Simpingan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Simpingan dalam wayang kulit berarti boneka wayang yang diatur berjajar pada kelir di sisi kanan -kiri dalang yang ditata sedemikian rupa. Simpingan merupakan salah satu unsur pergelaran wayang kulit.

Keberadaan simpingan dalam wayang mempunyai beberapa fungsi antara lain; sebagai hiasan (pajangan) agar bisa dinikmati oleh penonton, untuk mempermudah dalang dalam mencari dan mengambil wayang, sebagai tanda akan adanya pergelaran wayang kulit,untuk menunjukan kualitas dan kuantitas wayang. Disamping itu simpingan mempunyai makna simbolik bagi masyarakat pendukungnya.

Pada zaman dulu simpingan hanya terdiri dari puluhan wayang. Karena memang jumlah wayang satu kotak berkisar antara 180-250 wayang, tetapi sekarang terutama di kota-kota besar, jumlah simpingan sangat banyak antara 250 - 500 wayang. Hal ini karena tuntutan pasar dan biasanya pergelaran di kota besar ditempatkan pada lapangan terbuka. Sehingga diperlukan penataan simpingan yang panjang.

Simpingan wayang ditata sedemikian rupa berdasarkan golongan, warna muka, bentuk muka,arah pandangan muka, bentuk bibir, bentuk mata, warna badan, jenis pakaian, jenis jangkahan dan sebagainya. Simpingan wayang dikatakan bagus jika enak dipandang, seimbang dan "ribig" artinya antara bahu dan palemahan wayang dari yang paling tinggi hingga yang terpendek sejajar bila ditarik garis lurus. Penataan simpingan wayang yang baik dapat dijumpai pada pergelaran wayang di Jakarta.

Berita mulai adanya simpingan baru ada pada abad ke XII seperti yang tercantum pada Serat Wrettasancaya bahwa pertunjukan wayang kulit saat itu sudah menggunakan simpingan. Adapun teks yang melukiskan adanya simpingan ditulis oleh Empu Tan Akung dengan bahasa jawa kuno pada bait 93 pada Sekar Ageng Madraka ditulis;

" Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis/ bung-bung ingkang petung kapawanan/ ya teka tudungnya munya hangrangin/ peksi ketur salundingan ika kinangyani pamangsul ing kidang alon/ madraka sabdaning mrak alango / pangidungnya mangrasi ati". (Hazeu 1978:42)

Kern menterjemahkan ke dalam bahasa jawa sebagai berikut"

"Nalika semanten katingal sakalangkung asri raras, Redi-redi pating regemeng, sakathahing wit-witan kados ringgit, tumawenging mega tipis lamat-lamat kados rupining kelir, deling ingkang growong kados ungeling tudungan,mungel angrangin anganyut manah, pamelunging peksi ketur (manuk gemak) kados ungeling kempul lan gongipun. Cumengering kidang lamat-lamat kados swantening saron ngelik kaimbalaken, dene ungeling merak ngigel lelaken kados kekidungan sekar madraka angrerujit manah".

Terjemahan bahasa Indonesia:

"Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung-gunung bertanaman penuh, Pohon-pohonya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu petung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana tudungan (suling) yang seakan -akan datangnya dari jauh, sangat menarik hati. Suara gemak terdengar laksana suara kempul gong. Di antara kesemuannya itu suara teriakan Kijang dari jauh terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang dipukul imbal (bergantian). Suara burung merak yang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati.(Seno Sastroamijoyo 1964: 19)

Bukti lain bahwa pertunjukan wayang pada abad XII menggunakan kelir juga terdapat dalam Serat Bomakawya pada diskripsi Raden Samba ketika melintasi daerah pegunungan yang dilukiskan sebagai berikut;

"'Lumaku tikang ratha gelis, palapat hanar kajawahan hawan ira sumare saking geger,papagan katon kakeliran limut awayang,ulah nikang pisang'" (Bomakawya VI: 3).

Terjemahan bahasa Indonesia

"Kereta membawa dengan cepat lewat jalan punggung gunung menuju satu tempat yang datar dan baru saja dibasahi oleh turunnya hujan. Sawah-sawah terselubung kabut seolah-olah tersembunyoi di belakang kelir. Pohon pisang yang bergoyang-goyang lembut bagaikan boneka wayang". (Zoetmulder 1985: 266).

Selanjutnya timbulnya simpingan dapat diketahui pada zaman Demak ketika Raden Patah menjabat sebagai raja. Boneka wayang kulit sudah mengalami perunahan bentuk dan penambahan wayang baru oleh para Wali, hal ini dikemukakan Hazeu sebagai berikut;

"Sunan Giri menambah wayang berujud kera dengan dua mata seperti raksasa. Sunan Bonang menambah wayang berupa Gajah,Kuda dan Rampogan. Sedangkan Suna Kalijaga menambah peralatan wayang kulit berupa layar, batang pisang,untuk menancabkan wayang serta Blencong (lampu) untuk penerangan. Sultan Demak menambah wayang Gunungan yang ditancapkan di tengah kelir serta cara-cara menyumping (mengatur wayang di layar) yakni dengan cara di tancapkan berjajar pada sebelah kanan kiri Dalang agar cukup untuk mendalang satu malam.