Permasalahan pada komputasi awan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Simbol awan selama bertahun tahun telah mewakili internet pada suatu diagram jaringan komputer, sampai tahun 2008 ketika berbagai layanan baru mulai muncul sehingga banyak sumber daya komputasi yang diizinkan diakses melalui komputasi awan yang disebut di Internet. akhir-akhir ini komputasi awan sudah banyak digunakan oleh berbagai pihak jika kita tau email yang kita gunakan sehari-hari hanyalah contoh kecil dari komputasi awan. Keuntungan terbesar dari komputasi awan adalah harga sewa yang fleksible kita dapat menyesuaikan harga sewa sesuai dengan layanan yang kita gunakan atau kebutuhan yang kita perlukan. Manfaat lain mencakup peningkatan efisiensi, kompensasi biaya dalam operasi ini memberikan batas terhadap mahalnya harga perangkat keras untuk kebutuhan layanan yang besar dan cepat [1]

Dari besarnya penggunaan terhadap komputasi awan, dan dari manfaat yang sangat besar tersebut menarik untuk dilakukan analisis tentang bagaimana masalah atau masalah-masalah apa yang mungkin terjadi terhadap penggunaan komputasi awan. sebagian besar masalah dimulai dari fakta bahwa pengguna tidak dapat mengendalikan data milik pribadi karena disimpan di komputer penyedia layanan komputasi awan (cloud).[2] ini terjadi ketika pemilik data ingin memliki data secara private/pribadi tetapi pemilik server lebih mungkin ingin memanfaatkan data tersebut untuk kepentingan bisnis lainya [3]

Masalah Keamanan Pada Komputasi awan[sunting | sunting sumber]

terdapat tujuh masalah keamanan yang berhasil teridentifikasi menurut gartner 2008,[4] sebelum perusahaan tersebut memutuskan untuk beralih ke komputasi awan

Akses Pengguna[sunting | sunting sumber]

Informasi yang dikirimkan dari klien melalui Internet menimbulkan tingkat risiko tertentu, karena masalah kepemilikan data. Perusahaan harus bersedia meralakan waktu yang banyak hanya untuk mempelajari aturan-aturan dari penyedia jasa komputasi awan

Patuh Terhadap Peraturan[sunting | sunting sumber]

Data klien bisa saja di audit oleh pihak ke 3 dan klien bertanggung jawab terhadap keamanan datanya sendiri.

Lokasi Data[sunting | sunting sumber]

Klien mungkin tidak akan pernah tahu di lokasi mana data mereka berada baik dari negara wilayah semuat itu bergantung pada kontrak di awal.

Segregasi Data[sunting | sunting sumber]

Data dienkripsi dan diletakan pada media penyimpanan yang sama, sehingga mekanisme memsiahkan data ( deskripsi ) hanya bisa disediakan oleh pihak penyedia layanan komputasi awan

Pemulihan[sunting | sunting sumber]

Setiap penyedia layanan harus memiliki mekanisme back up data pengguna ketika terjadi hal-hal seperti bencana, dan gangguan yang lainnya

Dukungan Investigasi[sunting | sunting sumber]

Jika klien mencurigai adanya penggunaan data yang merugikan dari pihak penyedia layanan, maka tidak terdapat banyak cara melalui jalur hukum untuk melakukan investigasi

Keberlangsungan jangka panjang[sunting | sunting sumber]

Ini lebih mengacu pada, jika semua sumber daya yang dimiliki oleh penyedia layanan dibeli oleh perusahaan lain, maka perlu ada prosedur yang jelas untuk penarikan kembali kontrak [5]

Privasi[sunting | sunting sumber]

Peningkatan penggunaan layanan seperti halnya Gmail dan Google Docs telah menyebabkan masalah tentang privasi pada layanan komputasi awan menjadi ke tingkat yang lebih serius [2][6] Pengacara/perlindungan hukum tentang privasi mengkritik model komputasi awan untuk memberikan kemudahan bagi perusahaan hosting untuk mengendalikan dan memonitor sesuka hati komunikasi antara pemilik perusahaan dan pengguna, dan mengakses data pengguna (dengan atau tanpa izin). Contoh-contoh seperti secret NSA program, bekerja dengan AT & T, dan Verizon, yang merekam lebih dari 10 juta panggilan telepon antara warga Amerika, menyebabkan privasi tidak dapat dijamin, dan semakin besar kemungkinan perusahaan telekomunikasi untuk memantau aktivitas pengguna.[7]

Keberlanjutan[sunting | sunting sumber]

Meskipun komputasi awan sering dianggap sebagai bentuk green computing tetapi tidak ada cara untuk mengukurnya dengan pasti. [8] Penggunaan energi menjadi masalah utama penggunaan cloud yang tidak ramah lingkungan. Phil Radford dari Greenpeace mengatakan “kami prihatin dengan ledakan baru dalam penggunaan listrik ini dapat membuat kita terpaku kepada sumber energi yang usang dan mencemari kebersihan energi yang tersedia saat ini.” [9]Greenpeace memberikan peringkat terhadap penggunaan energi terbesar dari sepuluh merek terkemuka dalam komputasi awan, dan berhasil mendesak beberapa perusahaan untuk beralih ke energi bersih. Pada hari Kamis, 15 Desember 2011, Greenpeace dan Facebook secara bersamaan mengumumkan bahwa Facebook akan beralih menggunakan energi bersih dan terbarukan untuk menjalankan operasinya.[10][11]Segera setelah itu, Apple setuju untuk membuat semua pusat datanya ‘bebas batubara’ pada akhir tahun 2013 dan menggandakan jumlah pembangkit energi matahari untuk mensuport sumber daya energi semua pusat data, NC.[12] Setelah itu, Salesforce setuju untuk beralih ke 100% energi bersih pada tahun 2020[13]

Hukum[sunting | sunting sumber]

Seperti perubahan lain dalam dunia komputasi, penggunaan komputasi awan memunculkan masalah hukum tertentu, termasuk pelanggaran merek dagang, masalah keamanan, dan pembagian sumber daya data eksklusif.

Satu masalah penting akan tetapi tidak sering disebutkan mengenai komputasi awan adalah masalah siapa yang "memiliki" data. Jika perusahaan penyedia layanan adalah pemilik data, pemilik memiliki hak hukum tertentu. Jika perusahaan penyedia layanan adalah "kustodian" dari data, maka seperangkat hak yang berbeda akan berlaku. Masalah berikutnya dalam legalitas komputasi awan adalah masalah kepemilikan legal data. Banyak perjanjian Ketentuan Layanan tidak menyebutkan masalah kepemilikan.[14]

Masalah hukum ini tidak terbatas pada waktu di mana aplikasi berbasis cloud sudah aktif digunakan. Juga harus ada pertimbangan tentang apa yang terjadi ketika hubungan penyedia-pelanggan berakhir. Pada sebagian besar kasus, masalah tentang ini akan ditangani sebelum aplikasi diterapkan ke cloud. Namun demikian, dalam kasus penyedia layanan mengalami kebangkrutan keadaan data dapat menjadi samar.

Vendor lock-in[sunting | sunting sumber]

3 ciri dari vendor lock-in dapat terjadi pada komputasi awan:[15]

  • Layanan cloud cenderung dibangun di salah satu dari beberapa platform virtualisasi yang mendukung layanan cloud, misalnya VMWare atau Xen. Migrasi dari antar penyedia cloud yang menggunakan platform berbda bisa menjadi sangat rumit.
  • Data lock-in: Karena cloud masih baru, standar kepemilikan, yaitu siapa yang sebenarnya memiliki data setelah berada di platform cloud, belum dikembangkan, ini dapat mempersulit jika pengguna komputasi awan memutuskan untuk memindahkan data dari vendor satu ke vendor yang lain.
  • Tools lock-in: Jika alat yang digunan untuk mengelola lingkungan cloud tidak kompatibel dengan berbagai jenis infrastruktur virtual dan fisik, alat tersebut hanya dapat mengelola data atau aplikasi yang dapat berjalan di lingkungan pribadi suatu vendor cloud.

Monopoli dan privatisasi terhadap jagad maya[sunting | sunting sumber]

Filsuf Slavoj Žižek menyatakan bahwa meskipun komputasi awan meningkatkan aksesibilitas konten, akses ini "semakin didasarkan pada privatisasi monopolistik terhadap awan yang menyediakan akses ini". Menurutnya, akses ini (yang diberikan oleh segelintir perusahaan) mengakibatkan privatisasi jagad maya secara progresif. Žižek mengkritik argumen yang dikemukakan oleh pendukung komputasi awan bahwa fenomena ini merupakan "evolusi alami" dari Internet, karena Žižek berpandangan bahwa perusahaan-perusahaan dalam posisi monopolistik tidak hanya dapat "menetapkan harga sesuka hati, tetapi juga menyaring perangkat lunak yang mereka sediakan, sehingga memberikan sedikit perubahan pada sifat "universalitas"nya, tergantung pada kepentingan dagang dan ideologi."[16]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gaur, A., Jain, A., & Verma, A. (2017, August). Analyzing storage and time delay by hybrid Blowfish-Md5 technique. In 2017 International Conference on Energy, Communication, Data Analytics and Soft Computing (ICECDS) (pp. 2985-2990). IEEE.
  2. ^ a b Haghighat, M., Zonouz, S., & Abdel-Mottaleb, M. (2015). CloudID: Trustworthy Cloud-based and Cross-Enterprise Biometric Identification. Expert Systems with Applications, 42(21), 7905–7916.
  3. ^ Ostberg; et al. (2017). "Reliable Capacity Provisioning for Distributed Cloud/Edge/Fog Computing Applications". Networks and Communications (EuCNC), 2017 European Conference on. doi:10.1109/EuCNC.2017.7980667. 
  4. ^ gartner 2008
  5. ^ "'Makalah Teknik': Masalah dan Tantangan Keamanan Cloud Computing". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-23. Diakses tanggal 2018-10-23. 
  6. ^ ryan, mark (January 2011). "Cloud Computing Privacy Concerns on Our Doorstep". ACM. 
  7. ^ Cauley, Leslie (2006-05-11). "NSA has massive database of Americans' phone calls". USA Today. Diakses tanggal 2010-08-22. 
  8. ^ James Urquhart (January 7, 2010). "Cloud computing's green paradox". CNET News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-02. Diakses tanggal March 12, 2010. ... there is some significant evidence that the cloud is encouraging more compute consumption 
  9. ^ "Dirty Data Report Card" (PDF). Greenpeace. Diakses tanggal 2013-08-22. 
  10. ^ "Facebook and Greenpeace settle Clean Energy Feud". Techcrunch. Diakses tanggal 2013-08-22. 
  11. ^ "Facebook Commits to Clean Energy Future". Greenpeace. Diakses tanggal 2013-08-22. 
  12. ^ "Apple is leaving Microsoft and Amazon in 'dust' for its clean internet efforts – Greenpeace". Greenpeace. Diakses tanggal 2013-08-22. 
  13. ^ "Salesforce Announces Commitment to a Cloud Powered by 100% Renewable Energy". Greenpeace. Diakses tanggal 2013-08-22. 
  14. ^ Maltais, Michelle (26 April 2012). "Who owns your stuff in the cloud?". Los Angeles Times. Diakses tanggal 2012-12-14. 
  15. ^ Hinkle, Mark. (2010-6-9) "Three cloud lock-in considerations", Zenoss Blog [1] Diarsipkan 2014-02-22 di Wayback Machine.
  16. ^ Slavoj Žižek (2011). Living in the End Times. Verso. hlm. 407.