Putusan pengadilan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Putusan pengadilan adalah kesimpulan yang diputusan oleh hakim di Pengadilan Agama tingkat pertama. Sehingga tujuan akhir dari proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, dengan diambilnya suatu putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan.[1] Dalam putusan pengadilan sesuai ketentuan dengan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, maka apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim di karenakan jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.[2]

Asas putusan[sunting | sunting sumber]

Asas putusan dijelaskan pada Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 (dahulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman), di antaranya sebagai berikut:[2]

  1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Hal ini menjelaskan bahwa putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, apabila putusan tidak memenuhi ketentuan jelas dan cukup maka dikategorikan menjadi putusan yang tidak cukup pertimbangan atau disebut dengan onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement).
  2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas mengenai wajib mengadili seluruh bagian gugatan dijelaskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv. Dalam putusan ini secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Sehingga tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Dengan cara mengadili yang demikian maka bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.
  3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Hal ini menjelaskan bahwa putusan tidak boleh mengabulkan dengan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut dengan ultra petitum partium. Sehingga apabila hakim mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat maka dianggap telah melampaui batas wewenang yaitu dengan bertindak melampaui wewenangnya.
  4. Diucapkan di muka umum. Dalam hal ini dijelaskan bahwa dengan prinsip keterbukaan untuk umum bersifat imperatif, adanya akibat hukum atas pelanggaran asas keterbukaan, mengenai pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam sidang terbuka, dengan diucapkan di dalam sidang engadilan, dan radio dan televisi dengan dapat menyiarkan langsung pemeriksaan dari ruang sidang.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Subekti" (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta. 
  2. ^ a b c Harahap, M.Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.