Lompat ke isi

Psikologi Pemerolehan Bahasa Kedua

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Psikologi Pemerolehan Bahasa Kedua atau (The psychology of Second Language Acquisition) adalah Suatu bidang penelitian yang mengeksplorasi berbagai aspek psikologis yang mempengaruhi proses pembelajaran dan penguasaan bahasa kedua. Ada beberapa SLA (Second Language Acquisition) yang sangat dipengaruhi oleh bidang psikologi, Pertama ada bahasa dan otak, lalu ada pendekatan yang fokus pada proses pembelajaran yang terlibat dalam SLA, dan terakhir ada pendekatan yang fokus pada perbedaan antar pembelajar.

Studi ini mempelajari tentang terhadap bahasa dan otak sebagian besar yang didasarkan pada kerangka kerja yang disediakan oleh neurolinguistik, yang berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana perbedaan lokasi dan pengorganisasian bahasa pada otak orang yang monolingual versus multilingual, dan dalam berbagai bahasa? Bagaimana lokasi dan pengorganisasiannya? Bahasa di otak berbeda di antara orang multibahasa yang memperoleh bahasa kedua. usia atau dalam keadaan yang berbeda. Lalu, Studi ini membahas juga tentang proses pembelajaran mengacu pada pemrosesan informasi (IP) dan kerangka koneksionis dan mencakup pertanyaan tentang tahapan dan urutan perolehan, ini berfokus pada bagaimana akuisisi terjadi.

Bahasa dan otak[sunting | sunting sumber]

Pada tahun (1861-1865) Paulus Pierre Broca mengamati area lobus frontal kiri (area Broca) tampaknya bertanggung jawab terhadap kemampuan berbicara, dan perlu dicatat bahwa cedera pada otak kiri lebih mungkin mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dibandingkan cedera pada otak kanan. Pada tahun (1874) Wernicke selanjutnya mengidentifikasi area yang berdekatan dengan bagian korteks yang memproses input audio (area Wernicke) sebagai pusat pemrosesan bahasa. Beberapa pengecualian telah ditemukan, namun bagi kebanyakan orang, bahasa bermanifestasi terutama di area sekitar celah Sylvian (celah yang memisahkan lobus otak) di belahan kiri (atau belahan otak) otak termasuk area Broca dan area Wernicke. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa lebih banyak area otak yang terlibat dalam aktivitas berbahasa daripada yang diperkirakan sebelumnya, aktivitas berbahasa tidak terlokalisasi, namun proses inti bahasa umumnya terletak di belahan otak kiri.

  1. Bagaimana beberapa struktur bahasa diatur dalam hubungannya satu sama lain di otak? Apakah kedua bahasa tersebut disimpan di area yang sama? Demikian pula, terdapat banyak variasi di antara para penutur. Setidaknya bagi beberapa orang polilingual, L1 dan L2 tampaknya disimpan di area otak yang berbeda, namun keduanya terutama terletak di area (mungkin tumpang tindih) di belahan otak kiri. Namun, belahan kanan mungkin lebih terlibat dalam L2 dibandingkan L1.
  2. Seberapa independenkah bahasa-bahasa dari penutur multibahasa? Perbedaan antara bilingualisme majemuk dan bilingualisme koordinat telah digunakan untuk mengkonseptualisasikan organisasi bahasa bilingual. Bilingual majemuk adalah mereka yang memperoleh bahasa di lingkungan bersama dan oleh karena itu dianggap mempertahankan informasi linguistik yang saling bergantung. Bilingual koordinat adalah orang yang memperoleh bahasa dalam konteks berbeda dan oleh karena itu dianggap mampu menyimpan informasi linguistik secara mandiri.[1] Salah satu alasan perbedaan hubungan antara kedua konteks ini adalah karena konteks pembelajaran bahasa juga berbeda. Bilingualisme koordinat jarang terjadi pada individu, Mereka telah mempelajari dua bahasa atau lebih dalam konteks yang berbeda dan tidak mampu (bahkan dengan upaya sadar) untuk menerjemahkan di antara keduanya. bilingualisme majemuk yang lebih umum, yang dianggap oleh banyak orang sebagai ciri bilingualisme simultan pada anak usia dini (sebelum usia tiga tahun), dan Bilingualisme bawahan, dianggap sebagai hasil pembelajaran L2 melalui media L1 (seperti pendekatan tata bahasa-terjemahan bahasa asing pengajaran).

Proses pembelajaran[sunting | sunting sumber]

Psikologi memberi kita dua kerangka kerja utama untuk fokus pada proses pembelajaran: Pemrosesan Informasi (IP) dan Koneksionisme. IP memiliki pengaruh lebih besar pada studi SLA daripada perspektif psikologis lainnya, mengikuti pendekatan yang dikembangkan oleh John Anderson (1976,1983). Itu membuat klaim bahwa belajar bahasa pada dasarnya seperti mempelajari domain pengetahuan lain: bahwa apakah orang belajar matematika, atau belajar mengendarai mobil, atau belajar bahasa Jepang, mereka tidak terlibat dalam jenis aktivitas mental yang pada dasarnya berbeda.[2]

Perbedaan dalam diri pembelajaran[sunting | sunting sumber]

Perbedaan individual di antara pelajar dalam psikologi pemerolehan bahasa kedua (Second Language Acquisition, SLA) mencakup berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, bakat, motivasi, gaya kognitif.

  • Usia

Gagasan bahwa anak-anak lebih sukses dalam mempelajari bahasa kedua dibandingkan orang dewasa masih kontroversial, dan penelitian menunjukkan hasil yang beragam. Berbagai penelitian mendefinisikan kesuksesan secara berbeda, baik dalam hal kecepatan pembelajaran awal (orang dewasa mungkin lebih baik) atau pencapaian akhir (anak-anak mungkin lebih baik). Hipotesis periode kritis menunjukkan bahwa anak-anak lebih baik dalam belajar bahasa karena plastisitas otak, meskipun beberapa orang percaya bahwa periode tertentu mempengaruhi aspek bahasa yang berbeda, seperti fonologi dan sintaksis. Meskipun pembelajar yang lebih muda sering kali mencapai tingkat kemahiran bahasa kedua yang lebih tinggi, orang dewasa dan remaja cenderung belajar lebih cepat pada awalnya, sehingga mendapatkan manfaat dari memori yang lebih besar, keterampilan analitis, dan pengetahuan praktis. Siswa yang lebih muda berkembang dalam lingkungan informal karena hambatan yang lebih rendah dan masukan yang lebih sederhana, sementara siswa yang lebih tua berkembang dalam lingkungan pengajaran formal.

  • Jenis kelamin

Penelitian tentang hubungan antara gender pelajar dan SLA berfokus pada gaya kognitif, strategi pembelajaran, dan faktor sosial yang mempengaruhi pemerolehan bahasa. Keyakinan bahwa perempuan lebih baik dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan laki-laki mungkin merupakan keyakinan sosial yang dipengaruhi oleh faktor budaya dan psikososial. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan perbedaan gender dalam pemerolehan dan pemrosesan bahasa, buktinya beragam. Wanita mungkin lebih baik dalam kefasihan verbal dan memiliki organisasi otak yang kurang asimetris dalam berbicara. Wanita juga mungkin lebih baik dalam mengingat bentuk kompleks, sedangkan pria lebih baik dalam menghitung aturan komposisi. Variabel hormonal juga berperan, dengan tingkat androgen yang lebih tinggi berhubungan dengan keterampilan otomatis yang lebih baik, dan tingkat estrogen yang tinggi berhubungan dengan keterampilan semantik yang lebih baik. Keterampilan sendi dan motorik wanita dikaitkan dengan kadar estrogen yang lebih tinggi selama siklus menstruasi.

  • Bakat

Bakat belajar bahasa terdiri dari beberapa komponen utama yaitu kemampuan pengkodean fonem, kemampuan belajar bahasa induktif, kepekaan gramatikal, dan kemampuan memori asosiatif. Meskipun kemampuan ini memprediksi keberhasilan penguasaan bahasa kedua (L2), namun keberhasilan dalam pembelajaran bahasa tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan tersebut. Keberhasilan beberapa siswa disebabkan oleh kemampuan analisis bahasa atau bakat ingatannya, yang menunjukkan bahwa kemampuan individu berbeda-beda. Selain itu, meskipun terdapat perbedaan antara kemampuan belajar bahasa dan kemampuan kognitif secara umum, namun keduanya tidak sepenuhnya berbeda. Bakat merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kemahiran bahasa kedua, baik dalam situasi alami atau pengajaran formal, namun hal ini bukan satu-satunya penentu.

  • Motivasi

Motivasi pribadi merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa kedua (L2). Motivasi dapat berperan pada berbagai tahap perkembangan bahasa kedua, dan terdapat berbagai jenis motivasi, seperti motivasi integratif dan instrumental, yang masing-masing memiliki efek berbeda berdasarkan faktor pribadi dan sosial. Penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara motivasi dan kinerja L2, meskipun hubungan sebab dan akibat masih belum jelas. Perkembangan terkini dalam teori pemerolehan bahasa kedua menunjukkan bahwa motivasi dikendalikan oleh mekanisme saraf di otak yang mengevaluasi relevansi motivasi dari peristiwa. Kekuatan motivasi terlihat jelas jika pelajar yang lebih tua cukup termotivasi sehingga pengucapannya dapat mendekati penutur asli.

  • Gaya kognitif

gaya kognitif (termasuk cara individu memahami, mengonsep, mengatur, dan mengingat informasi) memiliki peran yang belum ditentukan dalam menjelaskan perbedaan keberhasilan di antara pembelajar bahasa kedua. Gaya kognitif melibatkan interaksi kompleks dengan lingkungan sosial dan pembelajaran tertentu dan berkaitan erat dengan faktor kepribadian dan strategi pembelajaran. Dimensi yang sering disebutkan dalam penelitian adalah field-dependent (FD) dan field-independent (FI), dimana siswa FD cenderung mencapai kesuksesan yang lebih besar melalui pengalaman komunikasi situasional, sedangkan siswa FI mendapatkan manfaat lebih dari metode analitis dan pengajaran formal. Perbedaan gaya kognitif juga mencakup preferensi terhadap proses deduktif atau induktif, yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam pembelajaran bahasa kedua. Meskipun terdapat bukti adanya hubungan antara gaya kognitif dan penguasaan bahasa kedua, peran spesifiknya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Efek dari multibahasa[sunting | sunting sumber]

Lebih dari separuh penduduk Eropa berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Ahli bahasa Lisa Cheng menyelidiki berbagai bentuk multilingualisme di Eropa dari perspektif linguistik, kognitif, dan sosiologis. Misalnya, ia mengamati cara bahasa minoritas memengaruhi bahasa baku suatu negara, dan menyelidiki dampak multilingualisme terhadap kapasitas kognitif. Penelitian tentang multilingualisme ini didukung oleh Komisi Eropa dan dilakukan di tidak kurang dari delapan negara berbeda: Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Slovenia, dan Kroasia.[3] Penelitian telah menunjukkan hasil yang beragam mengenai efek kognitif dari berbicara berbagai bahasa. Awalnya, terdapat klaim positif bahwa multibahasa dapat mendorong perkembangan kognitif dan intelektual, namun pada titik tertentu, khususnya di Amerika Serikat pada tahun 1930an, terdapat juga klaim negatif bahwa multibahasa dapat mengganggu kecerdasan umum. Penelitian terbaru sebagian besar mendukung gagasan bahwa multibahasa memiliki dampak positif pada fungsi intelektual, termasuk pengembangan konseptual, kreativitas, kesadaran metalinguistik, dan keterampilan analitis. Namun, ada juga penelitian yang menemukan bahwa multilingualisme membatasi perkembangan kosa kata dalam kedua bahasa dan mengurangi aksesibilitas L1 melalui penggunaan L2 secara berlebihan. Multilingualisme membawa perbedaan pada cara individu melakukan tugas kognitif dan memandang dunia, menunjukkan bahwa penutur bahasa kedua berpikir secara berbeda dibandingkan penutur satu bahasa. Multikompetensi adalah keadaan psikologis unik yang menimbulkan tantangan menarik bagi pendekatan psikologis dalam pemerolehan bahasa kedua (SLA).

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gekoski, William L. (1980-09-01). "Language acquisition context and language organization in bilinguals". Journal of Psycholinguistic Research (dalam bahasa Inggris). 9 (5): 429–449. doi:10.1007/BF01067324. ISSN 1573-6555. 
  2. ^ Anderson, John R. (2013-05-13). Language, Memory, and Thought. Psychology Press. ISBN 978-1-134-91882-9. 
  3. ^ "The effects of multilingualism". Leiden University (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-27.