Prasasti Palas Pasemah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prasasti Palas Pasemah adalah sebuah prasasti pada batu peninggalan Sriwijaya,[1] ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung.[2] Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno sebanyak 13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, tetapi dari bentuk aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.

Penemuan[sunting | sunting sumber]

Batu ini ditemukan oleh warga desa pada tanggal 5 April 1956 di Kali Pisang, anak sungai Way Sekampung, Desa Palas Pasemah, Kabupaten Lampung Selatan. Temuan itu lalu dilaporkan ke Kandepdikbud Kasi Kebudayaan Kecamatan Palas dan diteruskan ke Pemda Lampung Selatan.

Pada tahun 1979, datanglah seorang petugas dari pemerintah pusat yakni Prof. Dr. Buchari, seorang ahli benda benda bersejarah. Setelah diteliti, tulisan kuno yang ada di batu itu merupakan prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya. Isi prasasti itu dibahas oleh Prof. Dr. Buchari dalam sebuah artikelnya "An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)" dalam buku "Kumpulan Makalah Pra Seminar Penelitian Sriwijaya". Isi prasasti tersebut mirip dengan prasasti kutukan lainnya seperti Prasasti Karang Brahi (Jambi) dan Prasasti Kota Kapur (Bangka). Perbedaannya, Prasasti Palas Pasemah tidak memuat angka tahun dalam pembuatannya.[3]

Isi[sunting | sunting sumber]

Salam, hormat kepada semua dewa, yang maha kuat, yang melindungi Sriwijaya. Hormat juga kepada Tadrum Luah, dan semua dewa yang mengawasi sumpah kutukan ini.

Jika ada orang atau rakyat di bawah kekuasaanku, yang tunduk pada kerajaan, memberontak, berkomplot dengan pemberontak, bicara dengan pemberontak, tahu pemberontak, tidak tunduk takzim dan setia padaku dan pada mereka yang telah dinobatkan sebagai datu. Orang-orang tersebut akan terbunuh oleh sumpah kutukan ini. Kepada penguasa Sriwijaya, diperintahkan untuk menghancurkannya. Mereka akan dihukum bersama seluruh anggota marga dan keluarganya.

Orang yang berniat buruk, yang membuat prang menghilang, membuat orang sakit, membuat orang gila, mengucapkat jampi-jampi, meracuni orang dengan upas dan tuba, dengan racun yang terbuat dari akar-akaran dan tanaman merambat, menjalankan ilmu pengasih (supaya orang jatuh cinta), biarlah mereka dijatuhkan dari keberuntungan dan dibenci masyarakat, karena berlaku buruk.

Tetapi, mereka yang patuh dan setia kepadaku dan mereka kunobatkan sebagak datuk akan memperoleh segala keberuntungan dalam usahanya, termasuk marga dan keluarga mereka. Sukses itu memberi sejahtera, sehat, aman yang berlimpah kepada negara.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]