan Tindak Pidana. Penyidikan dapat dihentikan jika penyidik menyimpulkan bahwa kasus yang diproses ternyata bukan tindak pidana melainkan masalah perdata atau administrasi. Hal ini didasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan, serta gelar perkara yang dilakukan penyidik, yang termasuk meminta klarifikasi dari pelapor dan terlapor.[1][3][4]
  3. Demi Hukum. SP3 juga dapat diterbitkan karena alasan demi hukum, yang meliputi:
    • Ne Bis In Idem: Orang tidak boleh ditutup dua kali atas perkara yang sama.
    • Tersangka Meninggal Dunia: Jika tersangka meninggal dunia, maka penyidikan dihentikan sesuai dengan Pasal 77 KUHP.
    • Kedaluwarsa: Jika perkara telah kedaluwarsa, maka penyidikan dihentikan sesuai dengan Pasal 70 KUHP.[1][3][4]

Prosedur Pelaksanaan SP3

[sunting | sunting sumber]

Prosedur pelaksanaan SP3 diatur dalam Keputusan Jaksa Agung No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Jika penyidik Polri yang menghentikan penyidikan, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan tersangka/keluarganya. Untuk penyidik PNS, pemberitahuan disampaikan pada penuntut umum dan pihak lain yang berhak mengetahui.[2][3]

Contoh Kasus

[sunting | sunting sumber]

Dalam banyak kasus yang diamati, terbitnya SP3 juga disebabkan oleh petunjuk dari Jaksa Peneliti yang ditunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri untuk proses pra penuntutan yang tidak bisa dipenuhi oleh penyidik. Hal ini perlu dipertanyakan tentang proses penyelidikan dan penyidikan, serta gelar perkara yang dilakukan penyidik.[1]

Kesimpulan

[sunting | sunting sumber]

SP3 adalah surat pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum bahwa penyidikan telah dihentikan. Terbitnya SP3 diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung. Alasan terbitnya SP3 adalah tidak cukup bukti, peristiwa tidak merupakan tindak pidana, atau demi hukum. Proses pelaksanaan SP3 harus dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas alat bukti, serta memastikan bahwa terbitnya SP3 tidak dilandasi oleh alasan subjektif penyidik semata.[1][2][3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f "TERBITNYA SP3 (SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN) DAN PRAPERADILAN". Business Law. 2021-06-21. Diakses tanggal 2024-07-22. 
  2. ^ a b c S.H, Shanti Rachmadsyah (2010). "SP3". www.hukumonline.com. Diakses tanggal 2024-07-22. 
  3. ^ a b c d e f Wahyuni, Willa. "Terbitnya Surat Penghentian Penyidikan di Kepolisian". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2024-07-22. 
  4. ^ a b c "Apa itu SP3? Simak penjelasannya Berikut ini". Polda Metro Jaya. 2022-11-03. Diakses tanggal 2024-07-22.