Peternakan satwa liar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Musang yang diternakkan untuk menghasilkan kopi luwak

Peternakan satwa liar merupakan pemeliharaan jenis hewan yang belum didomestikasi di lingkungan peternakan. Hewan-hewan tersebut dapat dijadikan sebagai hewan buruan atau dipelihara sebagai hewan kesayangan, dijadikan komoditas bahan pangan atau obat tradisional, atau diambil kulit dan rambutnya.[1][2][3]

Manfaat yang diakui[sunting | sunting sumber]

Beberapa ahli konservasi berpendapat bahwa peternakan satwa liar dapat melindungi spesies yang terancam punah dengan mengurangi tekanan pada populasi hewan liar yang sering diburu.[4] Ada pula yang menyatakan bahwa peternakan satwa liar dapat berbahaya bagi sebagian besar upaya konservasi, kecuali untuk beberapa spesies tertentu.[3]

Komunitas tertentu di Afrika mengandalkan daging hewan liar untuk mendapatkan protein hewani harian yang diperlukan agar sehat dan bertahan hidup.[5] Sering kali, daging hewan buruan tidak ditangani dengan hati-hati sehingga menyebabkan penyebaran penyakit. Peternakan satwa liar dapat mengurangi penyebaran penyakit dengan menyediakan daging hewan liar yang diproses dengan benar bagi masyarakat Afrika.[4]

Dalam film dokumenternya The End of Eden, pembuat film Afrika Selatan, Rick Lomba, menyajikan contoh efek peremajaan dan keberlanjutan lingkungan dari beberapa jenis peternakan satwa liar.[6]

Dampak atau risiko[sunting | sunting sumber]

Adanya peternakan satwa liar telah dikaitkan dengan munculnya zoonosis, seperti wabah SARS, yang ketika itu berkaitan dengan budidaya musang.[7]

Keadaan industri saat ini[sunting | sunting sumber]

Dalam beberapa tahun terakhir, Afrika Selatan terlihat mengalami peningkatan besar-besaran dalam melakukan peternakan satwa liar, sehingga menyebabkan berbagai dampak; termasuk masalah sosial dan kesehatan, karena kurangnya regulasi yang mengatur. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya reklasifikasi pada 33 spesies satwa liar.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Damania, Richard; Bulte, Erwin H. (2007). "The economics of wildlife farming and endangered species conservation". Ecological Economics. 62 (3–4): 461–472. doi:10.1016/j.ecolecon.2006.07.007. 
  2. ^ P, Chardonnet; B, des Clers; J, Fischer; R, Gerhold; F, Jori; F, Lamarque (Apr 2002). "The Value of Wildlife". Revue Scientifique et Technique (International Office of Epizootics) (dalam bahasa Inggris). 21 (1): 15–51. PMID 11974626. Diakses tanggal 2020-06-04. 
  3. ^ a b Tensen, Laura (2016-04-01). "Under what circumstances can wildlife farming benefit species conservation?" (PDF). Global Ecology and Conservation (dalam bahasa Inggris). 6: 286–298. doi:10.1016/j.gecco.2016.03.007alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2351-9894. 
  4. ^ a b Conniff, Richard (2016-08-30). "Wildlife Farming: Does It Help Or Hurt Threatened Species?". Yale E360 (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-04. 
  5. ^ Ntiamoa-Baidu, Yaa (1997). "Chapter 2 - Direct contribution of wildlife to food security". www.fao.org. Diakses tanggal 2019-03-06. 
  6. ^ Templat:Cite film
  7. ^ "Can Asia's infectious disease-producing wildlife trade be stopped? | Grist" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-07. 
  8. ^ Pinnock, Don (2019-10-15). "WILDLIFE BREEDING: SA reclassifies 33 wild species as farm animals". Daily Maverick (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-07. 

Lihat juga[sunting | sunting sumber]