Putusnya pernikahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Putusnya pernikahan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan "perceraian" atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki degan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah. Penggunaan istilah ''putusnya perkawinan" ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan kata "ba-in", yaitu satu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Ba-in itu merupakan satu bagian atau bentuk dari perceraian, sebagai lawan pengertian dari perceraian dalam bentuk raf'iy, yaitu bercerainya suami dengan istrinya namun belum dalam bentuknya yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada mantan istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih berada dalam iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu itu ternyata dia tidak kembali kepada mantan istrinya, baru perkawinannya dikatakan putus dalam arti sebenamya, atau yang disebut ba-in.[1]

Istilah yang paling netral memang adalah "perceraian", namun sulit pula digunakan istilah tersebut sebagai pengganti "Putusnya Perkawinan", karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari Putusnya perkawinan. Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat Saja menggunakan "putusnya perkawinan", namun dalam arti yang tidak sama dengan istilah ba-in yang digunakan dalam fiqh, atau ia dipandang sebagai sinonim dari istilahfurqah yang terdapat dalam kitab fiqh.

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. Al-Qur'an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.[1]

Ada tiga hal secara gamblang menunjukkan usaha antisipasi terhadap putusnya perkawinan itu, yaitu nusyuz di pihak istri, nusyuz dari pihak suami dan pertengkaran atau syiqaq di antara keduanya, dan cara-cara menyelesaikan ketiga hal tersebut yang diuraikan di bawah ini.

Nusyuz Istri[sunting | sunting sumber]

Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi befarti yang berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak Iagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan: "kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya". Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suaminya, seperti berkata lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami, melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan apa yang dicegah suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi norma agama; meminta izin kepada suami waktu akan bepergian keluar rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya; dan lain-lain kewajiban yang ditetapkan agama.[1]

Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui Al-Qurtan dan hadis Nabi. Dalam hubungannya kepada Allah pelakunya berhak atas dosa dari Allah dan dalam hubungannya dengan suami dan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami istria Atas perbuatan itu si pelaku mendapat ancaman di antaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz itu. Meskipun demikian, nusyuz itu tidak dengan sendirinya memutus ikatan perkawinan. Allah SWT. menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan Nusyuznya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat an-Nisa' ayat 34. Ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui dalam menghadapi istri yaitu:

Pertama, apabila terlihat tanda-tanda bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Bila dengan pengajaran itu si istri kembali kepada keadaan semula sebagai istri yang baik,masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan.[1]

Kedua, apabila istri tidak memperlihatkan perbaikan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan perhitungan yang objektif, suami melakukan usaha berikutnya yaitu pisah tempat tidur, dalam arti menghentikan hubungan seksuale Menurut ulama hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan kornunikasi dengan istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadis Nabi dari Abu Hurairah bunyinya:

"Tidak boleh seseorang musliln tidak bersapaan dengan temannya lebih dari tiga hari."

Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah ranjang dan tidak boleh memukulnya, berdasarkan zahir ayat di atas. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad sudah boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena dalam tahap ini sudah jelas kedurhakaan tersebut. (Ibnu Qudamah: 674) Bila dengan usaha pisah ranjang ini istri telah kembali taat, persoalan sudah selesai dan tidak boleh dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Ketiga, apabila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dalam bentuk ta'dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti sebagaimana bunyi hadis Nabi dari Abdullah bin Zar'ah menurut riwayat al-Bukhari.[1]

Nusyuz Suami[sunting | sunting sumber]

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat fionmateri di antaranya mu 'asyarah bi al-lna'rufatau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa' (4) ayat 128.[1]

Ada dua hal Yang mendorong suami dan istri mengadakan negosiasi dan perdamaian dalam ayat tersebut.

Pertama, suami nusyuz sebagaimana dijelaskan dengan sifat-sifat tersebut di atas.

Kedua, aI'radh, yaitu suami berpaling dari istrinya dalam arti mulai tidak senang kepada istrinya karena sebab-sebab tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan shulh sebagai suatu solusi sebagaimana disebutkan dalam ayat itu adalah perundingan yang jnembawa kepada perdarnaiart/ sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya, di antaranya dengan kesediaan istri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafaqah atau kewajiban nonmateri dalam arti kesediaan untuk memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada istrinya yang Iain. Cara ini pun termasuk salah satu langkah untuk menghindari terjadinya perceraian.[1]

Syiqaq[sunting | sunting sumber]

Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran Yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri Oleh keduanya. Syiqaq ini timbul bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini Allah SWT. memberi petunjuk untuk menyelesaikannya. Yang dimaksud dengan hakanı dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.

Secara kronologis İbnu Qudamah menjelaskan langkah-langkah dalam menghadapi konflik tersebut, sebagai berikut:

Pertama, hakim mempelaja.ri dan meneliti şebab terjadinya konflik tersebut. Bila ditemui penyebabnya adalah karena nusyuz-nya istri, ditempuh jalan penyelesaian sebagaimana pada kasus nusyuz tersebut di ataş. Bila ternyata şebab konflik berasal dari nusyuz-nya suami, maka hakim mencari seorang yang disegani oleh suami untuk menasehatinya untuk menghentikan sikap nusyuz-nya itu dan menasehatinya untuk tidak berbuat kekerasan terhadap istrinya. Kalau şebab konflik timbul dari keduanya dan keduanya saling menuduh pihak lain sebagai perusak dan tidak ada yang mau mengalah, hakim mencari seorang yang berwibawa untuk menasihati keduanya.[1]

Kedua, bila langkah-langkah tersebut tidak mendatangkan hasil dan ternyata pertengkaran kedua belah pihak semakin menjadi, maka hakim menunjuk seseorang dari pihak suami dan seorang dari pihak istri dengan tugas menyelesaikan konflik tersebut. Kepada keduanya diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu atau kalau tidak mungkin menceraikan keduanya, tergantung kepada pendapat keduanya mana yang paling baik dan mungkin diikuti. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang diangkat menjadi hakim tersebut. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang juga menjadi pegangan bagi 'Atha' dan salah satu pendapat dari Imam al-Syafi'iy, menurut satu hikayat dari al-Hasan dan Abu Hanifah, mengatakan bahwa kedudukan dua orang ha/cam itu adalah sebagai wakil dari suami istrio Dalam kedudukan ini dua orang hakmn tersebut hanya berwenang untuk mendamaikan kedua suami istri illi dan tidak berwenang untuk menceraikan keduanya kecuali atas izin dan persetujuan dari kedua suami istri. Alasan yang dikemukakan Oleh golongan ini adalah bahwa kehormatan yang dimiliki istri menjadi hak bagi suamif sedangkan harta yang dimiliki suami menjadi hak bagi istri; keduanya telah dewasa dan cerdas; Oleh karena itu pihak Iain tidak dapat berbuat sesuatu atas keduanya kecuali seizin keduarnya. (Ibrtu Qudamah: 320)[1]

Golongan kedua terdiri dari Ali, Ibnu Abbas, al-Sya'bi, al-Nakha'iy, Imam Malik, al-Awza'iy, Ishak, dan Ibnu Munzir, Menurut mereka dua orang hakam itu berkedudukan sebagai hakim. Dalam kedudukan ini keduanya dapat bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa persetujuan kedua suami istri, baik untuk mendamaikannya, atau menceraikannya dengan uang tebusan atau menceraikannya tanpa tebusan. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah petunjuk ayat yang disebutkan di atas. Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan sebagai wakil atau sebagai hakirn, keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan syara'yaitu keduanya telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk yang bertindak bagi kepentingan publik.[1]

Dalam ayat memang disebutkan dua orang hakam itu satudari pihak suami dan seorang lagi dari pihak istri. Namun apakah keduanya merupakan keluarga dari pihak masing-masing, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa kedua orang hakam itu tidak dipersyaratkan dari keluarga kedua belah pihak, namun sebaiknya bila keduanya dari pihak keluarga, karena dianggap lebih sayang dan lebih mengetahui persoalan dibandingkan dengan yang lainnya. Dari bunyi ayat tersebut jelas bahwa tugas hakam adaiah mencari jalan damai sehingga kemungkinan perceraian dapat dihindarkan. Namun bila menurut pandangan keduanya tidak ada cara lain kecuali cerai, maka keduanya dapat menempuh jalan itu. Dari tiga usaha antisipasi tersebut di atas semakin jelas bahwa Allah SWT menghendaki adanya usaha untuk mencegah terjadinya perceraian antara suami istrie Namun bila tidak ditemukan kemungkinan lain dengan segenap usaha yang ada, maka perceraian dapat ditempuh.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Kencana.