Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (PADIATAPA) merupakan sebuah persetujuan yang dilakukan dengan tujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat lokal atau masyarakat adat sebelum dimulainya sebuah proyek pembangunan di lokasi yang berpotensi bisa berdampak pada tempat tinggal, mata pencaharian, maupun cara hidup tradisional masayarakat adat. PADIATAPA dimaksudkan supaya masyarakat adat mendapat informasi yang cukup tentang pembangunan apa saja yang akan dilakukan, bagai mana pembangunan itu dilaksanakan, dampak apa saja yang akan mereka terima, dan seterusnya. Selanjutnya masyarkat adat diberikan waktu yang cukup untuk melakukan diskusi di antara mereka dan diberikan kebebasan memberikan keputusan apakah menerima rencana pembangunan itu atau justru menolak. Keputusan (menerima atau menolak) dibuat tanpa paksaan dari pihak mana pun.[1]

PADIATAPA merupakan salah satu cara yang dipakai oleh hukum hak asasi internasional untuk melindungi hak atau kepentingan penduduk lokal dari ekspansi industri dan pembangunan yang semakin membutuhkan lahan luas. Kebutuhan lahan yang luas tersebut mau tidak mau menyebabkan adanya kontak dan perjumpaan dengan penduduk lokal atau masyarakat adat.[2] Lahan-lahan ataupun hutan di pelosok/pedalaman itu sebelumnya bisa mereka akses dengan mudah untuk berbagai keperluan seperti untuk berladang, mengembalakan ternak, atau mengambil hasil-hasil hutan lainnya yang kepemilikannya biasanya bersifat komunal.

Dengan dibukanya lahan tersebut untuk berbagai keperluan seperti tambang, perkebunan Kelapa Sawit, maupun perkebunan kayu, terjadi perubahan kepemilikan dan akses pemanfaatan oleh penduduk lokal sehingga diperlukan adanya PADIATAPA pada proses perencanaannya. Sebelumnya terdapat kritik terhadap banyak konvensi dan perjanjian internasional yang menetapkan konsultasi (consultation) bukannya persetujuan (consent) sebelum melakukan pembangunan di lahan milik masyarakat adat. Tanpa adanya persyaratan untuk melakukan PADIATAPA dalam rangka untuk memperoleh persetujuan/consent, masyarakat adat tidak dapat membatalkan sebuah keputusan atau menolak sebuah usulan pembangunan yang akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan serta kebudayaan mereka. PADIATAPA memungkinkan masyarakat adat untuk menentukan nasib (self-determination) dan kebebasan untuk menata kehidupan (self-government) dalam sebuah proyek pembangunan yang memiliki potensi berdampak pada kehidupan dan sumber daya alam mereka. Sebagai sebuah proses, PADIATAPA memerlukan waktu yang panjang untuk negosiasi dan persetujuan. Meski demikian, PADIATAPA memberi peluang atau kesempatan untuk menjalankan bisnis jangka panjang dan berkelanjutan.[3]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Terdapat beragam definisi dan perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan PADIATAPA. Meski demikian, FAO telah menetapkan definisi PADIATAPA sebagai berikut[1]

  • Persetujuan mengacu pada sebuah keputusan yang bersifat kolektif yang dibuat oleh perwakilah para pemangku kepentingan serta dibuat berdasarkan proses yang mereka anggap sesuai dengan mekanisme atau kebiasaan yang berlaku.
  • Informasi mengacu pada sifat dari keterlibatan dan jenis informasi apa saja yang harus diberikan sebelum dilakukannya permintaan ijin serta menjadi bagian dari poses persetujuan yang sedang berlangsung.
  • Di awal artinya persetujuan harus dilakukan atau diperoleh sebelum dimulainya sebuah proyek pembangunan atau pemberlakuan sebuah otoritas tertentu terhadap lahan hidup masyarakat adat. Jadi bukan hanya dilakukan ketika kebutuhan ijin tersebut muncul atas tuntutan masyarakat adat.
  • Tanpa paksaan artinya ijin atau persetujuan diberikan dengan sukarela dan tanpa paksaan, tanpa intimidasi ataupun manipulasi. Mengacu juga pada proses yang diarahkan sendiri oleh masyarakat yang dimintai persetujuannya, tidak dibebani oleh paksaan, tuntutan, maupun jadwal atau tenggat waktu dari pihak eksternal.

Tahapan[sunting | sunting sumber]

Tahapan pelaksanaan PADIATAPA adalah sebagai berikut[1]

  1. Identifikasi: mengidentifikasi persoalan apa saja yang menjadi perhatian masyarakat adat dan para perwakilan mereka, mendokumentasikan informasi-informasi kewilayahan dan kependudukan masyarakat adat melalui kegiatan pemetaan partisipatif
  2. Formulasi: merancang komunikasi partisipatif dan merencanakan diskusi berkesinambungan sebagai sarana menginformasikan rencana-rencana proyek yang akan dilakukan secara transparan
  3. Implementasi: mendapatkan persetujuan, mendokumentasikan apa saja yang diperlukan oleh masyarakat adat untuk dimasukkan dalam proyek, dan menyetujui adanya mekanisme umpan balik serta pengaduan. Melakukan monitoring bersama dan mengeveluasi pelaksanaan
  4. Penutupan: mendokumentasikan pembelajaran serta membagikan pengalaman tentang capaian keberhasilan

Trivia[sunting | sunting sumber]

Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (PADIATAPA) dalam Bahasa Inggris disebut Free, Prior Informed Consent (FPIC).

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c https://www.fao.org/3/i6190e/i6190e.pdf
  2. ^ Tomlinson, Kathryn (2017). "Indigenous rights and extractive resource projects: negotiations over the policy and implementation of FPIC". The International Journal of Human Rights. 23 (5): 880–897. doi:10.1080/13642987.2017.1314648. 
  3. ^ "FPIC, sebuah proses panjang". Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Diakses tanggal 2023-02-06.