Prasasti Tija

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prasasti Tija merupakan Jayapattra terdiri dari dua lempeng prasasti yaitu lempeng II berukuran 33,5 x 10 x 0,3 cm dan lempeng III berukuran 33,3 x 10 x 0,3 cm. Kini prasasti tersebut disimpan di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus (Gereja Kayutangan), Malang. Bentuk huruf prasasti yang kemungkinan besar tinulad ini mirip sekali dengan bentuk huruf Prasasti Cunggrang II yang berangka tahun 851 Śaka (929 M).

Permulaan dan akhir prasasti ini hilang sehingga kurang jelas siapa sebenarnya yang bersengketa. Apa yang dapat ditangkap dari prasasti ini ialah bahwa mula-mula ada pengaduan dari Rakryan Jasun Wungkal kepada raja, menyatakan bahwa ia berhak atas semua pajak dari sima kawajwan di Tija dan Haru-haru, tetapi Sang Awaju i Manayuti tidak pernah menyerahkan pajak-pajak kepadanya. Dengan adanya pengaduan itu, raja memanggil sang awaju di Manayuti, yang dipimpin oleh Wasana dan Dinamwan. Mereka ditanyai oleh raja tentang pajak-pajak dari sima kawajwan itu. Mereka mengatakan bahwa pajak-pajak dipakai untuk menambah pembayaran (menjamu?) kepada para penarik pajak yang minta lebih dari semestinya. Mereka mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk menyerahkan pajak kepada nayaka, dalam hal ini Rakryan Jasun Wungkal, karena mereka sendirilah yang berhak sepenuhnya atas pajak-pajak dari sima kawajwan. Mereka tidak boleh menjual atau menggadaikan sima itu.

Keterangan terakhir itu mereka berikan kepada raja karena ternyata dari prasasti itu bahwa sima mereka itu telah mereka jual kepada Buyut Amabaki 28 tahun yang lalu, dan sekarang ini dinikmati hasilnya oleh Kebo Kikil. Sifat pembelian itu ialah waruk lepas, sehingga Buyut Amabaki berhak sepenuhnya atas semua pajak atas segala jenis tanah di sima kawajwan di Tija dan Haru-haru, termasuk seluruh denda-denda yang dikenakan atas segala tindak pidana di lingkungan daerah sima itu. Sang Awaju di Manayuti sama sekali tidak berhak lagi atasnya.

Kebo Kikil pun dihadapkan di persidangan. Sebenarnya raja masih ingat akan masalah pembelian sima itu oleh Buyut Amabaki, sehingga Kebo Kikil dinyatakan menang di dalam perkara itu. Apalagi ternyata bahwa ada surat akta jual beli itu sifatnya waruk lepas, sehingga sejak saat pembelian itu Buyut Amabaki dan keturunan-keturunannya berhak atas segala pajak dan penghasilan yang lain dari sima kawajwan di Tija dan Haru-haru itu sampai akhir zaman, dan tidak ada lagi hak sang awaju di Manayuti dengan keturunan-keturunannya.

Ditambah lagi dengan sanggahan yang diberikan oleh awaju dari empat daerah yang lain, yaitu awaju di Mapapan, di Padang, di Pangkaja, dan di Palinjuwan, atas keterangan awaju di Manayuti. Keempat awaju itu menyatakan bahwa mereka boleh menjual lepas, boleh menjual waruk, dan boleh menggadaikan sima kawajwan. Akan halnya pajak tanah dan hasil buminya, memang tidak harus diserahkan kepada nayaka, itu hak mereka sepenuhnya. Hanya pangemas dan paure yang harus diserahkan kepada nayaka.

Demikianlah, tidak ada keberatan untuk menyatakan sang awaju di Manayuti sebagai pihak yang kalah perkaranya, sebab sudah ada surat akta jual beli yang dibuat oleh rakryan a sima dan disahkan oleh raja. Semestinya tidak perlu lagi persoalan status sima itu dipersengketakan. Apalagi telah sekian lama sima itu dibeli oleh Buyut Amabaki, 28 tahun tanpa ada masalah yang diajukan oleh awaju di Manayuti, maka raja mengukuhkan keputusan memenangkan pihak Kebo Kikil. Seperti yang dapat diharapkan, prasasti menyebut saksi-saksi yang hadir dalam persidangan itu, antara lain sejumlah nayaka, yang sayang sekali tidak diketahui jumlahnya, karena bagian akhir prasasti tidak ada.

Referensi[sunting | sunting sumber]

1. https://ngalam.id/read/2207/prasasti-tija/