Saönigeho

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Saönigeho

Saönigeho lahir di desa Orahili, Nias Selatan, Sumatera Utara. Ia salah seorang tokoh pejuang yang melawan penjajah Belanda.

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Saönigeho menyaksikan penderitaan rakyat di bawah penjajahan Belanda, sejak tahun 1840 hingga 1863. Maka ia menyimpan dendam yang mendalam terhadap Belanda yang sewenang-wenang memperlakukan rakyat. Pada tahun 1916, Saönigeho menjadi Raja Bawömataluo. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk menggalang kekuatan, untuk menyerang Belanda, yang saat itu sedang mengadakan sensus di Desa Hiligeho.[1]

Perjuangan[sunting | sunting sumber]

Saönigeho melakukan pengintaian untuk mengetahui dimana Belanda mengumpulkan sejanta. Akhirnya ia mengetahui bahwa senjata Belanda dikumpulkan di sebuah rumah, di desa Hiligeho. Maka dilaksakan pertemuan di antara pejuang-pejuang di Bawömataluo. Banyak perwakilan menghadiri pertemuan itu, misalnya dari Balöhalu, dari Nias Tengah, Solagö Tanö, dari Hilisimaetanö. Tetapi hanya Sönigeho yang berani melakukan tindakan penyerangan terhadap Belanda.

Sönigeho membawa sejumlah pasukan menuju desa Hiligeho. Penyerangan tersebut diketahui oleh salah seorang tentara Belanda yang hendak pergi mandi. Tentara itu berlari menuju desa Hiligeho untuk memberitahukan kepada rekan-rekannya. Alhasil pasukan Saönigeho dipukul mundur oleh tentara Belanda.

Beberapa hari kemudian, Belanda berniat melakukan konsolidasi kepada penduduk di Desa Bawömataluo. Namun, mereka mempunyai maksud lain untuk memaksa Saönigeho tunduk. Mereka muncul dari tiga penjuru desa, dengan sejumlah besar pasukan. Salah seorang Tentara Belanda naik ke Omo Nifolasara untuk berunding dengan Raja Saönigeho.

Sebelumnya, pemimpin tentara Belanda telah berunding dengan rekan-rekannya untuk mengbumihanguskan desa Bawömataluo bila raja tidak tunduk. Apabila ada suara letusan, maka itu pertanda raja tidak tunduk dan Desa tersebut harus dibumihanguskan.

Berkorban Demi Rakyat[sunting | sunting sumber]

Demi keselamatan rakyat, maka raja menyerah kepada Belanda dengan beberapa perjanjian yang harus dipatuhi oleh Belanda, yakni menghapus perbudakan, menghapus cara memelihara babi di kolong rumah, dan menghapus cara penguburan yang disanggah di atas tanah.

Akhirnya, Raja Saönigeho ditangkap dan dibawa ke Gunungsitoli. Kemudian Tentara Belanda memberikan syarat kepada warga Desa Bawömataluo; jika ingin Raja Saönigeho bebas, maka warga harus menyelesaikan pembangunan jalan dari Löhö sampai Lagundri. Syarat yang diberikan oleh Belanda memacu warga Desa Bawömataluo untuk segera membangun jalan tersebut. Pembangunan jalan dari Löhö ke Lagundri dipimpin oleh Faciako (Solagö Maenamölö), menantu dari Fakhoi, saudara Raja Saönigeho. Setelah syarat itu terpenuhi, maka Saönigeho dibebaskan.

Sekitar tahun 1980, Saönigeho pernah masuk nominasi sebagai pahlawan Nasional. Bahkan pernah ada buku yang memuat kisah peperangan di Orahili dan Hiligeho, lengkap dengan peran orang-orang yang terlibat. Namun hingga saat ini, catatan-catatan tersebut hilang, sehingga tidak dimuat dibuku-buku pelajaran. Menurut Waspada Wau, Saönigeho pantas diberi gelar Pahlawan Nasional, mengingat Saönigeho ikut berjuang melawan penjajah Belanda.

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Demi mengenang jasa-jasanya, nama Saönigeho diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Teluk Dalam, Nias Selatan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Saönigeho, Simbol Perlawanan Masyarakat Nias". Nias Satu (dalam bahasa Inggris). 2019-09-13. Diakses tanggal 2021-11-17.