Lompat ke isi

Sakawuni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
No Tahun Nama Judul Pemeran
1 1992 Murti Sari Dewi Tutur Tinular III: Pendekar Syair Berdarah Sakawuni
2 1992 Murti Sari Dewi Tutur Tinular IV: Mendung Bergulung di Atas Majapahit Sakawuni

Sakawuni adalah nama tokoh utama wanita dalam cerita sandiwara radio legendaris Tutur Tinular, sandiwara radio fenomenal yang berlatar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit, karya S. Tidjab.

Dalam beberapa naskah ataupun tayangan film dan sinetron, nama Sakawuni sering ditulis sebagai Sakawuni. Nama ini sering digunakan dalam berbagai adaptasi, menggambarkan karakter yang kuat dan berkesan dibenak penonton.

Dalam cerita sandiwara tersebut, Sakawuni digambarkan sebagai sosok pendekar wanita yang memiliki paras cantik dan berbudi luhur, serta wanita yang sangat tabah meskipun nasib selalu menghempaskannya ke dalam penderitaan cinta yang berkepanjangan dan kepahitan dalam mengarungi kehidupan.

Sementara itu, dalam versi sinetron Tutur Tinular produksi tahun 1997, disebutkan bahwa Sakawuni adalah wanita dari Nusantara yang memiliki kekuatan dan ketabahan luar biasa dalam menghadapi tantangan hidup dan cinta di masa pergolakan kerajaan-kerajaan besar di Jawa.

  • Nama: Sakawuni
  • Suam: Arya Kamandanu (suami kedua)
  • Anak: Jambu Nada
  • Anggota Keluarga Lain: Banyak Kapuk (ayah), Ayu Pupu alias Dewi Tunjung Biru (ibu), Ki Sugata Brahma (kakek)
  • Julukan: Pendekar lengan seribu

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Sakawuni adalah putri dari seorang perwira Singhasari bernama Banyak Kapuk dan Ayu Pupu, yang juga dikenal sebagai Dewi Tunjung Biru. Sejak kecil, Sakawuni menunjukkan bakat luar biasa dalam ilmu bela diri, yang kemudian membuatnya terkenal dengan julukan "Pendekar Lengan Seribu.

Perjalanan Hidup

[sunting | sunting sumber]

Sakawuni memiliki perjalanan hidup yang penuh dengan petualangan dan tantangan. Sebelum menikah, dia dikenal sebagai gadis yang sangat tomboy. Untuk melampiaskan dendamnya pada orang-orang Singasari, Sakawuni bergabung dengan Kebo Mundurang dari Kediri. Saat menjadi pengikut Kebo Mundurang, dia menunjukkan sisi lain dari keberanian dan loyalitasnya dalam menghadapi tantangan sulit. Sakawuni secara rahasia membantu Mei Xin, Lo Shi San, dan Arya Kamandanu dari gangguan prajurit Kediri. Dalam sebuah pertarungan, Arya Kamandanu terluka parah, dan Sakawuni menyelamatkannya, membawanya ke rumah kakeknya, Ki Sugata Brahma. Kakeknya memberi tahu bahwa luka Arya Kamandanu bisa sembuh dengan Bunga Tunjung Biru. Dengan bantuan Kaki Tamparoang, Sakawuni pergi ke Bukit Panampihan untuk mendapatkan bunga tersebut dari Dewi Tunjung Biru, yang ternyata adalah ibu kandung Sakawuni yang telah lama menghilang. Pertemuan ini sangat menggembirakan Sakawuni dan memungkinkan penyembuhan luka Arya Kamandanu.

Sakawuni kemudian pergi ke Majapahit untuk membunuh Banyak Kapuk, perwira Singasari yang meninggalkan ibunya. Namun, setelah hampir membunuhnya, Sakawuni memutuskan untuk memaafkan ayahnya dan akhirnya bersedia mengabdi kepada Majapahit. Bersama Arya Kamandanu, Sakawuni menjalankan tugas sebagai prajurit Majapahit, termasuk menumpas gerombolan perampok yang dipimpin Empu Bajil.

Dalam kisah cinta mereka, Sakawuni bertemu dengan Arya Kamandanu saat mencari Mei Xin. Keduanya menjadi pengikut Raden Wijaya dan menjalani berbagai petualangan bersama. Arya Kamandanu, yang sebelumnya telah hidup bahagia dengan Mei Xin, akhirnya memilih untuk menikahi Sakawuni setelah Mei Xin tidak mengakui jati dirinya. Sukawuni menjadi istri kedua Arya Kamandanu yang tidak disukai oleh Dwipangga, kakak Kamandanu. Meskipun demikian, Sukawuni selalu mendampingi Kamandanu dalam berbagai penjuangan dan konflik.

Akhir Hidup

[sunting | sunting sumber]

Dalam cerita sandiwara radio legendaris Tutur Tinular, kematian Sakawuni diceritakan saat melahirkan anaknya Jambu Nada. Sakawuni mengalami pendarahan saat melahirkan anaknya. Proses persalinannya dibantu oleh Mei Xin alias Nyai Paricara, yang memainkan peran penting dalam momen-momen terakhir kehidupannya. Meskipun hidupnya dipenuhi dengan penderitaan dan pengorbanan, Sakawuni dikenang sebagai sosok wanita yang kuat, berani, dan berjiwa pendekar.

Referensi

[sunting | sunting sumber]

[1]

Pranala Luar

[sunting | sunting sumber]