Skema Gross Split

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Skema Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) antara Pemerintah dan Kontraktor Migas yang di perhitungkan di muka. Melalui skema gross split, Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara menjadi lebih pasti. Negara pun tidak akan kehilangan kendali, karena penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil masih ditangan Negara. Oleh karenanya, penerapan skema ini diyakini akan lebih baik dari skema bagi hasil sebelumnya yaitu Kontrak Bagi Hasil (skema cost recovery).

Dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab Kontraktor. Semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya semakin baik.

Model gross split ini mirip dengan model royalti, namun eksekusi program dan pelaksanaannya mengikuti kontrak bagi hasil. Dengan tetap mempertahankan model kontrak bagi hasil, maka pemerintah memiliki akses relatif leluasa untuk mengatur. Termasuk di antaranya mempertahankan prinsip dasar kontrak kerjasama, yaitu: kepemilikan sumber daya alam dan aset ada pada pemerintah, pengalihan risiko kepada investor dan mewajibkan investor untuk menyediakan dana.[1]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Kehadiran Skema Gross Split salah satu tujuannya untuk menghilangkan perdebatan terkait cost recovery. Cara yang digunakan adalah dengan menghilangkan unsur cost recovery dalam pola pembagian hasil migas. Sebab cost recovery sering dicurigai sebagai pangkal persoalan, bahkan dituduh menjadi sarana untuk menyalahgunakan dana operasi migas. Sebagian lain memandang cost recovery seperti ‘dosa’. Konsep Gross Split yang menghapus cost recovery berarti menghilangkan tanggung jawab pemerintah dan SKK Migas untuk mengganti sebagian biaya operasi perminyakan yang biasanya ditanggung secara proporsional sesuai skema cost recovery. Dengan hilangnya cost recovery maka terhapus kewajiban SKK Migas untuk melakukan pengendalian dan pengawasan cost recovery.[1]

Sesuai dengan tujuan, pelaksanaan Skema Gross Split mampu menghilangkan dispute cost recovery yang sering muncul antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) termasuk dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor pemerintah. Pemberlakuan Skema Gross Split juga memberikan keuntungan untuk menepis penilaian publik terhadap cost recovery yang sering kali ‘miring’. Dengan memberlakukan PSC Gross Split, pemerintah dan Kontraktor KKS tidak perlu lagi disibukkan untuk memberikan penjelasan tentang kenaikan cost recovery atau kemungkinan terjadinya penyimpangan.[1]

Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, sebenarnya tidak ada masalah antara skema cost recovery dan skema gross split. Skema cost recovery identik dengan adanya jaminan kepastian dari pemerintah kepada investor atas penggantian biaya operasi. Skema kontrak ini lebih cocok untuk negara dengan ketidakpastian yang tinggi serta iklim investasi yang belum kondusif. Sedangkan skema gross split lebih cocok untuk negara dengan kepastian yang tinggi serta atmosfer investasi yang baik. Dengan penghitungan split di depan, investor tidak akan tertarik apabila pemerintah mengambil bagian terlalu besar.[2]

Perhitungan Skema Gross Split[sunting | sunting sumber]

Perhitungan gross split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada presentase base split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor. Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping presentase base split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya. Hal ini membuat skema Gross Split menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan lebih besar.[3]

Peraturan Pemerintah[sunting | sunting sumber]

Untuk mendukung penerapan skema gross split ini, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil Gross Split. Permen ini menetapkan bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Bagi Hasil yang memuat persyaratan antara lain: kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; modal dan risiko seluruhnya ditanggung Kontraktor; serta pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas. Ini sekaligus menghilangkan kekhawatiran hilangnya peran SKK Migas setelah diterapkannya Kontrak Bagi Hasil Gross Split. SKK Migas masih akan mengawasi pengajuan Plan of Development (POD), peningkatan lifting migas, keselamatan kerja migas, termasuk tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) serta pengawasan terhadap tenaga kerja dan asset-aset. Dengan semakin fokusnya tugas dan fungsi SKK migas, maka business process bagi para kontraktor (KKKS) pun akan lebih cepat. Disamping itu, Permen tentang Gross Split tersebut juga sudah mengantisipasi rendahnya harga minyak, sehingga rendahnya harga minyak bukan menjadi kendala untuk bereksplorasi.[3]

Penerapan Skema Gross Split[sunting | sunting sumber]

Kontrak wilayah kerja yang pertama kali menerapkan Skema Gross Split adalah Kontrak Wilayah Kerja (WK) Offhore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh Pertamina Hulu Energi (PHE). Penerapan Skema Gross Split akan difokuskan kepada Kontrak WK perpanjangan dan Kontrak WK baru, sehingga kontrak WK yang masih berjalan tetap dihormati hingga waktu kontrak berakhir.

Hingga Juni 2019, sebanyak 42 kontrak kerja sama migas telah menggunakan skema gross split. Lima di antara kontrak tersebut merupakan amandemen dari cost recovery menjadi gross split.[2]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Pudyantoro, A. Rinto (21 April 2019). "Meneropong Akar Masalah PSC Gross Split". katadata.co.id. 
  2. ^ a b Leonard, Lucky (15 Juli 2019). Issetiabudi, David Eka, ed. "JOKOWINOMICS DI SEKTOR MIGAS : Saat Gross Split Menantang Cost Recovery". Bisnis.com. 
  3. ^ a b "Gross Split Lebih Baik untuk Mewujudkan Energi Berkeadilan di Indonesia". kominfo.go.id.