Rakai Watuhumalang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rakai Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
(menurut Prasasti Mantyasih)
Rake Wunkalhumalang Dyah Jbang
(menurut Prasasti Wanua Tengah III)
Raja Medang ke-12
Berkuasa( 21 November 894 - 10 Mei 898 M )
PendahuluRakai Gurunwangi
PenerusDyah Balitung
Informasi pribadi
WangsaSanjaya
AnakMpu Daksa
AgamaHindu

Dyah Jbang adalah Raja Medang yang memerintah sekitar tahun 894-898.[1][2]

Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 21 November 894 s.d. 10 Mei 898 M.[3][4]

Namanya dikenal dalam Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III.[5]

Identifikasi Isi Prasasti Panunggalan[sunting | sunting sumber]

Dalam Prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).

Sementara dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), menyebutkan Rake Wunkalhumalang Dyah Jbang.

Kemudian dalam Prasasti Mantyasih (907), menyebutkan Sri Maharaja Rakai Watuhumalang.

Dari perpaduan ketiga prasasti tersebut, maka dapat diperkirakan klo tokoh Mpu Teguh berbeda dengan Dyah Jbang.

Hasil Identifikasi Kemungkinan Mpu Teguh menjabat sebagai kepala daerah Watuhumalang untuk menggantikan posisi Dyah Jbang, karena Dyah Jbang memerintah di Pusat sebagai Maharaja Medang.

Hubungan dengan Rakai Kayuwangi[sunting | sunting sumber]

Menurut analisis para sejarawan, misalnya Poerbatjaraka dan Boechari, tokoh bernama Dyah Balitung naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung adalah menantu Rakai Watuhumalang.

Hubungan antara Rakai Watuhumalang dengan raja sebelumnya, yaitu Rakai Kayuwangi juga belum jelas. Nama putra mahkota zaman Rakai Kayuwangi adalah Mahamantri Hino Mpu Aku, yang kemungkinan besar berbeda dengan Rakai Watuhumalang.

Ditemukan pula prasasti atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi (prasasti Munggu Antan, 887) dan atas nama Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra (Prasasti Poh Dulur, 890). Padahal keduanya tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Mungkin, pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan di lingkungan Kerajaan Medang.

Sementara itu, menurut prasasti Telahap, permaisuri Dyah Balitung merupakan cucu dari Rakai Watan Mpu Tamer, yaitu istri raja yang dimakamkan di Pastika. Menurut analisis Pusponegoro dan Notosutanto, raja yang dimakamkan di Pastika adalah Rakai Pikatan, ayah dari Rakai Kayuwangi.

Apabila Dyah Balitung benar-benar menantu Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra (atau mungkin menantu) Rakai Pikatan yang lahir dari selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Sedangkan Rakai Kayuwangi lahir dari permaisuri bernama Pramodawardhani. Dengan kata lain, Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri (atau mungkin ipar) Rakai Kayuwangi, raja sebelumnya.

Kutipan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Dwiyanto, Djoko. 1986. Pengamatan terhadap Data Kesejarahan dari Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Dalam PIA IV (IIa). Jakarta: Pulit Arkenas, h. 92-110.
  2. ^ Boechari (2013-07-08). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-91-0520-2. 
  3. ^ Kebudayaan, Indonesia Departemen Pendidikan dan (1989). Pemugaran Candi Brahma, Prambanan, Candi Sambisari, Taman Narmada. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  4. ^ Arif, H. A. Kholiq (2010-01-01). MATA AIR PERADABAN ; Dua Milenium Wonosobo. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 978-979-25-5331-4. 
  5. ^ Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. 

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Teguh Asmar & Nuriah. 1985. PRASASTI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL JILID I. Jakarta: Museum Nasional
Didahului oleh:
Rakai Gurunwangi
Raja Medang
Menurut Wanua Tengah III
(Wangsa Syailendra)
21 November 894 - 10 Mei 898 M
Diteruskan oleh:
Dyah Balitung